Dikeroyok para penghuni jurang yang berkekuatan besar membuat pertahanan Sekar Pandan mulai keteteran. Apalagi ditambah dengan serangan Bimala yang ikut maju mengeroyok. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan dan tendangan Bimala hingga terpental menabrak dinding jurang.
Obor dan Pedang Sulur Naga di tangannya jatuh agak jauh dari tubuhnya. Kepalanya berdenyut-denyut dan berputar. Sebuah tangan mencengkram lehernya dan mengangkat tubuhnya ke atas. Cengkraman itu demikian kuat. Gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu gelagapan karena sulit bernapas. Urat wajahnya menegang."Kau ingin melarikan diri dari tempat ini?! Hahaha," gertak orang itu. Kedua tangan Sekar Pandan menggapai-gapai berusaha mencakar dan menendang, tapi orang yang mencekiknya seperti batu yang tidak merasakan sakit.Niatnya untuk keluar dengan selamat sangat kuat. Itu juga yang membuat tenaganya tidak surut dan semakin menyala. Diam-diam tangannya merogoh tas kecil anyaman pandan yang terikTanpa bantuan pedang itu, perjuangan untuk merebut kembali perguruan Tangan Seribu rasanya sulit. Dewa Jari Maut memiliki pesilat-pesilat tangguh yang banyak dan setiap saat siap mati untuknya. Sementara orang-orang perkumpulan Sapu Tangan Merah semakin berkurang. Kemampuan mereka pun masih kalah jauh jika dibandingkan dengan jago-jago peliharaan si Dewa Jari Maut.Ki Gondo menghembuskan napas dengan kasar, terdengar layaknya sapi mendengus. Paksi Jingga tahu kekecewaan yang dirasakan pria yang selalu setia pada perguruan. Diliriknya Ki Gondo. Laki-laki tua itu berdiri lalu melangkah meninggalkan api unggun, berjalan masuk hutan."Aku akan memeriksa tempat ini. Kau dan kau ikut denganku!" Dua orang anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah mengikuti Ki Gondo."Dia terlihat sangat kecewa, Den." Ki Sempana bergumam. Dia pun sebenarnya menyesalkan perbuatan Paksi Jingga yang memperlakukan Sekar Pandan dengan tidak baik. Namun, dia tidak seperti Ki Gondo yang apab
Dia menarik napas panjang. Kepalanya mendongak. Di langit yang cerah dengan taburan bintang terdapat bayangan seorang gadis belasan tahun berwajah cantik jelita."Sekar Pandan, maafkan aku. Ini semua kulakukan demi melindungi anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah." Dia bergumam pada dirinya sendiri.Ki Sempana melirik Paksi Jingga. Mahisa Dahana angkat bicara," kurasa Sekar Pandan akan memaafkan kita. Dia gadis baik. Kalian seharusnya ingat dengan semua jasanya. Selama beberapa hari ini dia terus merawatku, dan paman. Bahkan saat dalam gua, dia membawa ubi yang sangat besar untuk makan semua orang yang kelaparan." Dia menghentikan ucapannya. Melirik sekilas pada kakangnya dengan hati dongkol."Tapi apa balasan kita, " lanjutnya."Semua masih serba kemungkinan. Itu masih bisa diusahakan," pungkas Ki Sempana menepuk-nepuk punggung tangan anak gadisnya. Tidak memperdulikan ucapan Mahisa Dahana."Harus mencarinya ke mana, Ayah? Tanah Jawa Dwi
Gadis itu terus membatin. Pucuk-pucuk ilalang yang tersiram cahaya keemasan sang rembulan bergoyang lembut dihembus udara malam kemudian memainkan anak rambut Sekar Pandan.Setelah semua obat boreh menutupi lukanya, Sekar Pandan duduk di atas batu menatap bayangan rembulan yang terpantul pada air sungai di bawah kakinya. Selendang sutra jingga menjulur ke kanan dan kiri tubuhnya.Satu helai selendang tertarik ke atas digunakan untuk menutupi kakinya. Kedua tangannya menyangga wajah yang menengadah ke bomantara --langit. Bibir meranum itu tersenyum sembari bergerak ingin mengucapkan sebuah kalimat. Namun, satu patah kata pun tidak keluar."Aku senang ibu ada di sampingku saat ini. Menemaniku sendirian di tepi sungai kecil. Ibu tahu, akhir-akhir ini semua orang yang kutemui membuatku kecewa dan marah. Senopati Prana Kusuma diam-diam meninggalkan aku sendirian. Dia pulang ke Majapahit tanpa pamit padaku. Padahal hanya dia kawanku di sini, Bu. Pria itu memang
Malam itu. Terjadilah perkelahian tak seimbang antara mereka. Tenaga Elakshi yang kuat tidak bisa dilawan oleh Dewi Bunga Malam yang baru terbangun dari tidur. Apalagi dia harus mempertahankan Pedang Sulur Naga dari tangan Bimala yang ingin merampasnya. Keadaan Sekar Pandan sangat memprihatinkan. Di tengah hutan yang luas dan malam hari, tidak memungkinkan adanya pertolongan. Perlahan tenaga gadis berkemban dan berkain hijau itu melemah. Kedua tangannya terkulai di samping badan. Bersama dengan itu, Bimala berhasil merebut pedang dari tangan Sekar Pandan. Terkulainya tangan Sekar Pandan yang memegang warangka dan tarikan kuat dari Bimala terhadap Pedang Sulur Naga, mengakibatkan pedang itu terhunus dari warangkanya.Sinar putih kehijauan seketika menerangi tempat itu. Bimala yang kaget karena Pedang Sulur Naga tercabut dari warangka tampak ketakutan. Ketakutan perempuan itu beralasan, sebab setelah itu, pedang yang ada di genggaman tangannya bergetar hebat. Membu
Tidak terasa, perutnya berbunyi. Dia ingat, sejak kemarin satu butir nasi pun belum mampir ke perutnya. Diremasnya perut ramping itu dengan wajah meringis. Naluri laparnya memaksa kedua netra berhias bulu lentik itu berburu ikan dalam sungai. Beberapa ikan gabus yang besar tampak diam di dasar sungai.Warna tubuhnya memang samar saat diam di dasar sungai, tetapi sepasang mata pemburu Sekar Pandan berhasil membidiknya. Gadis berambut panjang bergelombang sepinggul itu beringsut mengambil beberapa batu kecil.Dia mengendap-endap mendekati tempat ikan gabus. Setelah dekat mulailah dia membidikkan batu-batu itu pada ikan gabus yang tetap diam. Kecepatan dan ketepatan dalam membidik ikan dalam air adalah salah satu kemampuan hebat Sekar Pandan. Bagaimana tidak? Sejak kecil kedua ayah angkat sekaligus gurunya itu selalu mengajarinya berburu ikan di laut. Ya, mereka hidup di sebuah tempat indah yang bernama perguruan Pulau Pandan. Lambat laun, kemampuannya dalam berburu
Dengan cekatan, selendang itu disampirkan untuk menutupi tubuh atasnya. Si muka codet menyeringai ke arah Sekar Pandan yang kini telah berdiri gagah di tepi sungai. Gadis itu mendengkus marah."Cantik sekali, siapa namamu, Dewi?" Sekar Pandan diam. Kedua matanya tajam memperhatikan gerak gerik tiga laki-laki itu."Mengapa kau diam, Gadis cantik?" Laki-laki bermuka codet itu menyeringai buas. Sekar Pandan diam dan tetap dengan kewaspadaan penuh. Urat-uratnya menegang. Baru saja dia ingin menikmati kebebasannya dari kejaran dua wanita itu, kini telah muncul lagi pengganggu."Kau terlalu basa basi, Kakang. Cepat tangkap dia," usul laki-laki berkepala botak tidak sabar. Yang segera diiyakan temannya yang berbadan gempal dan pendek.Si muka codet mendengkus. "Dasar mata keranjang." Laki-laki itu mendekati Sekar Pandan dengan mengerling genit. Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut. Perutnya terasa mual. Gadis polos itu menaksir bahwa ti
"Songko," desis si Muka Codet dan si Botak berbarengan. Mereka tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tubuh Songko perlahan diam tak bergerak. Dia tewas setelah merogoh isi tas kecil anyaman pandan berisi bubuk hijau beracun."Songko telah mati, Kakang." Si Botak mendesis tak percaya. Matanya menatap tak berkedip pada tubuh temannya itu. Saat dia hendak melompat memeriksa tubuh Songko, si Muka Codet mencekal lengannya."Mengapa kau mencegahku, Kang?" tanya si Botak kebingungan. Kedua matanya telah berlinang. Wajah garangnya hilang sudah. "Kau tidak melihat Songko tewas terkena racun ganas?" Alih-alih menjawab, si Muka Codet justru melempar pertanyaan. Wajah si Botak mengernyit.Si Muka Codet berbalik menatap Sekar Pandan dengan wajah membesi penuh dendam kesumat. Telunjuknya menuding pada gadis yang masih berdiri di tepi sungai. Kedua tangannya tetap memasang kuda-kuda."Apa yang kau sembunyikan di dalam tas anyaman pandan itu, Boca
Dua gadis itu mengambil daun talas yang tumbuh di tepian sungai. Rasa haus akibat perjalanan jauh mengharuskan mereka berhenti tepat dekat sungai. Jernihnya air sungai menggoda keduanya untuk mencicipi segarnya air yang mengalir deras itu. Daun talas di tangan mereka mulai terisi air. Warnanya bening menyegarkan. Mereka minum air itu hingga tandas. Sejuknya air yang mereka minum mulai memasuki kerongkongan dan perut. Perlahan tubuh dua gadis cantik berpakaian penari itu terasa segar."Perjalanan ke Gunung Tengger masih jauh. Sebenarnya aku malas bertemu gadis bisu itu lagi," desah Palasari sembari mengelap keringat dengan ujung selendangnya. Gadis itu memang tidak suka dengan Sekar Pandan."Ini demi perkumpulan Sapu Tangan Merah dan cita-cita luhur perguruan Tangan Seribu, Palasari." Umang Sari berkata bijak berharap Palasari tidak putus asa.Palasari memberengut kesal. Pengusiran Sekar Pandan merupakan saat yang paling ditunggu gadis itu. Terutama Umang S
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b