Bagian 36
2 in 1
PoV Haris
Teka-Teki Kematian Amalia III
Hari-hari berat kami lalu hanya berdua di sini. Astuti mendadak minta berhenti. Alasannya ingin fokus mengurus orangtua di kampung yang sudah sakit-sakitan. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Membiarkan Astuti pulang dengan menaiki bus, kurasa itu adalah solusi terbaik. Aku juga enggan dia mengetahui tentang perihal apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah ini.
Hampir sebulan Papa dan Mama berada di Singapura. Tanpa sebuah kabar apa pun. Terakhir dia hanya meneleponku pada pagi di mana Fitri menjadi histeris dan mengamuk sebab mengetahui mamanya pergi tanpa pamit. Di sini, aku berusaha menenangkan Fitri yang kadang kala menangis meraung minta dibawa ke Singapura untuk berjumpa dengan Mama.
&n
Bagian 37PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia IV “Omong kosong! Tidak mungkin. Jangan bohongi kami, Pa!” Aku berteriak. Sosok Fitri sampai terkejut dan menyambar ponsel dari tanganku. “Halo? Papa, ada apa? Mama di mana, Pa? Aku ingin bicara pada Mama!” Fitri ikut histeris. Gadis itu sampai turun dari tempat tidur dan berdiri dengan posisi satu tangan yang berada di belakang pinggang. “Meninggal?!” Fitri berteriak. Dia menatap ke arahku dengan wajah syok. Matanya sampai membeliak. Dia berkali-kali menggelengkan kepalanya. Sigap, aku menangkap gadis itu. Memeluknya erat, membawanya kembali ke sisi ranjang. Ponsel sampai terlepas dari genggaman F
Bagian 382 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia V Sore itu juga, Papa mengirimkan gambar-gambar yang sangat membuatku tercengang luar biasa. Gila, pikirku dalam hati, hebat sekali dia membuat semua ini menjadi seperti sangat nyata. Scan surat keterangan kematian dari rumah sakit swasta ternama di Singapura, beberapa potret mendiang Mama yang terbaring di atas tempat tidur dengan wajah yang sangat pucat, beserta foto jenazah yang telah dikafani rapi dalam sebuah peti jenazah, semua telah masuk melalui pesan WhatsApp ke nomorku. Semua seperti sangat nyata, seolah memang Tuhan telah mencabut nyawa Mama. Namun, hati kecilku entah mengapa masih saja menyangkali semua bukti yang disuguhkan oleh Papa. Mama masih hidup, begitu benakku. Aku yakin 100% bahwa dia masih ada di Singapura sana dalam keadaan sehat wal afiat. A
PoV GitaCahaya Harapan Jay telah keluar dari kamar dengan membawa serta piring sisaku makan. Dia hanya meninggalkan gelas yang masih berisi setengah air putih saja di nakas. Aku pun langsung bangun dan duduk bersandar di tempat tidur sembari memeluk kaki. Kutarik napas dalam sembari menyisir seisi ruangan. Mencari-cari di mana kira-kira Irfan dan Amalia menyembunyikan kamera pengintai di kamar ini. Namun, mataku tak mampu menemukan sebuah kamera yang selayaknya dipasang di rumah-rumah. Pasti bukan kamera sebesar itu, pikirku. CCTV yang mereka gunakan bisa saja lebih kecil dan ditempatkan di sudut yang tak terduga. Sudahlah, sepertinya tak ada guna bagiku untuk mencari di mana kamera pengintai yang belum tentu memang di pasang di sini. Sekarang, yang harus k
Bagian 39PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia VI “Fitri … tapi aku memiliki seseorang lain yang kusukai.” Ucapanku sontak membuat mata Fitri semakin meredup. Mimiknya terlihat kecewa. Gadis itu pun menyeka sisa bulir air mata bekas tangisannya barusan. “B-baiklah, Mas.” Gadis itu tertunduk lesu. Nada bicaranya bagai kuntum layu yang tak lagi memiliki niat untuk mekar mengembang. Sebenarnya, aku menyesal karena sudah membuat harapan gadis tersebut pupus. “Namun, silakan menyukaiku. Buat aku bisa menyukaimu balik dan melupakan kenangan masa laluku, Fit.” Kuusap rambut legam milik Fitri. Perlahan, gadis cantik dengan kulit kapas itu mengangkat kepalanya. Matanya berkaca lagi, sedang bibir merah mudanya bergetar.
PoV GitaKedatangan Polisi “Raise hands! (angkat tangan!).” Salah satu lelaki bertubuh tinggi dengan senjata laras panjang tersebut berteriak dengan suara yang keras. Dua di antara mereka meringsek maju dengan gerakan yang sangat cepat. Menyergap kedua orang aneh yang telah menyekapku selama hampir 24 jam di kamar ini. Jantungku serasa mau lepas dengan mata yang semakin basah akibat tangis haru, cemas, dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Aku terbaring tengkurap di atas kasur dengan kedua tangan yang berada di atas. Namun, bisa kulihat dengan jelas, betapa bengis dua lelaki berkulit langsat dengan seragam kepolisian Singapura yang berwarna serba hitam tersebut memborgol tangan milik Papa dan Amalia. Wajah kedua pasangan suami istri tersebut langsung pucat pasi. 
Bagian 40PoV GitaJay, Rumah, dan Cinta Sebelum dibawa ke kantor polisi, pihak kepolisian Singapura terlebih dahulu membawaku ke klinik terdekat dari apartemen milik Amalia di bilangan sentral kota negara maju ini. Luka-luka di wajahku langsung dibersihkan oleh seorang perawat wanita yang berpakaian putih-putih khas tenaga kesehatan. Perawat bernama Nona Lim tersebut sangat ramah dan mengajakku berbincang-bincang dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Dia bilang pernah sekolah di Singapura saat SD dulu. Ikut orangtuanya yang sempat membangun bisnis di kota Bandung selama kurang lebih lima tahun. Berbicara dengan perempuan lajang yang masih muda tersebut, seketika membuatku menjadi setidaknya agak lega. Akhirnya aku bebas dan sekarang sudah bisa berkomunikasi dengan orang luar. Sungguh nikmat sekali. Begitu berharganya sebuah kebebasan diri yang selama ini sangat tak pernah kusyukuri.
Bagian 41 “It’s okay. It was a long time ago.” Jay menatapku dengan lengkung senyum di bibirnya yang merah muda. Lelaki itu terlihat cepat menepis kilatan duka di matanya. Entah, ada masa lalu apa yang sempat terjadi antara dia dengan ibunya yang berkebangsaan Indonesia tersebut. Inginku korek lebih dalam, tetapi apa daya, mungkin bukan waktunya di sini. “Mrs. Gita, we’ll meet investigator (Nyonya Gita, kita akan bertemu dengan penyidik).” Tuan Chen mengingatkanku kembali. Aku pun langsung mengangguk, pertanda setuju dengan Tuan Chen. Bersama Pak Setya, Agni, Aga, dan Jay, aku pun berjalan mengikuti Tuan Chen yang akan membawaku ke ruang investigasi. Kami terus berjalan membelah gedung besar ini dan naik ke lantai dua dengan meng
Bagian 42PoV HarisKasus Pencabulan Mama Sehari tepat setelah kabar kematian Mama, aku yang kala itu tengah berada di kafe Antariksa, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kedatang dua orang pria berpakaian preman yang menunjukkan identitasnya sebagai polisi. Mereka meminta waktu untuk berbicara kepadaku beberapa saat. Aku sempat terkesiap. Ada apa gerangan? Jelas, ini begitu mengejutkanku. Kupilih ruang rapat yang berada di lantai dua, tepatnya di pojok belakang kafe untuk berbicara enam mata dengan aparat penegak hukum tersebut. Dengan jantung yang dag dig dug, kukuatkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jangan-jangan … mereka ingin menangkapku atas kasus video porno yang pernah kugeluti saat remaja dulu?&n