Bagian 32
“Tolong, Tante. Aku mohon.” Aku terus merajuk. Bayi Fitri pun kini menangis kencang. Kudekap dia lebih erat lagi. Menenangkannya, takut-takut anak itu menjadi biru seperti tadi.
“Mari, sini Tante lihat bayinya,” kata Tante kepadaku. Wanita gemuk itu lalu menggendong Fitri dan membelai wajah bayi malang tersebut dengan ekspresi kasihan.
“Kamu bawa popok untuk gantinya, Ris?” tanya wanita itu lagi.
“Bawa, Te. Sebentar, aku ambil di mobil.” Aku langsung bergegas keluar halaman rumah Bagas dan membuka pintu mobilku yang terparkir di depan bahu jalan. Gemetar tanganku. Rasanya aku tak pernah sepanik ini. Takut langsung menjalar ke seluruh p
Bagian 33PoV Haris Kupacu mobil dengan kecepatan yang stabil. Tak terlalu kencang, tapi juga tak terlalu lambat. Dengan menggunakan tangan kiri, aku sesekali menahan tubuh mungil Fitri yang terbarin di jok penumpang tepat di sampingku. Dadaku tak berhentinya berdegup keras. Bagaimana tidak, ada seorang anak manusia yang masih sangat kecil di dalam sini. Tak ada orang lain selain diriku yang menjaganya. Sementara itu, aku juga harus fokus menyetir dan memperhatikan jalanan yang lumayan padat. Fitri sempat menangis kencang di perempatan lampu merah. Di situlah aku mulai bingung dan gugup. Aku menepuk-nepuk tubuhnya dengan tangan kiri, sementara itu lampu lalu lintas mulai hijau dan kendaraan di belakangku seakan tak sabar sampai membunyikan klakson keras-keras agar aku segera maju. Sabar, Haris. Begitu kuat cobaan hidupmu. Hadapi s
Bagian 34PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia Aku seketika itu merasa manusia paling tol*l di muka bumi ini. Bagaimana bisa aku lengah sampai tak mengetahui bahwa Fitri telah masuk ke dalam jeratan Mama? Sesaat aku berpikir. Ya, bisnis telah melalaikanku. Uang yang Mama dan Papa gelontorkan untukku membangun bisnis tepat setelah kelulusanku dari universitas, nyata sudah membuatku terlena. Kusadari, waktuku kini tersita habis untuk mengembangkan bisnis keluarga yang semakin menggurita. Uang hasil penjualan video yang telah dikumpulkan oleh Papa, kini memang telah berhasil kami sulap menjadi kafe-kafe yang tersebar di beberapa daerah. Tak hanya kafe, usaha yang tengah naik daun seperti makanan atau minuman kekinian pun, ikut kami geluti meski setiap tahunnya akan tereliminasi ketika peminat mulai sepi. Namun, us
Bagian 352 in 1 (PoV Haris & Gita)PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia II Malam itu, Fitri sengaja kutahan di dalam kamar. Tak ada gedoran di depan pintu kamarku. Aman, pikirku. Mama dan Papa ternyata seakan tak peduli dengan kami berdua. Entah apa yang tengah mereka bahas di kamar selanjutnya. Aku enggan peduli. Barang-barang yang dikemasi itu entah apa maksudnya. Mau ke mana Mama malam-malam begini? Kabur? Namun, ke mana? Aku enggan peduli. Yang penting, Fitri sudah berada di sampingku saat ini. Gadis itu telah tertidur beberapa jam yang lalu. Lelah dia menangis. Menceritakan kronologi pelecehan yang kerap Mama lakukan beberapa bulan belakangan ini. F
PoV GitaBERADA DI NERAKA DUNIA Berjam-jam lamanya aku hanya bisa menangis dan berteriak. Tanpa makanan dan air. Bahkan, saat kebelet pipis pun, aku terpaksa harus menahannya sebab terkunci di kamar ini dari luar. Kejam! Kedua mertuaku benar-benar menjadikanku bagai hewan peliharaan yang dikurung di dalam kandang. Mereka benar-benar memperlakukanku secara tidak manusiawi, tanpa aku pernah tahu salahku di mana. Apa maksud mereka menyekapku begini? Apa untungnya bagi mereka? Bahkan aku sama sekali tak tahu tujuanku di bawa ke negara singa ini. Aku benar-benar menyesal telah menolak permintaan Bapak untuk menyuruh Arman menjemputku. Sesalku sangat besar sampai-sampai aku ingin mati saja s
Bagian 362 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia III Hari-hari berat kami lalu hanya berdua di sini. Astuti mendadak minta berhenti. Alasannya ingin fokus mengurus orangtua di kampung yang sudah sakit-sakitan. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Membiarkan Astuti pulang dengan menaiki bus, kurasa itu adalah solusi terbaik. Aku juga enggan dia mengetahui tentang perihal apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah ini. Hampir sebulan Papa dan Mama berada di Singapura. Tanpa sebuah kabar apa pun. Terakhir dia hanya meneleponku pada pagi di mana Fitri menjadi histeris dan mengamuk sebab mengetahui mamanya pergi tanpa pamit. Di sini, aku berusaha menenangkan Fitri yang kadang kala menangis meraung minta dibawa ke Singapura untuk berjumpa dengan Mama.&n
Bagian 37PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia IV “Omong kosong! Tidak mungkin. Jangan bohongi kami, Pa!” Aku berteriak. Sosok Fitri sampai terkejut dan menyambar ponsel dari tanganku. “Halo? Papa, ada apa? Mama di mana, Pa? Aku ingin bicara pada Mama!” Fitri ikut histeris. Gadis itu sampai turun dari tempat tidur dan berdiri dengan posisi satu tangan yang berada di belakang pinggang. “Meninggal?!” Fitri berteriak. Dia menatap ke arahku dengan wajah syok. Matanya sampai membeliak. Dia berkali-kali menggelengkan kepalanya. Sigap, aku menangkap gadis itu. Memeluknya erat, membawanya kembali ke sisi ranjang. Ponsel sampai terlepas dari genggaman F
Bagian 382 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia V Sore itu juga, Papa mengirimkan gambar-gambar yang sangat membuatku tercengang luar biasa. Gila, pikirku dalam hati, hebat sekali dia membuat semua ini menjadi seperti sangat nyata. Scan surat keterangan kematian dari rumah sakit swasta ternama di Singapura, beberapa potret mendiang Mama yang terbaring di atas tempat tidur dengan wajah yang sangat pucat, beserta foto jenazah yang telah dikafani rapi dalam sebuah peti jenazah, semua telah masuk melalui pesan WhatsApp ke nomorku. Semua seperti sangat nyata, seolah memang Tuhan telah mencabut nyawa Mama. Namun, hati kecilku entah mengapa masih saja menyangkali semua bukti yang disuguhkan oleh Papa. Mama masih hidup, begitu benakku. Aku yakin 100% bahwa dia masih ada di Singapura sana dalam keadaan sehat wal afiat. A
PoV GitaCahaya Harapan Jay telah keluar dari kamar dengan membawa serta piring sisaku makan. Dia hanya meninggalkan gelas yang masih berisi setengah air putih saja di nakas. Aku pun langsung bangun dan duduk bersandar di tempat tidur sembari memeluk kaki. Kutarik napas dalam sembari menyisir seisi ruangan. Mencari-cari di mana kira-kira Irfan dan Amalia menyembunyikan kamera pengintai di kamar ini. Namun, mataku tak mampu menemukan sebuah kamera yang selayaknya dipasang di rumah-rumah. Pasti bukan kamera sebesar itu, pikirku. CCTV yang mereka gunakan bisa saja lebih kecil dan ditempatkan di sudut yang tak terduga. Sudahlah, sepertinya tak ada guna bagiku untuk mencari di mana kamera pengintai yang belum tentu memang di pasang di sini. Sekarang, yang harus k
Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun
Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat
Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.
Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe
Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n
Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.
Bagian 50PoV GitaMenuntaskan Semua “Tidak. Kami tidak pernah kenal orang dengan nama Wati,” kata Ibu sambil menatapku dalam. “Iya. Bapak juga tidak kenal.” Aku hampir down sendiri. Maka, akan semakin sulitlah pencarian ini. Kuperhatikan ke arah Jay. Lelaki itu sepertinya paham dengan ucapan kedua orangtuaku. Mukanya yang semula cerah, berubah jadi mendung. Kasihan dia. Lelaki itu pasti berpikir bahwa langkahnya akan sulit. “Be patient, Jay. Kita akan tetap cari sama-sama,” kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Jay hanya bisa tersenyum lelaki berwajah oriental dengan matanya yang sipit tersebut menyunggingkan sebuah senyum tipis. Senyuman ya
Bagian 49PoV GitaPulang Bersama Jay Pagi-pagi sekali aku bangun bersama sosok Agni yang tak hentinya bersikap bak malaikat penjaga yang baik hati. Gadis itu benar-benar sangat welcome dan memberikan perhatian yang besar kepadaku, bagaikan kami ini adalah saudara yang sangat dekat. Dia bahkan memberikanku pakaian yang sangat bagus untuk penerbanganku hari ini bersama Jay dan pihak kepolisian RI yang menjemput kami. Dress selutut berwarna merah cerah dengan lengan panjang dan ikat pinggang kulit seukuran ibu jari itu sangat pas di tubuhku. Agni juga menata rambutku dengan cukup cantik. Dia memblownya dengan hair dryer dan roll rambut sehingga mempertegas ikal di rambut sebahuku. Wanita itu juga mempersilakan aku untuk berdandan menggunakan alat make up-nya. Aku benar-benar merasa begitu sangat tertolong dengan kehadiran sos
Bagian 48PoV HarisMenggertak Fadil Siang itu kafe Antariksa dihebohkan dengan kedatangan wanita yang kugadang-gadang sebagai calon istriku. Semua orang terlihat sangat antusias, kecuali Fadil. Lelaki itu sama sekali tidak bereaksi. Membuatku geram sekaligus penasaran. Apa mau dari pria tersebut? Perbincangan dengan Gita kunilai sangat membosankan. Pantas wanita itu lama sendiri. Dia adalah perempuan yang sangat membosankan. Tidak cukup asyik. Apalagi aku adalah tipikal pria yang sebenarnya dingin dan mudah kehabisan topik pembicaraan. Terlebih pikiranku masih saja dihantui bayang-bayang akan Fadil yang sedari tadi kuperhatikan terlihat sangat cuek bebek. “Mas Haris, masalah yang tadi … maksudnya apa, ya?” Gita tiba-tiba saja berta