SEASON 2
Bagian 1
Setibanya di rumah Ummi dan Abi, kami buru-buru ke ruang makan untuk menjumpai keduanya. Ternyata, mereka sudah hampir selesai santap pagi bersama sang cucu.
“Kalian kemana, sih? Kok baru ke sini?” Ummi tampak sedang mengelap bibirnya dengan tisu. Wanita berkaftan warna hitam dengan hiasan payet di dadanya itu terlihat agak marah.
“Sudah. Duduk dulu kalian.” Abi ikut berkata. Lelaki tua itu tersenyum ramah ke arah kami.
“Ummi, Abi. Kami ada kabar.” Mas Yazid begitu antusias. Dia menyikutku untuk mengeluarkan buku pink dan test pack yang tersimpan dalam tas selempang. Segera aku membuka ritsleting tas, kemudian merogoh test pack dan berniat untuk menunjukkannya pada mereka.
Bagian 2Keluarga besarku di kampung sangat bahagia kala mendengarkan kabar ini. Tak hentinya Ayah dan Ibu mengucap syukur sembari menangis kala kutelepon tentang kabar kehamilan ini. Keduanya memberikan doa agar kehamilanku berjalan dengan lancar dan sehat. Kehamilan pertamaku di usia 30 tahun setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 7 tahun lamanya ini memanglah sangat mengejutkan. Betapa tidak. Tak ada satu pun terapi atau program yang kami lakukan dalam beberapa waktu belakangan. Semuanya hanya berjalan secara alami. Bedanya, sejak kepergian Dinda, keadaan keluarga Mas Yazid menjadi 180o bedanya dalam memperlakukanku. Tak ada lagi yang mempermasalahkan ketidakhamilanku. Semuanya hanya fokus untuk membuatku nyaman dan merasa bahagia di rumah ini. Aku pun tak bakal menyangka dengan kehamilan yang sungguh datang secara tiba
Bagian 3Bukan kepalang bahagiaku dan Mas Yazid. Dua kantung yang berarti akan terisi oleh dua janin di dalam rahim ini. Ya Allah sungguh nikmat yang tak terduga. Berulang kali kami serempak mengucap syukur di hadapan dokter Barly. Lelaki bermasker bedah itu sampai ikut berbahagia kala mendengar cerita kami tentang perjuangan tujuh tahun ini. Setelah selesai berkonsultasi dan mendapatkan resep dari dokter, kami memutuskan untuk menebus obat di apotek terlebih dahulu sebelum pulang. Lamanya antrean tak sama sekali membuat kami jenuh atau pun bosan. Hanya perasaan berbunga-bunga yang kami rasa berdua. Bahkan rasa lemah di badan ini tak datang barang sedetik pun. “Mira, aku masih tidak percaya. Kita akan punya anak kembar!” Mas Yazid berbisik padaku sembari meremas jemari ini. Senyum dari pria yang rambut ikalnya sudah mu
Bagian 4Petang itu, kami berlima begitu buncah dalam haru yang bercampur bahagia. Ummi dan Abi memelukku begitu erat. Keduanya bahkan tak segan untuk menciumi pipi ini. Hangat sekali perlakuan mereka. Tak lupa, Sarfaraz yang kini kuanggap layaknya anak sendiri, juga memberikan ucapan selamat sekaligus kecupan di pipi. “Bunda, adiknya mana?” Pertanyaannya sangat polos sekali. Membuatku sangat gemas dan semakin sayang padanya. “Sabar ya, Mas Faraz. Sembilan bulan lagi adiknya akan lahir. Mas yang jagain ya nanti.” Aku menciumi pipi kanan dan kiri Sarfara yang kini tengah berada dalam gendongan Mas Yazid. “Mana bisa? Kan aku masih kecil.” Tatapan Sarfaraz seperti kebingungan. Wajahnya terlihat cemas. Kami berempat sontak ter
Bagian 5Kami berlima telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Betul-betul surga dunia bagi aku dan Ummi. Bagaimana tidak, di gedung tujuh lantai yang menyediakan segala jenis barang kebutuhan rumah tangga sampai material bangunan atau perabot ini begitu menyilaukan mata kaum ibu-ibu. Kami bisa berkeliling ke setiap sudut dan lantai hanya untuk sekadar cuci mata atau berbelanja.Mas Yazid sampai menarik tanganku ketika kami hendak masuk ke counter perlengkapan bayi dan anak yang berada di lantai tiga. "Belum waktunya. Nanti saja beli-beli barang bayi." Begitu ujarnya. Jangan ditanya, aku langsung mengecimus akibat kecewa."Padahal kan cuma mau lihat-lihat," kataku membela diri."Nanti saja, Mira. Orang zaman dulu bilangnya pamali." Abi pun ikut buka suara."Kami kan cuma ingin lihat, Bi." Ummi menimpali. Kami berdua kini kian sehati dan sejalan. Berbeda dengan Abi yang selalu lebih pro pada anak semata wayangnya."Lebi
Bagian 6Telingaku mendengar sayup-sayup kepanikan dari seluruh anggota keluarga. Terasa tubuh ini digotong oleh Mas Yazid. Dibawa dengan langkah agak buru-buru. Aku bukannya tak sadar, tetapi tubuh ini benar-benar lemas dan sulit untuk membuka mata. “Mira, bertahanlah. Kita ke rumah sakit, ya?” Suara Mas Yazid begitu ketakutan. Kemudian suara-suara lainnya menyusul. Tubuhku terasa terguncang-guncang saat Mas Yazid membawanya entah kemana. Terdengar olehku pintu suara lift yang terbuka. Aroma jeruk dari pewangi yang dipasang dalam ruangan kecil itu pun menguar, semakin membuat perutku terasa mual. Ya Rabbi, rasanya aku tak tahan lagi. Dari mulai rasa nyeri, mual, sampai pusing, semuanya campur aduk. Aku hanya ingin rebah. Istirahat dan memejamkan mata sembari meminum obat penghilang mual dan nyeri.&
Bagian 7Di ruang rawat inap, tangis Mas Yazid dan kedua orangtuanya semakin tumpah ruah. Membuat aku seketika merasa pilu luar biasa. Bergantian mereka menciumi keningku. Memberi semangat agar aku kuat menjalani kehidupan. “Mira, Ummi sungguh menyesal. Maafkan Ummi yang sudah mengajakmu berbelanja, Sayang. Tidak Ummi duga bahwa semuanya malah seperti ini.” Lama sekali Ummi memeluk tubuhku yang terkulai lemah di atas ranjang pesakitan. Beberapa kali air mata Ummi ikut menetes pipiku. Membuat jiwa ini semakin sedih dan turut ingin menangis. “Sudah, Ummi,” liriku sembari perlahan mengangkat tangan untuk menghapus air mata beliau. “Ummi minta maaf, Sayang.” Sekali lagi Ummi memohon maaf. Bagiku, beliau sama sekali tak salah.
Bagian 8Setelah menjalani terapi dan rawat inap selama lima hari, dokter memperbolehkanku untuk pulang. Di rumah, bukan berarti aku bisa beraktifitas layaknya perempuan sehat pada umumnya. Aku diharuskan tirah baring penuh selama enam bulan ke depan. Berat? Membayangkannya saja aku sudah tak mampu. Namun, tak ada pilihan lain. Aku harus patuh terhadap advice dari dokter jika memang kondisi kesehatan ini membaik. Kedatanganku di rumah, disambut meriah oleh seluruh anggota keluarga. Kamar yang kami tempati di rumah Ummi sudah dihias dengan begitu apik penuh balon-balon helium berbentuk hati yang diikat di tiap sudut tempat tidur. Kemudian ada ucapan selamat datang dari rangkaian balon abjad warna magenta yang di tempel di dinding atas kepala ranjang. Tak lupa, cake berbentuk persegi dengan lapisan pondan warna merah jambu yang di atasnya dibentuk karakter wanita berhijab dengan perut membesar bagai ibu h
Bagian 9PoV SelaSelamat tinggal rumah reyotku di kampung. Selamat tinggal juga bapakku yang pemalas dan cuma bikin susah orang saja kerjaannya. Ah, sekarang aku sudah enak banget tinggal di sini. Walau cuma jadi babu, tapi kok rasanya nikmat sekali, ya? Rumah gedongan, wangi, bersih, bebas gerah. Belum lagi bisa nonton Youtube dan TikTok-an setiap malam abis kerja seharian. Eh, makanannya enak-enak pula. Belum lagi kalau ketiban rejeki liat yang bening-bening. Ehem, itu ... suami Mbak Mira yang kaya raja minyak dari Arab. Orangnya ganteng, badannya bagus, harum pula! Uwu banget pokoknya. Setiap aku liat dia, rasanya pengen meluk terus bawaannya. Gimana nggak betah, coba? Hidup udah kaya di dalam surga. No bau kandang ayam, no gedoran di pintu dari anak buah rentenir yang kejamnya bukan main, dan no ejekan dari kawan-kawan
Bagian 22“Apa? Hamil lagi?” Abi bersorak histeris penuh euforia saat kami tiba di rumah sambil memperlihatkan hasil test pack dengan dua garis merah di tengah stik putihnya. “Alhamdulillah, selamat ya, menantuku! Ummi senang sekali mendengarkan berita ini.” Ummi tak kalah heboh. Perempuan paruh baya yang tengah menggendong Hira, langsung menghambur ke arahku dan tak lupa menghujaniku dengan ciuman. Rasa syok dan sedih yang sempat melanda, kini perlahan sirna. Pupus berganti dengan bahagia yang perlahan mewarnai hati. Bagaimana tidak. Senyum kedua orangtua inilah yang membuatku menjadi semangat untuk menjalani hari-hari berat selanjutnya. Kehamilan kedua di saat anak-anakku masih sangat kecil untuk mendapatkan adik baru, memang suatu hal yang tak bakal gampang untuk dijalani. Mengurus dua bayi kemb
Bagian 21“Mira, kok lesu? Mukamu pucat sekali? Kenapa?” Ummi tercengang melihat kondisiku pagi ini. Aku yang memang sudah muntah sebanyak tiga kali, merasakan lemas yang cukup lumayan.“Muntah-muntah dari bangun tidur, Mi.” Mas Yazid membantuku untuk menjawab. Sedang aku meraih Fira dari gendongan Ummi. Bayi tiga bulan itu sudah bangun dengan wajah yang cerah ceria. Dia tahu bahwa sebentar lagi saatnya menyusu pada sang bunda.“Muntah? Muntah kenapa?” Abi yang baru muncul dari balik pintu kamarnya sembari menggendong Hira yang ternyata masih terlelap dalam pelukan beliau, bertanya dengan nada yang cukup penuh penasaran. Belum tampaknya sangat excited kala menangkap kata ‘muntah’ dari pernyataan anak tunggalnya.&
Bagian 20 Sebulan kemudian .... “Uek! Uek!” Pagi-pagi sekali, aku tiba-tiba merasa sangat mual dan pusing kepala. Rasanya tubuhku sangat tak enak. Seperti orang yang masuk angin dan mengalami magh. Mas Yazid jadi ikut terbangun mendengarkan suara muntahanku di dalam kamar mandi. Lelaki itu ikut menyusul dan terlihat sangat kaget. “Mir, kamu kenapa?” Deg! Aku bagai sedang de javu. Benar-benar seolah tengah masuk ke masa lalu, tepatnya saat pertama kali tahu bahwa si kembar sedang berada di dalam rahim ini. “Mas, aku mual ....” Aku menatap dalam tepat pada iris Mas Yazid. Lelaki itu mendelik. Wajahnya tampak syok. Seakan dia tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini. “Mir, kamu sudah telat?” Mas Yazid bertanya dengan sedikit penekanan pada kalimatnya. Aku mengangguk. Ya, aku sudah telat tiga hari. Seharusnya, aku sudah mens pada tiga hari yang lalu. Namun, mengapa yang muncul malah mual dan muntah s
Bagian 19Tak terasa, dua bulan sudah aku usai melahirkan. Zafira dan Zahira pun telah tumbuh menjadi bayi-bayi gempal yang sungguh menggemaskan. Keduanya memiliki bobot yang sangat lumayan di usia yang kedua bulan. Sama-sama berbobot 5,5 kilogram. Bayangkan! Sebesar itu. Kenaikan berat badan mereka sangatlah drastis. Padahal aku hanya memberikan full ASI eksklusif, tanpa tambahan pendamping lainnya.Semua mata akan tertuju pada Zafira dan Zahira saat kami mengajak mereka berjalan ke mana pun. Saat ada acar pengajian di rumah, Ummi akan sibuk membangga-banggakan cucu kembarnya kepada seluruh rekanan.“Lihat cucuku. Baru dua bulan sudah gendut dan makin cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dagunya juga lancip. Masyaallah. Cantik luar biasa!” Begitu kalimat yang selalu diucapkan Ummi untuk cucu-cucu kesayangannya tersebut.Seluruh perhatian dan kasih sayang pun kini tercurah sepenuhnya untuk Zafira dan Zahira seorang. Ummi dan Abi be
Bagian 18“Tapi ... tapi Faraz mau sama Kakek. Main sama Kakek. Bobo sama Kakek. Sama adik kembar.” Sarfaraz menjawab dengan matanya yang berkaca-kaca.“Nanti kita ke rumah Kakek sering-sering. Papa dan Mama akan antar Faraz. Tapi Faraz coba ikut Papa dan Mama dulu beberapa hari. Kita coba ya, Nak. Kalau Faraz tidak suka, Faraz bisa kembali ke rumah Kakek lagi.” Koko Reno menyampaikan bujuk rayunya dengan nada yang lembut. Lelaki berkulit putih dengan perut buncit tersebut, kini berdiri dan berjongkok tepat di hadapan Abi dan Sarfaraz. Tangannya gemuk mengusap-usap kepala anak lelaki semata wayang Dinda. Kulihat, lelaki yang tampaknya begitu kaya ini sangat perhatian dan menyukai anak kecil. Ya, mungkin saja kehadiran Sarfaraz begitu sangat dinantikan bagi mereka di sana.“Papa akan ajak Faraz main di Jakarta. Kita keliling-keliling. Belanja mainan. Ke Dufan, Taman Mini, terus kita bisa juga jalan-jalan ke luar kota pakai mobil. Ke
Bagian 17“Siapa itu?” Abi langsung panik. Sarfaraz yang semula duduk anteng di sampingnya, langsung cepat memeluk sosok sang kakek yang juga tengah menggendong bayiku. Aku memandang ke arah mereka. Tampak jelas bahwa raut Abi dan Sarfaraz benar-benar sedang dalam kecemasan.“Pakai dulu jilbabnya, Mir.” Mas Yazid langsung menyambar selembar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi tempat dia duduk. Dengan serta merta, aku yang tengah duduk di tempat tidur segera memasangnya di kepala.Mas Yazid kemudian bangkit. Langkahnya tampak agak pelan dan ragu. Jantungku jadi berdegup kencang. Menanti wajah siapa yang ada di depan pintu sana.“Assalamualaikum, Mas.”Aku langsung melongok. Melihat siapa yang ada di balik pintu. Suara salam itu ... berasal dari bibir seorang wanita berpenampilan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dinda. Ya, dia kini berjilbab dengan gamis panjang berwarna biru laut. Ada dua lelaki yang me
Bagian 16Pagi sekali aku bersama Mas Yazid dan Ibu sudah bangun akibat si kembar yang menangis minta disusui. Tubuhku yang kini sudah boleh miring kanan dan kiri serta setengah duduk, sekarang rasanya sedang tak benar-benar fit. Mengantuk dan migrain ini kambuh. Ya, kurang tidur. Semalaman pekerjaanku cuma menyusui dan menyusui. Lelah sekali dan hampir-hampir ingin kuberi saja mereka berdua susu formula agar aku bisa melanjutkan tidur. Namun, lagi-lagi rasa sayangku menjadi bertambah besar pada Zafira & Zahira. Aku tak ingin anakku mendapatkan susu formula, padahal stok ASI di payudara ini sedang melimpah ruah. Maka, kembali lagi aku mengalah meskipun imbasnya pada tubuh sendiri.Yang menginap di ruangan hanya Mas Yazid dan Ibu saja. Sedang lainnya beristirahat di rumah dan bakal kembali ke sini pada pukul sembilan katanya. Sebenarnya aku sangat kasihan pada Ibu. Bagaimana pun usianya sudah tak lagi muda untuk begadang dan mengurus dua bayi sekaligus. Namun, belia
Bagian 15Ummi yang terlihat emosi, langsung menyambar ponsel Mas Yazid dengan tangan kanannya. Sementara tangan kiri beliau masih menggendong Zahira.“Halo, Din. Ini Ummi. Apa maksudmu ingin mengambil Sarfaraz dari kami? Kamu sengaja ingin membuat gonjang ganjing dalam rumah tangga ini? Ke mana saja kamu kemarin? Kenapa baru sekarang menanyakan anakmu dan ujuk-ujuk malah ingin mengambilnya segala?” Ummi luar biasa naik pitam. Suaranya tegas walaupun tak begitu nyaring, sebab Zahira sudah mulai terlelap lagi dalam gendongannya.“Maafkan aku, Mi. Bukan maksudku merusak suasana bahagia di tengah kehidupan kalian. Aku ... cuma ingin kembali hidup dengan Faraz. Itu saja, Mi.” Terdengar dari seberang sana, suara Dinda seperti canggung dan takut. Rasakan saja. Dia memang harus digertak oleh Ummi. Tidak tahu diri! Selama setahun belakangan ini, tak suah dia menelepon dan menanyai kabar anaknya. Saat kami sekeluarga telah begitu lengket dengan Sa
Bagian 14“Ummi ....” Aku berusaha menggapai-gapai demi memanggil Ummi yang tengah berada dalam keadaan emosi.“Aku tidak apa-apa, Mi.” Air mataku benar-benar meleleh. Rasa terharu yang bukan main. Sedu sedan ini langsung tumpah ruah akibat rasa yang begitu dalam akibat kasih Ummi.Ummi yang memegang bungkusan berisi susu formula dan segala perlengkapan bayi lainnya, menjatuhkan bungkusan tersebut dan langsung menghambur ke arahku. Beliau menangis. Menumpahkan sebak air mata sembari menciumi pipi ini. Berkali-kali dia mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan.“Ummi sangat takut kehilangan kamu, Mira. Ummi nggak mau kamu kenapa-napa.” Beliau berkata sambil tersedu-sedu. Tangisnya pilu. Aku tahu bahwa ini adalah sebuah kejujuran dari lubuk hati terdalamnya.“Mira juga nggak mau kehilangan Ummi.” Aku mengusap air matanya. Namun, air mataku yang malah semakin banjir. Kini kami saling menangis dan t