"Kita pasti pulang, aku akan mengeluarkanmu sekarang," tegasku melangkahkan kaki mencari di mana bisa membuka kunci sel ini. Keyakinan begitu kuat bahwa sel ini bukan seperti di alam manusia yang bisa dibuka kapan saja. Lantas aku memegangi bagian pintunya dan melafalkan doa, membacakan ayat kursi dan menutupnya dengan takbir. Seketika kekuatan di pintu itu seperti menghilang dan terbuka dengan mudah. "Ayok, Lisa. Cepat!" Lisa keluar dan segera memegang tanganku. Kami berjalan perlahan di menuju tempat ke luar. Dia setengah berteriak saat melihat sosok-sosok manusia yang kutemui ketika masuk ke sini. "Jangan takut, mereka akan mengabaikan kita," ucapku mencoba menenangkannya. Kami melangkah secara perlahan melewati orang-orang yang terlihat seperti mayat hidup. Mereka mengendus bau tubuh kami, tetapi tidak bereaksi apa pun terhadap kehadiranku di sini. Aku memerintahkan Lisa untuk tetap beristigfar dan mengucap asma Allah agar bisa selamat sampai kembali pulang. "Kak, tunggu!" pe
Lisa tersentak dan terbangun dari tidur panjang. Napas gadis itu masih terengah dengan keringat yang mengucur deras dari pelipisnya. Ia menoleh ke arah tubuh pria yang masih belum sadarkan diri. "Alhamdulillah." Darman histeris memeluk putri yang begitu ia rindukan selama ini."Ayah ..." Gadis itu memeluk ayahnya dengan sangat erat. Menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hati. Tangisan haru mewarnai pertemuan di antara keduanya. Darman yang mendekap dan menciumi pucuk kepala putrinya itu merasa bersalah atas semua yang tengah ia lakukan selama ini. Mengorbankan cinta dan kasih sayang keluarga hanya untuk bergelimang harta membuat ia jadi seseorang yang gelap mata dan hati."Kamu tidak apa-apa?" tanya Darman melepas pelukannya dan menyentuh kedua pipi Lisa, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Lisa hanya mengangguk perlahan. Pria itu kembali menarik tubuh mungil Lisa dan berkata, "Maafkan ayahmu ini, Nak. Maafkan!"Lantunan ayat suci masih terdengar jelas mengisi masjid t
Lisa yang duduk dekat jendela merenung memandangi pepohonan yang menjulang tinggi. Ia masih merasa bingung dan tidak percaya dengan apa yang sudah dialaminya selama ini. Entah sikap apa yang harus ditunjukkan kepada orang tua yang sudah membuat kehidupannya harus mengalami hal-hal di luar logika. Harus membencikah? Atau bahkan harus lebih mencintai?Mobil berhenti di pertengahan jalan. "Andi, itu mobilmu, 'kan?!" ucap Kyai Ilham menunjuk pada mobil berwarna hitam yang terparkir di pinggir jalan. Andi mengiyakan dan turun dari mobil, lantas menghampiri kendaraan yang menemani perjalanannya sampai sini. Ia memeriksa keadaan mobil dan memastikan jika masih bisa dikendarai sampai pulang ke rumah."Tidak terjadi apa-apa?" tanya Pak Darman dengan nada khawatir."Tidak, Pak. Sudah saya bilang, jika harta ini saya titipkan pada Pemberi-Nya," tutur Andi menepuk bahu Darman dengan perlahan.Lisa terlihat keluar dari mobil dan berlari menghampiri Andi. "Boleh aku ikut mobil Kak Andi?" tanya Lisa
Andi mencoba menghampiri pria malang itu, menaruh tangan di bahunya. Darman masih berkata sama, "Aku kaya ... aku kaya ... aku kaya." Nadanya sedikit menurun."Istigfar, Pak. Pak Darman harus kuat demi Lisa," tutur Dokter muda itu, mencoba menenangkan pria yang kini terlihat kosong.Tangisan Darman tiba-tiba terhenti. Ia berlari ke arah ranjang dan mengambil boneka milik Fahmi. Menatap boneka itu dengan mata berbinar, lalu tersenyum dan tertawa dengan bahagia. "Anakku, Fahmi. Bobo dipelukkan ayah, ya," racaunya mengais boneka tersebut."Astagfirullah hal Adzim." Andi menggeleng perlahan. Sementara Lisa terlihat memasuki ruangan. Ia menangis dan memeluk ayahnya dengan erat. Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan sang ayah. Dalam kehangatan itu, Lisa mencoba kuat dan tabah menghadapi apa yang terjadi pada keluarganya kini. Kalimat istigfar tak henti ia lantunkan sebagai penguat batinnya kini.Kyai Ilham dan Andi tampak prihatin atas kejadian naas ini. Mereka memandang dua insan yang menj
Sinar jingga keemasan mulai menampakkan hangatnya. Aroma sejuk embun berbaur dengan bunga-bunga yang bermekaran di pagi hari. Memberi semangat untuk tiap jiwa yang hidup. Memberi hidup untuk jiwa yang mati.Kakiku melangkah terburu-buru, menuju sebuah ruangan yang jaraknya lumayan jauh dari kamar tempat tinggalnya.Suara pintu berdecit ketika dibuka, menampakkan sesosok tubuh rimpuh yang tergeletak lemah di kasur tipis nan lusuh. Bau tak sedap menyeruak di setiap sudut ruangan.“Ayah, sarapan dulu, ya? Lisa udah bawa makanan buat Ayah.”Gegas aku duduk di samping kasur yang sengaja diletakkan di lantai beralas tikar purun. Di situlah selama ini Ayah tinggal. Diisolasi agak jauh dari pesantren tempat tinggalku sekarang.Sesekali aku menyeka sudut mata yang selalu saja menumpahkan bening setiap melihat ayah.“Marni, kita kaya! Kita nggak miskin lagi sekarang, anak-anak kita juga nggak akan kelaparan. Nggak akan ada yang bakalan menghina kita lagi. Kita kaya!”Sekian waktu berlalu, kondi
Isi perutku benar-benar ingin keluar. Tidak peduli saat ini sedang berada di mana dan di tempat seperti apa. Berkali-kali berusaha memuntahkan sesuatu, tapi tidak bisa. Kerongkongan seakan tersumbat sesuatu, bahkan sekarang untuk menelan liur pun susah.'Ya Allah, tolong aku.’ Hanya itu yang bisa kuminta dalam hati. Semoga ada pertolongan yang datang.Lama kelamaan aku merasa susah bernapas. Sesuatu yang tadi menghalangi rongga leher kini seperti ikut menutup jalan pernapasanku. Sesak, tatkala tak ada udara yang masuk. Air mata terus membanjiri pipi, berbaur dengan anyir darah yang masih terus menetes dari atas.Aku masih berusaha sekuat tenaga untuk melawan, berulang kali meraup napas. Nyatanya tidak ada hasil sama sekali. Dunia seperti berputar, kini aku tidak bisa merasakan apa pun di seluruh bagian tubuh. Sampai tiba-tiba suara seperti pintu didobrak mengagetkanku. Seiring dengan berhentinya tetesan darah di kepala. Hambatan yang tadi menghalangi jalan napas juga hilang seketika.
Harta satu-satunya yang paling aku cintai di dunia ini terlihat melangkah pelan. Bibirnya tak henti menyeringai, menimbulkan kengerian. Aku membiarkan beliau mendekat, meski sebenarnya bulu kudukku meremang.Tidak dipungkiri, aku merindukan pelukan Ayah, di mana dulu—sebelum perjanjian iblis itu—ia sering mendekapku untuk mengajak salat atau mengantarkanku mengaji. Ya, saat itu aku masih kecil. Meski kami miskin, tetapi aku memiliki keluarga yang hangat. Semua terasa cukup. Melihat Ayah berjalan tergopoh, membuatku bertahan di tempat. Mungkin saja beliau merindukanku, meski Kyai berpesan agar jangan terlalu lama berdekatan karena psikis Ayah dalam keadaan tidak baik. Namun, aku percaya cinta dan rindu bisa menyatukan kami.Kini jarak kami semakin dekat. Aku melihat ada yang berbeda di mata Ayah. Penuh kebencian dan dendam. Hingga akhirnya secara tiba-tiba pria itu mencekikku dan mendorongku hingga tubuhku tersentak sampai dinding. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Ayah, tetap
Sinar jingga di ufuk barat menandakan hari akan berganti. Burung-burung beterbangan bersama kelompoknya kembali ke peraduan masing-masing. Lisa sudah bersiap untuk melaksanakan salat Magrib meski azan belum berkumandang.Sudah tiga hari sejak kejadian kemarin, Pak Darman tidak menunjukkan perubahan. Dia tetap meracau mengingat tentang Marni dan harta-harta haram mereka. Dia juga tidak lagi mengamuk seperti kemarin, seolah-olah hari itu memang tidak terjadi apa-apa pada dirinya.Kyai Ilham melarang Lisa pergi dalam beberapa hari. Ia hanya boleh berada di sekitar pesantren ini saja. Entah apa maksud dan tujuannya, Lisa pun tak tahu, tapi ia yakin ini semua untuk kebaikan Pak Darman dan putrinya.Kadang Lisa merasa malu dan segan karena terlalu sering merepotkan seluruh penghuni pesantren ini. Apalagi dengan keberadaan Pak Darman yang tentu saja selalu menarik perhatian banyak orang. Meski Lisa sudah biasa jika ada yang membicarakan mereka di belakang, tapi rasa tidak nyaman itu pasti ad
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me