Isi perutku benar-benar ingin keluar. Tidak peduli saat ini sedang berada di mana dan di tempat seperti apa. Berkali-kali berusaha memuntahkan sesuatu, tapi tidak bisa. Kerongkongan seakan tersumbat sesuatu, bahkan sekarang untuk menelan liur pun susah.'Ya Allah, tolong aku.’ Hanya itu yang bisa kuminta dalam hati. Semoga ada pertolongan yang datang.Lama kelamaan aku merasa susah bernapas. Sesuatu yang tadi menghalangi rongga leher kini seperti ikut menutup jalan pernapasanku. Sesak, tatkala tak ada udara yang masuk. Air mata terus membanjiri pipi, berbaur dengan anyir darah yang masih terus menetes dari atas.Aku masih berusaha sekuat tenaga untuk melawan, berulang kali meraup napas. Nyatanya tidak ada hasil sama sekali. Dunia seperti berputar, kini aku tidak bisa merasakan apa pun di seluruh bagian tubuh. Sampai tiba-tiba suara seperti pintu didobrak mengagetkanku. Seiring dengan berhentinya tetesan darah di kepala. Hambatan yang tadi menghalangi jalan napas juga hilang seketika.
Harta satu-satunya yang paling aku cintai di dunia ini terlihat melangkah pelan. Bibirnya tak henti menyeringai, menimbulkan kengerian. Aku membiarkan beliau mendekat, meski sebenarnya bulu kudukku meremang.Tidak dipungkiri, aku merindukan pelukan Ayah, di mana dulu—sebelum perjanjian iblis itu—ia sering mendekapku untuk mengajak salat atau mengantarkanku mengaji. Ya, saat itu aku masih kecil. Meski kami miskin, tetapi aku memiliki keluarga yang hangat. Semua terasa cukup. Melihat Ayah berjalan tergopoh, membuatku bertahan di tempat. Mungkin saja beliau merindukanku, meski Kyai berpesan agar jangan terlalu lama berdekatan karena psikis Ayah dalam keadaan tidak baik. Namun, aku percaya cinta dan rindu bisa menyatukan kami.Kini jarak kami semakin dekat. Aku melihat ada yang berbeda di mata Ayah. Penuh kebencian dan dendam. Hingga akhirnya secara tiba-tiba pria itu mencekikku dan mendorongku hingga tubuhku tersentak sampai dinding. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Ayah, tetap
Sinar jingga di ufuk barat menandakan hari akan berganti. Burung-burung beterbangan bersama kelompoknya kembali ke peraduan masing-masing. Lisa sudah bersiap untuk melaksanakan salat Magrib meski azan belum berkumandang.Sudah tiga hari sejak kejadian kemarin, Pak Darman tidak menunjukkan perubahan. Dia tetap meracau mengingat tentang Marni dan harta-harta haram mereka. Dia juga tidak lagi mengamuk seperti kemarin, seolah-olah hari itu memang tidak terjadi apa-apa pada dirinya.Kyai Ilham melarang Lisa pergi dalam beberapa hari. Ia hanya boleh berada di sekitar pesantren ini saja. Entah apa maksud dan tujuannya, Lisa pun tak tahu, tapi ia yakin ini semua untuk kebaikan Pak Darman dan putrinya.Kadang Lisa merasa malu dan segan karena terlalu sering merepotkan seluruh penghuni pesantren ini. Apalagi dengan keberadaan Pak Darman yang tentu saja selalu menarik perhatian banyak orang. Meski Lisa sudah biasa jika ada yang membicarakan mereka di belakang, tapi rasa tidak nyaman itu pasti ad
“Kenapa sekarang malah Lisa yang diganggu, Kyai?”Andi bertanya pada Kyai Ilham saat mereka berjalan bersisian setelah kembali dari kamar Lisa.Dokter muda itu masih terus mengawasi Lisa meski sudah menitipkannya pada Kyai Ilham.“Mungkin masih ada perjanjian yang belum ditepati oleh pak Darman. Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kalian, bahwa bersekutu dengan syaitan hanya akan menjerumuskan kalian ke dasar jurang penuh dosa. Sulit sekali keluar dari jeratan mereka. Bukan hanya diri sendiri yang akan terkena dampak mudaratnya, tetapi keluarga juga, atau bahkan orang lain yang tinggal di sekitar kita. Maka jangan pernah sekali-kali kalian terbuai oleh tipu daya syaitan.”Anda dan Lufti mendengarkan dengan baik nasihat dari Kyai Ilham. Salam hati mereka bertekad memperdalam ilmu agama, selain mendekatkan diri kepada Allah, juga untuk membentengi diri dari segala mata bahaya yang bisa datang kapan saja.“Lalu ... Lisa bagaimana, Kyai?”Mereka keluar dari kamar Lisa setelah gadis itu si
Suara gemercik air menarik perhatian Kyai Ilham dan rombongan. Mereka memang tengah mencari sumber air untuk mengambil air wudu.Benar saja, sungai jernih yang airnya dangkal kini mereka temukan. Rumput yang tumbuh di sekitar sungai membuat mereka sedikit kesusahan untuk mencapai lokasi yang mudah untuk mereka mengambil air.Bahrum, salah satu ustaz berjalan paling depan. Dia memegang sebilah parang, lalu dengan cekatan menebas rumput-rumput tersebut untuk membuka jalan bagi mereka.Andi berada di urutan paling belakang. Dia sangat waspada karena pernah datang ke hutan ini sebelumnya. Andi sadar yang mereka cari adalah sesuatu yang tidak nyata, jadi setiap orang harus memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi. Tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang mereka cari juga sudah menunggu, dan sewaktu-waktu bisa saja menyerang tanpa aba-aba.Akhirnya mereka bisa melaksanakan ibadah salat asar. Air sungai itu sangat menyegarkan karena tidak terkontaminasi dengan apa pun.“Selanjutnya kita ke a
Kyai masih berbicara dengan nada biasa. Tidak ada emosi atau kilatan marah di raut wajahnya. Beliau begitu tenang menghadapi situasi demikian. Menambah satu lagi kekaguman di hati Andi pada sosok paruh baya tersebut.“Darman sudah menjanjikan Lisa untukku. Sama seperti Marni yang menjanjikan janinnya.”“Kau sudah mengambil lebih banyak dari yang seharusnya kau dapat. Berhentilah sebelum kau menyesali semuanya, wanita iblis!”Wanita itu murka mendengar ucapan Kyai Ilham. Dia serta-merta mengangkat tangan kiri yang mengeluarkan sinar putih terang, lalu mengarahkannya pada Kyai Ilham.Dengan sigap Kyai menangkis serangan tiba-tiba itu dengan tasbih yang sejak tadi masih dipegang.Sinar itu pecah saat mengenai tasbih Kyai. Kini semua orang dalam posisi siaga. Merasa serangannya gagal, wanita itu terkesiap. Dengan cepat dia mengangkat kedua tangan, lalu melakukan gerakan berputar saling mengikuti, seperti gerakan sedang memainkan sebuah bola.“Matilah kau orang tua!” Pekikannya bersamaan
Lisa baru saja selesai menunaikan salat magrib. Sejak sore tadi dia merasa kepalanya berat dan tengkuknya tegang. Tetapi dia sama sekali tidak memberitahu hal itu pada Bu Nyai. Mungkin hanya masuk angin biasa, setelah dioles minyak urut juga akan sembuh seperti biasanya. Jika Bu Nyai tahu yang ada hanya semakin merepotkan.Lisa sudah sadar diri bahwa dirinya begitu merepotkan banyak orang, meski mereka semua tidak ada yang merasa begitu. Semua saling tolong-menolong sebagai sesama manusia, apalagi sesama muslim.Jika biasanya Lisa mengaji satu atau dua lembar ayat Alquran, kali ini dia memilih merebahkan diri di ranjang. Sekujur tubuhnya malah ikut terasa sakit, bahkan berjalan pun rasanya lemas.Kamar ini ada di rumah kayu Ilham. Bukan kamar yang biasa dia tempati. Kyai bilang Lisa boleh kembali ke tempatnya setelah rombongan mereka pulang dari hutan. Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuat Lisa kembali berusaha berdiri meski sulit.“Assalamualaikum, Lisa. Ini Bu Nyai.”“Waalaiku
“Ayok, kita segera pulang.”Andi memimpin di depan. Bahrum ada di belakang. Mereka bekerja sama mencari jalan yang akan membawa mereka ke desa sebelah tempa mereka meninggalkan mobil tadi siang.“Kyai lelah?” tanya Lutfi saat melihat kyai Ilham memegangi dada.“Kita harus cepat keluar dari tempat ini sebelum tengah malam, atau Lisa akan jadi korban selanjutnya. Tetap lantunkan zikir akan Allah memberikan petunjuk.”“Tunggu!”Tiba-tiba Andi yang berjalan di depan berhenti. Otomatis semua orang yang ada di belakangnya juga ikut menghentikan langkah.“Ada apa, Andi?”“Kyai, sepertinya tadi kita sudah melewati jalan ini.”Spontan semua menoleh ke segala arah memastikan ucapan Andi. Benar saja, pohon yang kini tak jauh dari mereka sudah sekitar tiga kali mereka lewati.“Ya Allah. Ada yang sengaja menyesatkan kita.”Lantas kyai Ilham menengadahkan kedua tangan lalu mengucapkan doa. Beberapa menit kemudian suasana terlihat lebih nyata. Tadi seperti ada kabut yang mempersulit jarak pandang. S
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me