Hari ini perasaanku begitu gelisah. Entah mengapa hatiku selalu mencemaskan Lisa. Aku sudah berjanji untuk menyelamatkannya, tapi Bapak dan Ibu terlanjur mencegah karena mereka tak ingin melihat anaknya masuk terlalu jauh di kehidupan Pak Darman. Katanya itu terlalu berbahaya. Belum lagi kemarin kehidupanku sedikit terusik oleh sosok yang berusaha mengganggu. Entah dalam keadaan tidur, bahkan Shalat sekalipun. Sampai Bapak memanggil Kyai Ilham karena melihatku tidak sadarkan diri dan meracau tidak jelas. Saat itu aku seperti dibawa pada tempat yang begitu asing dan gelap, bukan tempat Lisa yang pernah kutemui. Namun, tempat berbeda seperti genangan lumpur di tengah hutan belantara. Untung saja bacaan ayat suci Al-Quran dari Ibu, Bapak dan Kyai Ilham bisa memberikan setitik cahaya hingga aku bisa kembali. Sejak saat itulah orang tua melarang untuk menemui keluarga Pak Darman, terutama Ibu yang terlihat menangis saat aku bangun. Aku hanya bisa menarik napas berat, mengingat kejadian
Aku terbangun dan merasakan nyeri di bagian leher. Mata ini menerobos seisi ruangan, ternyata sudah berada di kamarku sendiri. Terlihat Mas Darman yang duduk termenung di ujung ranjang. Tunggu, kenapa sudah berada di sini? Andi, percobaan pembunuhan Andi itu ternyata gagal. Sial! "Mas," panggilku berusaha bangkit dari tempat tidur. Dia menoleh ke arahku dan kembali membuang wajahnya seolah enggan untuk menatap. Sementara tangan ini memegangi leher yang terasa pegal dan sakit. Heran, Mas Darman tidak menyapaku sama sekali. Bahkan dia tidak bertanya mengapa istrinya pulang dalam keadaan seperti ini? Aku turun dari ranjang untuk bergegas pergi ke dapur. Tenggorokan ini terasa begitu kering. Mungkin biarkan saja Mas Darman seperti itu dulu, sepertinya ada hal yang sedang ia pikirkan. Saat keluar dari daun pintu, netra ini disuguhkan dengan mainan Fahmi yang begitu berantakan. Hanya mainannya saja, tapi ke mana anak itu? "Dek, Dedek di mana?" panggilku dengan mengarahkan pandangan ke
Aku berjalan ke dalam rumah dengan gontai. Langkah kakiku rasanya sudah tak pantas untuk menginjak tanah. Dalam pikiran hanya menari-nari sebuah kesalahan yang membuat keluargaku hancur. Anak laki-laki yang paling kusayangi harus menjadi korban keegoisan dan ketamakan kami. "Pak, Bu, saya izin pulang, jika kalian butuh bantuan segera hubungi saya," ucap Andi yang membuatku menoleh ke arahnya. "Masuk dulu! Saya ingin membicarakan sesuatu," kataku dengan nada lesu. Dari tatapan itu, sepertinya Andi tidak tega melihat keadaanku seperti ini. Hampa, kosong, tanpa arah dan tujuan hidup. Semuanya seolah sirna dengan kepergian Fahmi. "Baik, Pak. Saya akan temani Bapak mengobrol sebentar." Aku tersenyum lemah mendengar jawaban itu. Aku menganggukkan kepala memberi tanda agar pria itu mengikuti langkahku untuk duduk di ruang tamu. Sementara Marni terlihat tidak peduli pada keadaan suaminya sendiri. Raut kesedihan pun dengan cepat menghilang dari wajahnya, bahkan dia memilih untuk pergi ke a
Aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, begitu pun dengan milik Lisa. Semua ini terpaksa dilakukan untuk mengakhiri kehidupan kelam keluarga ini. Rencana ini harus berjalan dengan baik. Ya, semua harus diakhiri sebelum terlambat. Rasa ragu dan takut kemarin sudah kutepis dengan keyakinan bahwa diri ini harus mati dalam keadaan keluarga yang utuh, serta kembali ke jalan yang benar. Mata ini memandang Marni yang sudah tidur dengan nyenyak. Obat tidur tadi sepertinya sudah bereaksi. Aku segera mengambil tas ransel dan berlari ke luar rumah, menghampiri mobil hitam yang sudah bersiap di depan gerbang sana. "Tunggu sebentar!" ucapku pada Andi yang berdiri di depan mobilnya.Langkah kaki ini dipercepat menuju kamar Lisa. Segera kuambil tas yang sudah dipersiapkan dan membopong tubuh Lisa, dan membawanya ke arah mobil untuk pergi dari rumah ini. Ya, semua ini untuk menyelamatkannya, tak akan kubiarkan anakku menjadi korban kembali. Segera kumasukkan tubuhnya ke mobil untuk dibaringk
Aku terperanjat saat kaki Pak Darman ditarik oleh sebuah tangan untuk masuk ke dalam rawa yang lebih gelap. Dengan sigap tanganku menarik tubuhnya sekuat tenaga. "Pak ucapkan asma Allah dan tetap istigfar!" teriakku masih menarik tubuhnya. Kekuatan yang begitu dahsyat seolah tak bisa kuhentikan. Tarikan urat di leher ini membuktikan jika saat ini aku sedang tidak bermain-main dengan ilmu biasa. Pak Darman terlihat meronta menyeimbangi tarikan itu. Dengan tekad dan keyakinan yang kuat, aku meneriakkan kalimat takbir sampai tangan itu bisa terlepas dari kaki Pak Darman. Kami segera berdiri, masih dengan mengatur nafas masing-masing. Wajah Pak Darman terlihat begitu pucat. Aku yakin jika beliau dalam keadaan takut. Bibir ini mencoba tersenyum ke arahnya sebagai tanda semua akan baik-baik saja, meskipun dalam hati ada kekhawatiran akan hal yang akan terjadi kembali. "Bapak baik-baik saja?" tanyaku memegang bahunya yang masih bergetar hebat. Wajahnya menoleh ke arah putri yang begitu di
Kakiku melangkah semakin jauh menembus kegelapan, sementara tangan mengibas dedaunan yang menutupi pandangan. Aku menoleh ke arah belakang, memerhatikan Pak Darman yang langkahnya kian memelan. Sayangnya ia tidak ingin dibantu untuk kali ini. Semakin menembus pepohonan yang menjulang tinggi, tanah semakin terasa basah. Aku tersenyum, tebakanku sangat tepat jika ini mendekati sungai. Suara air mulai terdengar bergemuruh, walaupun masih terasa samar. Aku segera memberi senyuman dengan hati yang luar biasa bahagia pada Pak Darman. "Pak, kita mendekati sungai," ucapku dengan antusias. "Benarkah?" tanya Pak Darman dengan napas yang terengah. "Iya, Pak. Coba saja Bapak dengarkan dengan saksama suara aliran sungai ini." Pak Darman terlihat mengarahkan pandangannya ke segala penjuru. Lantas ia tersenyum dan mengeluarkan buliran bening dari sudut matanya. Salah satu tangan yang ia simpan di belakang, perlahan mengusap air mata haru yang kini bercampur dengan titisan keringat. Aku seperti
Seharian kami berbincang dan mengikuti kegiatan dan pengajian di pesantren. Sampai pada saat malam tiba perbincangan bersama Kyai Ilham menjadi lebih serius tentang kesembuhan Lisa. “Bagaimana Kyai apa Lisa masih bisa diselamatkan?" tanya Pak Darman. Tampak raut wajahnya begitu sedih dan khawatir. Kyai Ilham menoleh ke arahku dan memegang bahuku, ia seperti memberi sebuah tanda yang maksudnya sulit dipahami. Tidak. Jangan katakan jika Lisa tidak bisa diselamatkan. Aku menggeleng perlahan, sementara Kyai Ilham hanya tersenyum. Beliau selalu bersikap misterius. "Salat Isya dulu. Lalu berzikir dulu sebentar. Ambil ini!" ucap Kyai Ilham menyodorkan sebuah tasbih kesayangannya, lalu dengan segera aku mengambilnya.Aku mengangguk dan bergegas pergi mengambil wudu. Melaksanakan salat Isya di kamar para santriwan. Sangat sepi, karena kebetulan mereka masih ada pembelajaran. Kututup salat ini dengan salam dan berzikir sebentar. Namun, saat aku bersila dan melafalkan kalimat zikir, angin ber
"Kita pasti pulang, aku akan mengeluarkanmu sekarang," tegasku melangkahkan kaki mencari di mana bisa membuka kunci sel ini. Keyakinan begitu kuat bahwa sel ini bukan seperti di alam manusia yang bisa dibuka kapan saja. Lantas aku memegangi bagian pintunya dan melafalkan doa, membacakan ayat kursi dan menutupnya dengan takbir. Seketika kekuatan di pintu itu seperti menghilang dan terbuka dengan mudah. "Ayok, Lisa. Cepat!" Lisa keluar dan segera memegang tanganku. Kami berjalan perlahan di menuju tempat ke luar. Dia setengah berteriak saat melihat sosok-sosok manusia yang kutemui ketika masuk ke sini. "Jangan takut, mereka akan mengabaikan kita," ucapku mencoba menenangkannya. Kami melangkah secara perlahan melewati orang-orang yang terlihat seperti mayat hidup. Mereka mengendus bau tubuh kami, tetapi tidak bereaksi apa pun terhadap kehadiranku di sini. Aku memerintahkan Lisa untuk tetap beristigfar dan mengucap asma Allah agar bisa selamat sampai kembali pulang. "Kak, tunggu!" pe
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me