"Ayo-ayo, cepet! Bawa ke sana!" teriak Bagas dengan suara yang menggema, memerintah para petaninya tanpa peduli kondisi mereka. Keringat mengalir di wajah-wajah yang sudah lusuh, langkah mereka lamban seperti orang yang tak makan berhari-hari.Hari itu, sinar matahari membakar ladang dengan kejam, membuat para petani bekerja di bawah tekanan yang mencekik. Hasil panen yang melimpah hari itu tidak membawa kegembiraan, melainkan kelelahan yang teramat sangat.Petani-petani itu tak berani melawan. Mereka hanya mengangguk dan terus bekerja, meskipun tubuh mereka gemetar karena kelelahan. Namun, tak semua bisa bertahan.Seorang wanita tua, salah satu petani yang usianya lebih dari 50 tahun, berjalan tertatih-tatih mendekati Bagas. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Dengan suara serak, dia berkata, "Juragan..."Bagas, yang tengah mengawasi pekerjaannya dengan mata tajam, langsung menoleh. "Ada apa, Bu?!" tanyanya dengan nada ketus.Wanita tua itu menundukkan kepala
"Assalamualaikum," salam wanita tua itu dengan suara pelan, berdiri di depan rumah Kyai Ahmad."Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Bu! Silakan masuk," sahut Kyai Ahmad dengan lembut, sambil membukakan pintu.Wanita tua itu masuk perlahan, langkahnya berat, namun senyumnya tetap ramah. "Kyai, saya sebenarnya mau izin untuk nggak ikut acara istri Kyai besok. Soalnya badan saya lagi kurang enak," katanya sambil menunduk sopan.Kyai Ahmad mengerutkan dahi sejenak, lalu tersenyum hangat. "Astagfirullah, saya kira ada apa. Tapi acara ini kan cuma bulanan aja, Bu! Nggak apa-apa kalau lagi sakit," ujar Kyai mencoba membesarkan hati.Wanita itu mengangguk kecil, lalu mengeluarkan selembar amplop berisi uang dari tasnya. "Ini, Kyai. Saya tetap ingin memberikan santunan untuk anak-anak yatim. Nggak banyak, tapi semoga bisa bermanfaat," katanya lirih sambil menyerahkan uang tersebut.Kyai Ahmad menerimanya dengan penuh syukur. "Masya Allah, terima kasih, Bu. Allah pasti melipatgandakan k
"Aku memuja mu bukan untuk menjadi budak mu! Aku memuja mu untuk kepentingan ku. Tapi, kali ini aku ingin kamu melenyapkan wanita itu." Mantra itu di lantunkan dalam bahasa Jawa. Angin langsung berhembus kencang. Terlihat asap hitam bergumpal dan terbang keluar rumah, bersamaan dengan bisikan, "Baiklah! Siapkan aku makan malam ini!". Kepribadian Bagas benar-benar berbanding terbalik. Terkadang dia takut akan kehadiran Genderuwo bahkan ingin mengakhirinya. Tetapi, di sisi kepribadian lainnya, dia seolah selalu memuja Genderuwo demi kejahatan dan kepuasannya.Begitu tidak bisa di bedakan lagi dalam dirinya. Menyatu darah dan daging antara ilmu hitam dan perjanjian pesugihan.Beberapa saat kemudian, Genderuwo itu datang kembali di hadapan Bagas. Dia terlihat marah hingga membuat Bagas terpental. "Ada apa?!" Bagas mulai tidak terima dengan Genderuwo."Kamu! Meminta ku membunuh wanita yang nggak bisa aku bunuh!" kata Genderuwo. Suara nya menggema di ruangan.Saat ucapan itu terdengar di
Esok harinya, Ratih mendatangi Kyai Ahmad. Langit terlihat redup meski matahari bersinar terang.“Saya udah bilang, Ratih,” ujar Kyai Ahmad sambil menuangkan teh. “Rumah itu sudah menjadi perantara antara dunia kita dan dunia mereka. Semua ini akibat tindakan suamimu yang belum diselesaikan.”Ratih menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kenapa saya yang lebih sering melihat sosok itu? Kenapa bukan Mas Bagas?” tanyanya, mencoba memahami semua ini.Kyai Ahmad memandangnya dengan tenang tapi serius. “Karena kamu adalah pintu, Ratih. Suamimu, Bagas, telah membuat sebuah perjanjian. Tapi kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah kamu. Saya nggak tau perjanjian seperti apa yang Bagas lakukan yang jelas ini udah terikat."Ratih merasakan dadanya sesak, seolah udara tiba-tiba hilang dari sekitarnya. “Kunci?” bisiknya, hampir tak terdengar.“Ya,” jawab Kyai Ahmad. “Mereka membutuhkanmu. Jiwa atau keberadaanmu adalah bagian penting dari perjanjian itu. Jika mereka berhasil menguasaimu, semuanya sel
“Mas, kamu kenapa belakangan ini?” tanyanya pelan suatu pagi ketika mereka sarapan bersama.Bagas mendongak dari piringnya. Matanya yang biasanya hangat kini terlihat redup, seperti ada sesuatu yang menutupi sinar di dalamnya. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.Ratih tidak puas dengan jawaban itu. “Apa karena kotak kecil itu?! Jujurlah Mas! Mas melakukan perjanjian apa?"Bagas meletakkan sendok dengan keras, suaranya membuat Ratih terlonjak. “Aku bilang nggak apa-apa, Ratih! Jangan tanya lagi! Udah aku peringatkan jangan kamu sentuh kotak kecil itu lagi, paham!" Ratih terdiam, merasa tersakiti oleh nada suara suaminya. Namun, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.Ketika sarapan selesai, seperti biasa Bagas ke ladang. Memantau hasil panen dan para pekerjanya. Sekarang tidak ada lagi orang-orang yang menentang bahkan datang untuk mengecamnya. Mereka hanya datang untuk bertanya ladang bahkan hasilnya saja. Komplen yang pernah terjadi sebelumnya, itu sudah
Pagi harinya, Bagas terlihat lebih tenang, tapi tingkahnya masih tidak seperti biasanya. Dia tidak banyak bicara, hanya duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela.Ratih mencoba mendekatinya lagi. “Mas, aku nggak bisa terus begini. Kamu harus jujur, ada apa?”Bagas menghela napas panjang, tapi dia tidak menoleh. “Aku sedang mencoba mencari solusi, Ratih. Semua ini… lebih rumit dari yang kamu kira.”“Solusi untuk apa? Mas, aku istrimu. Kalau kamu nggak cerita, bagaimana aku bisa bantu?”Bagas akhirnya menoleh, dan untuk sesaat, Ratih melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan hanya kelelahan, tapi juga ketakutan.“Perjanjian,” kata Bagas dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Ratih merasa darahnya berdesir. “Apa maksudmu, Mas?"Bagas berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “A—aku sudah melakukan sebuah perjanjian, Ratih.”Ratih terpaku dengan ucapan suaminya. "Ma-mas, maksudnya perjanjian ... Ehm, perjanjian apa?" balas Ratih yang suaranya semakin kecil hingga ha
“Kita harus ke Kyai Ahmad,” kata Ratih akhirnya. “Dia yang tahu cara menghancurkan ini. Kita nggak bisa terus hidup seperti ini, Mas.” Bagas tampak ragu. “Mereka akan tahu kalau kita berusaha memutus perjanjian ini. Mereka tidak akan tinggal diam.” “Aku nggak peduli,” balas Ratih tegas. “Kamu yang memulai semua ini, dan aku yang harus menyelesaikannya. Kalau kamu nggak mau ikut, aku akan pergi sendiri.” Bagas terdiam. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Akhirnya, dia mengangguk. “Baiklah. Kita pergi ke Kyai Ahmad. Tapi aku nggak janji kalau ini akan berakhir baik.” Ratih berdiri, menghapus air matanya. “Aku nggak butuh janji, Mas. Aku cuma butuh keberanian kita berdua untuk melawan ini. Karena kalau bukan kita yang melawan, siapa lagi?”. "Iya aku tau itu!" Bagas benar-benar menyesal. "Mas aku mau tanya lagi. Apa kejadian Juragan Suwandi, Pak Marwan, Bu Sunar, Feri, dan semua korban yang pernah berjatuhan itu juga, faktor dari perjanjian ini?" tanya Ratih. Alisnya
"Mas, itu kamu?" Ratih memanggil dari dapur, matanya menatap pintu yang setengah terbuka. Suara langkah berat terdengar di ruang tamu, tetapi tidak ada jawaban.Dia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa. Pisau dapur yang sedari tadi digunakan untuk memotong sayur kini digenggam lebih erat."Mas, kalau bercanda, ini nggak lucu!" Suaranya mulai terdengar tegang.Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat yang menyeramkan. "Siapa di sana?" Ratih meninggikan suara. Tangannya yang gemetar bersiap dengan pisau, berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.Lampu dapur yang redup tiba-tiba berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding. Beberapa detik kemudiann, semuanya padam."Ya Allah!' pekiknya panik. Ratih menggerakkan tangan ke arah dinding. Mencoba meraba saklar lampu. Namun, sebelum berhasil, suara napas itu terdengar lagi—lebih dekat, seperti ada dibelakangnya."Pergi!" teriak Ratih. "Siapa pun kamu pergi dari kehidupanku!"Dapur berubah sunyi. Hanya ada suara na
Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be
“Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men
"Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola
"Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak
"Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu
“Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri
"Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan
“Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y