Hati Fjola terasa panas ketika melihat kedekatan Arnor dan Irina di ujung tanah bukaan di depan istana Malakora. Mata mereka tampak saling memandang. Mereka berbicara dengan saling berbisik. Bahkan, tangan Arnor tampak mencengkeram kedua bahu Irina.Meski hanya melihat punggungnya, Fjola dapat membayangkan ekspresi girang Irina. Wajah gadis itu tertekuk ketika menapaki tangga batu. Bibirnya cemberut. Ia mengentakkan kakinya dengan berisik. Namun, sebelum tubuhnya benar-benar keluar ke tanah bukaan, Sofia segera mencekal lengannya.“Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya memelotot. “Kan sudah kubilang untuk tidak keluar dari kamar.”“Memangnya kenapa aku tidak boleh keluar kamar? Supaya Arnor dapat bermesraan dengan Irina tanpa kuketahui?" Sofia segera membekap mulut Fjola. “Jangan keras-keras,” desisinya.Fjola menepis tangan wanita itu. "Percayalah, aku tidak akan marah Arnor berduaan dengan Irina. Dia berhak melakukan itu. Aku sadar bukan siapa-siapa di matanya," katanya masam. Mes
Fjola memutar bola matanya dengan skeptis. Ia tidak percaya dengan ucapan Sofia. Sebab, ucapannya tidak masuk akal.Mereka tengah berdiri di tengah tangga istana. Suasana pada siang itu sepi. Penjaga dan pasukan Malakora yang biasanya berlalu lalang di sana untuk menyampaikan laporan, atau bahkan menjaga penguasa negeri itu sedang berkumpul di tanah lapang mahaluas di balik bukit. Mereka tengah mengumpulkan kekuatan untuk menyerang entah bangsa yang mana. Fjola hanya berharap mereka tidak akan menyerang bangsanya. Sebab, jika itu terjadi niscaya bangsanya akan habis. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena ada tembok perisai yang pasti bakal menghalangi serangan mereka.Sofia yang berdiri di anak tangga paling atas kembali turun dan menarik lengan Fjola supaya mengikutinya. “Aku tidak tahu alasan Tuan Evindur menyembunyikanmu. Tapi, kumohon kembalilah ke kamar.”Fjola tidak mau menurut. “Untuk apa? Kan sudah kubilang, tak ada gunanya aku sembunyi. Tanda ini tidak akan berpengaruh apa
Tubuh Fjola menegang. Matanya melebar ketika melihat sosok Malakora yang kekar menghampirinya, merangkulkan tangannya ke bahu gadis itu. Napasnya tertahan.“Mari, akan kutunjukkan sesuatu padamu,” cetus peri berkekuatan jahat itu. Ia menuntun Fjola ke pintu keluar istana.Angin tak berembus siang itu. Namun, sebagai ganti mendung tampak menggantung di langit. Udara amat lembap. Meski sinar matahari menyorot samar karena terhalang, Fjola merasa gerah. Keringat muncul di dahinya. Jantungnya berdetak lebih kencang ketika Malakora membawanya ke tanah bukaan di depan istana.“Bukankah Anda ingin memeriksa pasukan Anda?” tanya Sofia coba-coba.Malakora berhenti sejenak, memaksa Fjola juga berhenti. Ia menoleh ke arah wanita itu yang segera menunduk. “Untuk apa? Aku tidak perlu khawatir dengan mereka. Aku punya anak buah yang mumpuni. Lagi pula, aku hanya perlu hasilnya.” Ia lantas kembali menuntun Fjola keluar istana.Arnor menoleh dan terkejut ketika melihat Malakora menggandeng bahu Fjola
Mata Malakora tampak bengis ketika mendekatkan belati milik Irina ke mulutnya. Ia menghidu aroma darah Arnor yang menempel pada ujung belati itu dengan puas. Kemudian, ia menjilatnya sembari menyeringai. Ia menutup mata saat menikmati rasa dari peri itu. Menggunakan darah yang tersisa, ia menggambar simbol kekuatan Arnor di udara. Sembari merapal mantra, sebuah goresan terbentuk di udara tempat jemarinya menggambar. Goresan itu membentuk belati dengan ujungnya yang runcing, gagang sepanjang lima jari yang berukir dua garis melengkung. Tepat seperti belati yang dimiliki oleh Fjola.Perlahan, simbol itu bergerak dan merasuk ke dada Malakora dan membuat depan baju yang dikenakannya hangus. Peri jahat itu mengerang ketika simbol itu membakar kulit-kulitnya. Setelah proses pembakaran itu selesai, mata Malakora berkilat-kilat penuh kemanangan. Ia dapat merasakan kekuatan baru. Di dadanya kini terukir tato baru. Tato itu tampak lebih terang ketimbang tato lain yang juga terukir hampir di sem
“Tidak! Hentikan!” Fjola menjerit. Matanya membelalak ketika menyaksikan Malakora menancapkan cakar-cakarnya ke tubuh Arnor.Ketika Malakora menarik cakar-cakar itu keluar dari tubuhnya, darah Arnor melumurinya. Ia menjilatnya dengan nikmat. Tak sampai di sana, peri jahat itu kembali menghujamkan cakarnya lagi ke tubuh Arnor. Hal itu membuat darah Arnor keluar lebih banyak. Bahkan, sampai memancar.Setelah puas, ia menarik sulur yang membebat Arnor. Malakora lantas bangkit. Ia tertawa puas. Matanya berkilat-kilat penuh kepuasan. Para panglima yang ada di sana pun ikut tertawa.Fjola merasa dunianya seolah menghilang ketika melihat Arnor ambruk. Tubuhnya tergolek ke tanah. Dengan beringsut, ia mendekatinya. Ia menangkupkan tangannya ke wajah peri itu, kemudian membalikkan tubuhnya yang tak bergerak. Ia memangku kepala Arnor. Tangisnya pecah saat melihat sang peri menutup mata. Darah keluar dari sudut bibirnya. “Arnor,” panggilnya lemah. Jubahnya basah oleh cairan merah. Namun, ia tak
Hutan tempat Fjola berada sekarang berbeda dengan hutan yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Tak ada satu pun hewan yang berani menampakkan dirinya. Kabut menyelimuti hutan itu seperti uap yang terkukung dalam kaca. Pohon yang masih sanggup beradaptasi memiliki warna lebih pekat dari pohon pada umumnya. Matahari mustahil dapat menyinari pohon-pohon itu.Kuda Sofia beberapa kali memutari rawa. Langkahnya melambat karena hati-hati. Kadang, kuda itu meringkik ketakutan. Namun, dengan sabar Sofia selalu mengelusnya, membisikkan kata-kata penenang ke telinga sang kuda.Di belakangnya, Fjola mencengkeram erat jubah Arnor. Air matanya menggenang. Apa yang telah terjadi kepada peri itu adalah salahnya. Fjola merasa pantas dihukum. Dan, ketika melihat Arnor yang semakin melemah, bahkan tangannya yang terkulai tampak terombang-ambing dengan tidak nyaman, jantung Fjola seolah tersayat. Ia ingin menolong peri itu. Namun, bagaimana caranya, ia tak tahu. Yang dapat dilakukannya sekarang adalah tegar
Udara menjadi dingin seiring dengan tenggelamnya matahari. Arnor belum juga membuka matanya. Namun, napasnya mulai teratur. Fjola sedikit lega karenanya. Ia pikir, peri itu akan mati. Ia tak dapat membiarkannya mati. Ia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri kalau sampai Arnor mati.Sejak tadi, Sofia pergi mencari tanaman obat dan sampai sekarang, dia belum kembali. Fjola khawatir jika terjadi apa-apa kepadanya. Namun, ia juga tak mampu pergi jauh dari Arnor yang masih terbaring di ranjang dalam tenda. Api dari perapian berderak-derak menghangatkannya.Meski begitu, tubuh Arnor dingin. Bibir yang biasanya bersemu merah tampak memucat. Darah sudah berhenti mengalir dari luka-lukanya. Namun, luka itu masih terbuka. Kendati tampak kecil, jumlahnya banyak serta dalam. Fjola duduk di samping ranjang Arnor. Matanya basah oleh air mata. Ia terkenang dulu, ketika pertama kali melihat peri itu di gua. Prasangka buruk selalu menghantuinya. Ia bahkan curiga bahwa Arnor akan membunuhnya. Tetapi
Sejenak, peri itu tertegun. Matanya melebar. "Apa yang-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Fjola mencium bibir Arnor lagi. Kali ini ia mengecupnya lebih lama. "Fjola," bisiknya tanpa melepas ciuman."Sentuh aku, Arnor," pinta gadis itu. Ia menatap mata sang peri dalam-dalam.Arnor membalas tatapan Fjola. Hatinya bergejolak. Satu sisi ia ingin mengabulkan permintaan gadis itu. Namun di sisi lain, ia takut Fjola ingin melakukan itu hanya sebagai ungkapan terima kasihnya. Lagi pula, bukankah Fjola mengatakan ia mencintai pangeran itu?Gadis itu menarik tangan Arnor mendekat, kemudian mengecup ujung-ujungnya dengan lembut. Ia menuntun tangan itu membelai pipi, tengkuk, lalu turun ke leher. Mata Fjola terpejam menikmati sentuhan jemari Arnor. Namun, ketika akan menyentuh dada, peri itu menahannya. Ia mengepal.Sang gadis memandang Arnor dengan kecewa. "Kenapa?"Arnor menggeleng. Ia tak sanggup mengucapkan apa-apa. Ia menolehkan pandangannya dari gadis itu."Kau bilang," kata Fjola den
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem