Pertemuan Devan dan Jessy bukan hal terakhir tapi masih berlanjut dengan pertemuan-pertemuan yang berlanjut di kemudian hari. Seperti biasa membawa banyak mainan dan makanan untuk Jessy. Dan, hal yang sama terjadi ketika Devan sudah pulang, Devi membakar semua mainan yang Devan berikan bahkan tanpa melihat isi bikisan makanan dirinya langsung melempar ke tong sampah.
Susi yang melihat hal itu lantas tertawa, terlebih lagi ketika Devi membakar mainan dari Devan sambil mengumpat kasar dan kadang meludah ke api yang berkobar.
“Ratusan bonekah yang kamu berikan pada anakku akan kubakar, bangsat!” Devi menyiram minyak tanah ke bonekah babi warna pink dengan penuh gairah.
Yang paling setia adalah Dewi, yang masih terus menemani Devan bertemu dengan Jessy meskipun tak pernah menyentuh bahkan mengajak bicara Jessy dan juga mengabaikan tatapan menjijikan seorang Devi. Seolah-olah dirinya sudah kebal muka di hadapan Devi.
Di depan cermin besar Dewi memandang tonjolan dada yang berisi. Memandangnya secara bergantian memastikan jika kedua gundukanya seksi tak kalah dengan milik Devi. Bahkan untuk menambah kesan montok di kedua tonjolan itu Dewi menyumbatnya dengan sapu tangan. Ya, lumayan menambah kesan sexy, besar dan padat.Bukannya tak bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya tapi Dewi sedang berusaha meningkatkan kepercayaan diri bertemu dengan Devi. Dia harus lebih cantik, lebih seksi dan jika perlu semuanya harus dimenangkan oleh Dewi.Kini Dewi duduk meja rias memandang wajah dengan riasan sederhana tapi tetap menonjolkan kesan elegan, tak lama kemudian gincu warna merah muda telah menghiasi bibir seksinya. Kemudian mengambil salah satu koleksi maskara yang terbaik dengan harga yang termahal merk Prancis, lantas dengan gerakan lemah lembut mengoles bulu mata dengan sangat hati-hati. Kini bola matanya semakin terlihat lebar dan indah.&nbs
Sudah dua jam lamanya Dewi menunggu Devi, duduk di pojokan teras seorang diri. Beberapa kali melihat jam tangan warna silver yang melingkar di lengannnya. Sebenarnya Dewi tahu ini jadwal sidang gugatan perceraian Devi dan Devan, perkiraannya siang hari sudah kelar. Namun sampai lewat jam makan siang sosok yang ditunggu Dewi tak kunjung kelihatan. Benar-benar diluar dugaan Dewi. Ditahannya rasa bosan Dewi masih menunggu, ditambah cuaca panas membuat keringat menyatu dengan bedak di wajah. Saking derasnya keringat dia bisa merasakan kucuran itu melewati di antara dadanya membasahi bawah bra yang ia kenakan. Kalo buka demi Devan, dia pasti akan segera pergi mencari tempat berAC. Ia masih punya waktu hingga pukul empat sore-sebelum Devan pulang kerja. Toh, dirinya hanya butuh lima menit untuk berbicara dengan Devi apapun yang terjadi dia akan menunggu. Di lain tempat setelah makan siang yang penu
Hanya saja sikap Rangga terlewat lembut dan santun mampu membuat Devi nyaman. Salah paham di antara mereka juga tidak membuat Rangga berubah sikap walaupun kadang obrolanya kadang terasa kaku. Sidang yang baru saja selesai membuat Devi mengerti jika Rangga tak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya. “Bolehkah aku cium Jessy sebelum berpisah.” Devi mengangguk pelan mempersilahakan Rangga mencium Jessy. Perlahan tubuh tinggi Rangga membungkuk, wajahnya mendekati pipi Jessy yang menempel di dada Devi. Ketika bibir Rangga bertemu dengan pipi cubby Jessy, hidungnya mencium aroma parfum wangi vanilla dari tubuh Devi. Benar-benar wangi membuat Rangga merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ketika matanya tak sengaja melihat gundukan yang terapit tubuh Jessy semakin membuat detak jantungnya berdetak cepat. Benar-benar perasaan aneh yang Rangga rasakan atau naluri seorang pria? Du
Tatapan Dewi teramat tenang nyaris tidak terpancing emosi Devi. Dirinya tetap duduk tenang, wajahnya mengoreskan senyuman hangat saat tubuh Devi menjulang berdiri di hadapannya. Dia paham benar jika situasi ini bakal ia alami.Seolah-olah Dewi sudah mempersiapakan mental sekuat baja untuk menghadapi seekor induk macam yang anaknya diambil tiba-tiba. Di mata Dewi induk macan ialah Devi yang sekarang.“Saya hanya ingin yang terbaik untuk Jessy Mbak, hidup dengan keluarga lengkap, masa depan terjamin. Jika Jessy tetap bersama Mbak Devi dia hanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu tanpa ayah. Tapi kalo hidup dengan Mas Devan dia akan mendapatkan kasih sayang yang sempurna dan lengkap.” Lemasnya bibir Dewi mengucapkan itu semua.Trik seekor ular memang kalem, tenang dan mematikan. Ya, dengan cara meminta Jessy dengan dalil merawat anak itu, secara tidak langsung dia bisa menjauhkan Devan dengan Devi.&nbs
Susi sudah siap-siap dengan gaun merah cabe di depan cermin di kamar Devi tepat pukul empat. “Kamu beneran ngak mau ikut?” tanya Susi sambil menyemprotkn pafrum ke leher.Devi yang sedang menyisir rambut Jessy sehabis mandi hanya mengeleng dua kali.“Oke, tidak ada manusia yang bisa memaksamu.” Kali ini Susi sudah menyerah membujuk Devi, memilih berangkat reuni bersama teman-temannya seorang diri.“Jika hidupmu masih bisa dikendalikan orang lain, sebenarnya separuh tubuhmu mati.”Bibir Devi berkata dengan lantang, berlagak seperti motivator abal-abal yang membuat Susi tertawa terpingkal-pingkal. Beberapa saat kemudian, Susi meninggalkan rumah dengan mengendari mobil Devi.Di lain tempat telah terjadi perang dingin antara Devan dengan Dewi. Sejak pulang dari dalam mobil Dewi tak berhenti mengumpat bahkan sampai rumah pintu di banting denga
Udara malam kali ini terasa dingin seakan dinginya menembus tulang namun hal itu tidak dirasa oleh dua orang yang sedang asik saling menatap dan berbincang. Kedatangan Rangga malam ini seolah pengobat sepi yang dirasakan Devi saat tidak ada Susi yang menemani atau renyah tawa Jessy.Semuanya mengalir begitu saja di antara mereka, semua hal bisa jadi topik pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Rangga yang usianya lima tahun lebih muda mampu mengimbangi kedewasaan Devi. Setelah hampir satu jam berlalu mereka mulai mengingat kesalah pahaman yang terjadi kemarin.“Maaf kemarin aku benar-benar terbawa suasana!” Devi memaksa bibirnya tersenyum. “Itu benar-benar di luar kendali.”Rangga tersenyum dua matanya melihat Devi dengan tatapan hangat. “Ya, semoga aku bisa memaafkan.”Devi tidak menjawab apa pun hanya saja bibirnya cemberut, membuat wajahnya terkesan sangat lucu
Seekor cicak sebesar telunjuk orang dewasa berlari mengejar cicak betina di pojok dinding rumah Devi seakan iri melihat ciuman mesra yang terjadi di ruang tamu. Cicak jantan terus berusaha mendekati cicak betina sampai di sudut tembok. Si Cicak jantan dengan suaranya yang nyaring mengkecik sambil menindih tubuh cicak betina. Dan terjadilah kawin paksa.Sialnya, kecikan itu cukup menganggu dua manusia yang sedang larut dalam emosi. Kecikan keras si cicak membuat Rangga Dan Devi tersadar kemudian melepas bibir yang telah menyatu. Rangga yang salah tingkah meraih teh dingin di meja. Devi yang menyadari kesalahanya berdiri. “Aku ke kamar mandi dulu!” Tanpa menunggu jawaban Rangga dirinya meninggalkan lelaki tersebut.Keresahan bukan itu saja Rangga yang merasakan pusakanya bereaksi setelah ciuman panas dengan Devi membuat celananya terasa sesak. Di tambah Devi yang tiba-tiba ke kamar mandi membuat dirinya sedikit gusar dan malu
Pukul delapan pagi saat mentari hangat menyinari bumi dengan sinar surya hangat penuh vitamin D, Susi dengan sangat malas memasukan koper ke bagasi. Dengan sangat terpaksa dirinya menuruti pemintaan Devi yang ingin balik Surabaya pagi itu juga.Bukan tak mau balik ke Surabaya hanya saja membayangkan mengemudikan mobil antar kota dan baru pertama kali membuatnya sedikit cemas. Terlebih lagi bersama seorang anak kecil yang sedang aktif bergerak. Membayangkan saja sudah membuatnya lelah, namun biar bagaimana pun dia harus balik. Karena tak ingin sendirian tinggal di Solo.Yang semangat meningalkan kota Solo hanyalah Devi, karena dengan cara itu dia bisa menghindari Devan dan juga adiknya.Devi mulai berfikir jika kedekatanya dengan Rangga tak dicegah mungkin hal buruk akan terjadi. Kejadian semalam mungkin saja akan terulang kembali, jika masih menghabiskan waktu dengan bersama. Oleh karena itu Devi memutuskan minggat
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga