Tania terus mengekori langkah Alfin, walau hatinya merasa dongkol dengan sikap Alfin yang begitu dingin padanya. Hatinya sedikit berbunga saat lelaki itu mengatakan ada 'kejutan' untuknya. Mungkin sikap dinginnya itu hanya untuk menutupi kejutan yang akan dia berikan, semacam surprise misalnya, batin Tania. Tak sadar, bibir perempuan itu langsung tersenyum membayangkannya.Tania terus mengikuti Alfin hingga tiba di pelataran cafe, terlihat lelaki itu berhenti sebentar mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam saku celana. Setelahnya mobil itu berbunyi saat kunci dipencet oleh Alfin.Alfin lekas membukakan pintu untuk Tania, dia menoleh pada perempuan itu, "ayo, lebih cepat sedikit!".Tania menganyunkan kakinya dengan sedikit menghentak, dia segera masuk dan Alfin menutup pintu mobilnya sedikit lebih keras. Hingga membuat Tania terjingkat.Alfin memutari mobilnya kemudian membuka pintu kemudinya, lelaki itu duduk di belakang kemudi. Dari ekor matanya dia melihat Tania tengah memperhatika
Tania semakin beringsut maju, dia raih bagian jas belakang Alfin. "Tunggu, Mas!" Alfin kembali menoleh, tangannya melepaskan jasnya dari tangan Tania dengan kasar. "Aku harus kembali ke kantor sekarang." Beberapa saat Alfin memperhatikan reaksi Tania, dalam hati pria itu hanya menguji, sampai di mana Tania bisa terus memainkan sandiwaranya. Dia memang harus kembali ke kantor setengah jam lagi. Dan Alfin memanfaatkan waktu itu untuk terus menekan Tania agar perempuan itu mau berkata jujur. Alfin merasa jengah dengan kelakuan Tania yang semakin menjadi."Beri aku kesempatan untuk menjelaskan, Mas," kata Tania akhirnya. Dia merasa memang harus mengatakan sesuatu pada Alfin. Tania takut dengan polisi. Apalagi penjara, akan sangat memalukan jika dia terseret ke dalam jeruji besi itu hanya karena sebuah video.Alfin tersenyum miring, hatinya bersorak, lekas dia mengambil ponselnya, mengoprek sebentar lalu perlahan dia kembali membalik tubuh menghadap Tania."Jadi gimana?" Alfin memasukkan
"Saya mau istirahat dulu, nanti kalau ada pasien yang membutuhkan penanganan, kamu panggil saya, ya," pesan Rendi pada perawat yang mendampinginya. Siang itu baru saja dia keluar dari meja operasi. Salah satu pasiennya harus melahirkan secara caesar, karena posisi bayi yang tak memungkinkan untuk dilahirkan secara normal. Lelaki tampan itu lekas menutup ruangannya yang dikhususkan untuk istirahat. Melepas jas putih dan menyampirkannya pada sandaran kursi. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Lelaki itu lantas duduk dan menyandarkan punggungnya. Dia mulai memejamkan mata. Rendi merasa baru saja terpejam dan mulai terlena dalam alam bawah sadarnya. Kesadarannya seperti dipaksa kembali bangun, saat ia merasa mendengar pintu ruangannya terus diketuk dari luar. Matanya masih terasa lengket untuk kembali terbuka. "Dokter Rendi! Dokter Rendi …."Samar-samar dia mendengar namanya dipanggil-panggil, ia lantas memaksa matanya untuk terb
Biasanya Rendi akan tersenyum riang, jika ada yang menggodanya. Lain halnya dengan saat ini, dia merasa bibirnya kaku untuk sekedar mengulas senyum walau hanya segaris. Langkahnya terus berayun kembali menyusuri koridor.Angannya kembali melayang pada sesosok perempuan yang tengah menguasai hatinya. Apa yang harus dia lakukan agar perempuan itu lekas siuman?Dari arah berlawanan kembali seorang perawat menghampiri mereka. "Dok, pasien tadi membutuhkan donor darah golongan O." Rendi terus memperhatikan perawat itu. Belum juga letihnya berkurang, kini dia harus mendengar berita baru yang kembali mengguncang jiwanya."Di rumah sakit ini golongan darah O stoknya sudah habis dan belum ada yang menyuplai," terangnya. "Ada stok golongan darah O di rumah sakit umum, jaraknya sangat jauh dari sini, bagaimana ini, Dok?" Wajah mereka kembali terlihat panik.Pikiran Rendi langsung melayang pada orang-orang yang menunggui Maira tadi, membayangkan Bu Ratih yang sudah tampak lemas, dia tak tega untu
Menjelang sore sekitar pukul lima, Bu Rani masih disibukkan dengan setumpuk kertas di butiknya. Wanita yang tengah merancang berbagai desain busana terbaru itu tersentak, saat tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Bu Rani menautkan kedua alisnya saat tertera nama Bryan–teman Rendi semasa kuliah dulu hingga sekarang bertugas di rumah sakit yang sama. "Bryan, tumben dia nelpon," gumam Bu Rani sambil meraih ponsel yang tergeletak di sebelah kertas desainnya.Segera ia memencet gambar gagang telepon untuk menjawab panggilan itu. "Hallo, assalamualaikum, Bryan … ada apa? Tumben nelpon, Tante?" Bu Rani kembali menggoreskan penanya pada kertas, ponsel itu ia jepitkan di antara bahu dan telinganya. Fokusnya sedikit terpecah saat mendengarkan Bryan berbicara sambil menggambar sketsa. Wanita itu terpekik dan menjatuhkan penanya saat Bryan mengatakan Rendi jatuh tak sadarkan diri."Bagaimana bisa sampai Rendi pingsan? Tadi berangkat baik-baik saja." sanggah Bu Rani yang sudah syok."........."
Rendi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Hatinya bergejolak hebat. Di depannya sang mama terus menautkan tatapannya pada dirinya. "Ehm, memangnya Mama nggak sibuk kalau jenguk pasien itu? Nanti keburu malam, kasian karyawan butik Mama kalau harus pulang telat, mereka udah kerja seharian, masa pulangnya harus telat." Bu Rani mendengkus, "nggak setiap hari kok, mereka pulang telat. Apa salahnya mama sempetin nengok pasien kamu tadi? Toh, dirawat di rumah sakit ini juga 'kan?" bantah Bu Rani. "Tetep aja kasihan, Ma." Sebisa mungkin Rendi mencegah mamanya untuk menjenguk pasien itu, ia hanya tidak ingin mamanya semakin iba padanya karena ketahuan masih peduli pada Maira. Sedangkan beberapa bulan terakhir, setiap mamanya bertanya tentang Maira, maka dia akan berusaha tak acuh. Berpura-pura tegar setelah merasa tertolak waktu itu. Berpura-pura rasa itu telah hilang dari hatinya.Bu Rani menelisik wajah Rendi yang seperti tengah menyembunyikan sesuatu darinya. "Mama rasa mereka nggak akan m
Bu Rani turut mengerutkan dahinya, wanita itu ikut memandang ke arah pintu. "Siapa tahu saudara yang mau menjenguk Maira, Bu," ujarnya pelan. Bu Ratih menoleh dan terdiam beberapa saat. "Tapi … saya belum ada ngasih kabar tentang Maira sama saudara, Bu Rani," balas Bu Ratih, tampak sekali gurat kebingungan dalam wajahnya."Nggak apa-apa, coba dilihat dulu saja, Bu," bujuk Bu Rani, Bu Ratih pun mengangguk setelah berhasil meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin orang di balik pintu itu memang saudaranya atau mungkin karyawan catering-nya yang datang menjenguk Maira."Sebentar, ya, Bu," kata Bu Ratih sambil berdiri dan berjalan menuju pintu. Tangannya meraih handle pintu dan mulai menekannya. Mata wanita itu menyipit melihat seseorang yang berdiri tegap di balik pintu. Ia merasa tidak mengenal laki-laki berpakaian rapi–khas pekerja kantor tersebut. Seketika pikirannya mulai waspada. "Maaf, Anda siapa?" tanya Bu Rani dengan tangan masih memegang handle pintu. Laki-laki itu mengulas segari
Alih-alih menyelesaikan berkas-berkas pekerjaannya, semenjak ia mendengar berita Maira telah melahirkan bayi, pikiran Alfin menjadi semakin melanglang buana. Batinnya terus bergejolak menuntut menyelidiki bayi yang telah dilahirkan Maira. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya, Alfin merasa ada suatu ikatan yang tak kasat mata antara ia dan bayi itu. "Apa mungkin … bayi itu anakku? Tapi … bukankah waktu itu Maira telah keguguran?" Alfin memijat pelan pangkal hidungnya, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Ia mematikan laptopnya dan beranjak dari duduknya. Sambil merebahkan tubuhnya di pembaringan. Alfin kembali memeriksa ponselnya. Banyak sekali chat dari Salsa yang telah ia abaikan seharian ini. Alfin mendengkus kasar saat membaca isi pesan gadis manja itu. Ia memilih kembali menutup pesan dari Salsa, dan kembali mengirimi pesan orang kepercayaannya untuk terus menyelidiki bayi Maira."Terus awasi keluarga Pak Cahyo. Terutama Maira dan bayinya." Tulisnya dan segera mengirimkan pesa
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter