"Saya sebentar lagi sampai di lokasi tujuan. Jangan ada yang bergerak sebelum dapat perintah dari saya."Zico memutuskan panggilan telpon dari salah satu anak buahnya. Beberapa dari mereka sudah sampai di pinggiran kota. Dia sengaja menyuruh mereka untuk diam tanpa bergerak sebelum dirinya sampai di sana. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi. Zico kembali melanjutkan perjalanannya menuju daerah pinggiran kota Pandora. Sebelum itu dia meletakan ponselnya pada dashboard mobil, tapi suara notfikasi pesan masuk membuat Zico mengurungkan niatnya. Dia kembali membuka ponsenya, ternyata pesan dari Ivander. Suatu keberuntungan, dia langsung membukanya tanpa menunggu lama. Jika, tidak sudahdapat dipastikan jika Ivander akan mengamuk padanya nanti dengan menelponin diriya berulang kali. Sejak dulu, notfikasi pesan atau telpon dari Ivander menjadi prioritas utama. Bahkan kekasih Zico saja berada di urutan nomor dua, karena yang pertama Ivander. "Lingga?"Kening Zico berkerut bi
084"Kami sudah melakukan tes untuk mengetahui faktor keguguran dari Bu Anindya, dan hasilnya tidak ada kelainan genetik apapun. Pada usia kehamilan yang sangat muda ini, trauma fisik seperti jatuh memang bisa memicu terjadinya keguguran. Kami sudah memastikan bahwa janin di dalam kandungan sudah tidak lagi dapat bertahan." Penjelasan Dokter membuat suasana di depan ruang UGD itu semakin mencekam. Untuk sesaat dunia seolah berhenti mendengar kabar yang diberikan oleh Dokter yang menangani Anindya. Semua orang yang berada di sana menundukan wajahnya yang kini memucat. "Tampaknya juga sejak awal kehamilan kondisi janin itu begitu lemah. Dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena kelelahan atau karena cemas dan stress berlebihan. Dan semakin diperburuk lagi dengan faktor benturan keras karena terjatuh. Sehingga janin terpaksa mengalami abortus atau keguguran." Dokter wanita itu kembali menjelaskan secara lengkap alasan Anindya bisa keguguran. Dia menatap sat
"Maaf, Ivan! Semua ini salah ak—" "Ya, itu salah kamu. Kalo kamu nggak maksain diri kabur dari rumah, calon anak kita masih hidup!" Dengan cepat Ivander memotong ucapan Anindya. Raut wajahnya begitu datar dengan kedua mata yang menatap lurus ke jendela ruang rawat Anindya. Bohong, jika dirinya tidak marah pada Anindya atas kejadian ini. Ivander marah, sangat marah, dia kecewa pada Anindya yang begitu bodoh sampai calon anak mereka menjadi korban. "Maaf, Iv—" "Maaf?" Ivander kembali memotong ucapan Anindya untuk yang kedua kalinya. Dia mengalihkan pandang menatap wajah Anindya yang terduduk di atas brankar rumah sakit sambil terisak pelan. "Dengan mudahnya kamu minta maaf setelah semua yang terjadi?" lanjut Ivander yang berhasil membuat Anindya mengatup bibirnya rapat-rapat. Ivander memasukan kedua tangannya pada saku celananya. Dia menatap Anindya dengan tajam. "Kamu sangat egois, Anindya! Kalo kamu nggak bisa nerima pernikahan kita nanti, kamu seharusnya marah sama aku, b
"Ivan, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!" Laura yang sejak tadi memperhatikan sosok yang sangat familiar di pandangannya. Bergegas mendekat untuk melihat lebih jelas, dan benar jika sosok itu adalah Ivander Alessandro— calon tunangannya. "Kamu apa kabar, Ivan?" Laura sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar oleh Ivander. Dentuman musik club malam di terangi lampu dengan pencahayaan yang minim. Wanita dengan dress merah yang mempertontonkan belahan dadanya secara jelas dengan panjang dress di atas lutut. Dress itu tampak sangat ketat, sehingga lekuk tubuh Laura terlihat begitu jelas. Wanita itu tampak menggoda dengan wajah cantik yang terpoles make up tebal dan bibir yang merah menyala. Ivander yang tengah menyesap vodka di tangannya itu tidak menggubris kehadiran Laura yang duduk di sampingnya tanpa permisi. Setiap tegukan vodka terasa seperti api yang membakar tenggorokan, memanas hingga dadanya terasa terbakar. Seolah-olah cairan itu menyalakan api kecil di dakam
"Aku nggak mau denger penolakan! Cepat layanin pria di kamar 203, Mela!"Seorang wanita berumur 42 tahun dengan pakaian nyentrik yang sangat terbuka itu menatap penuh ancaman pada Melani. Madam Angel, seorang mucikari pemilik rumah bordir yang berada di pusat kota. Lokasinya begitu terpencil, jjarang sekali ada yang lewat ke tempat ini. Sehingga sulit ditemukan oleh orang-orang. Madam Angel, memiliki banyak pelacur yang siap melayani pelanggan. Tentunya semua pelacur yang berada di tangannya sudah terlatih untuk memuaskan pelanggan. Bayaran satu malam dari pelanggan 30% untuk pelacur, 70% untuk dirinya. Itu sudah tidak bisa dibantah oleh siapapun, para pelacur yang bekerja di bawah tekanan Madam Angel hanya bisa pasrah menerima ketidakadilan ini. "Apa? Aku nggak sudi!"Melani menolak dengan kedua mata melotot terkejut mendengar perintah Madam Angel. "Aku bilang nggak mau denger penolakan! Cepat layani pria itu, jangan buat pelanggan menunggu lama!" Madam Angel berdecak melihat Me
"Istirahat, keadaan kamu belum benar-benar pulih!" Ivander bersiap keluar dari kamar mewah bernuansa cerah itu. Dia tidak ingin berlama-lama bersama Anindya di dalam kamar Villa ini, dia harus bergegas pergi dari hadapan wanita itu. "Ivan, sampai kapan kamu marah sama aku? Sampai kapan kamu mau diemin aku kaya gini?" Suara lemah Anindya berhasil menghentikan langkah Ivander yang berada di dekat pintu. Terhitung sudah lima hari semenjak hari di mana dirinya keguguran, Ivander masih setia mendiami dirinya. Ivander berhak marah padanya karena kesalahan yang dia lakukan itu benar-benar fatal. Anindya yang sudah menyebabkan janin dalam dirinya lenyap karena kebodohannya. Anindya sadar bahwa dia Ibu yang buruk, tidak bisa menjaga calon anak dalam kandungannya. Namun, apakah rasa bersalah Anindya tidak cukup untuk Ivander? Apakah permohonan maaf Anindya dengan tangisan di depan Ivander, tidak membuat hati pria itu bergerak untuk memaafkan dirinya? Lima hari, Ivander mendiami diriny
"Mela, kaki kamu kenapa?" Suara Marisa mengejutkan Melani yang tengah mengambil minum di dapur. Marisa melangkah mendekati Melani dengan kening berkerut bingung. Dia sejak tadi mengikuti langkah Melani sejak wanita itu keluar dari kamar. Dia memperhatikan jalan Melani yang tidak seperti biasanya. Wanita yang mengenakan baju tidur berbahan satin itu menoleh dengan terkejut pada Ibu mertuanya. "Mama? Ngapain di sini?" "Kamu itu ditanya bukannya menjawab malah tanya balik." Marisa mengambil gelas di rak dapur. Lalu, menuangkan air putih dari teko pada gelas di tangannya. "Kaki kamu kenapa, Mela?" Melani gelapan saat Marisa mengulang kembali pertanyaan sebelumnya. Dia tidak tahu harus menjawab seperti apa atas pertanyaan Marisa padanya. Dengan pencahayaan minim di dapur. Karena, Melani hanya mengandalkan senter dari ponsel di tangannya. Marisa bisa melihat ekspresi gelagapan yang tergambar pada wajah Melani. "Ak—ku, tadi jat—tuh ... iya, jatuh!" Melani menjawab dengan
"Aku nggak selingkuh, Ma. Dari mana Mama bisa nuduh aku kaya gini?" Melani menatap tak percaya pada Marisa yang menuduh dirinya tanpa bukti. Dari mana wanita itu bisa memiliki pemikiran bahwa Melani tengah berselingkuh di belakang Lingga? Marisa menyatukan kedua tangannya di atas meja. Dia membalas tatapan Melani dengan begitu santai. "Kamu pikir saya bodoh, Mela? Lihat kamu yang suka keluyuran semenjak Lingga menghilang, bahkan kamu pulang hampir jam dua belas malam. Tentunya saya curiga sama kamu, Mela!" Marisa tanpa basa-basi lagi mulai mengutarakan kecurigaannya dalam beberapa hari terakhir pada Melani. Dia sudah memperhatikan wanita itu yang terkadang seperti orang gelisah, kadang juga seperti orang bahagia. Gelisah yang dirasakan oleh Melani, sepertinya bukan karena menghilangnya Lingga. Melainkan karena ada hal lain yang mengganggu pikiran wnita itu. Arjuna, suaminya yang selalu menemani Kanaya menunggu kepulangan Lingga selama beberapa hari terakhir. Tidak mencuri
"Tapi kondisi kalian cukup mengkhawatirkan," petugas polisi menimpali. "Dan lokasi kecelakaan itu perlu kami tinjau, memastikan tidak ada hal yang mencurigakan." Rizhar merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika polisi menelusuri lebih jauh, mereka bisa menemukan jejak penculikan Ivander. Dan jika itu terjadi, Rizhar tahu masalah ini tidak akan berhenti di sini. "Kami sudah melewatinya, Pak." Lingga akhirnya berbicara, suaranya terdengar sedikit serak. "Kami hanya ingin pulang, bertemu keluarga, dan melupakan kejadian itu. Kami tidak ingin memperpanjang masalah." Petugas polisi saling bertukar pandang, tampaknya tidak puas dengan jawaban mereka. "Begini, Tuan Lingga—" "Tolong, Pak," Lingga memotong dengan suara yang lebih tegas. "Kami hanya ingin pulang." Keheningan mengisi ruangan. Marisa tampak semakin cemas. Sedangkan, Melani yang sejak tadi memperhatikan Lingga dari kejauhan melangkah mendekat. Dia terlalu syok melihat kehadiran Lingga dengan jarak satu meter di de
"Lingga, akhirnya kamu kembali, Nak!" Marisa yang melihat presensi Lingga yang melangkah memasuki kantor polisi segera berteriak dengan lantang. Dia berlari menerjang putranya dengan pelukan erat. "Astaga, Lingga!" Suaranya bergetar penuh emosi. Pelukannya begitu erat, seolah berusaha memastikan bahwa putranya benar-benar nyata berada di depannya. Seminggu tanpa kabar, seminggu penuh kecemasan yang menggerogoti hatinya setiap detiknya. Lingga meringis pelan saat pelukan sang Ibu menyentuh luka pada punggungnya. Pukulan besi yang dilayangkan oleh anak buah Ivander pada punggungnya menyisakan luka dengan rasa sakit yang luar biasa. Marisa yang mendengar Lingga meringis kesakitan. Buru-buru melepaskan pelukannya. Dia memeriksa tubuh Lingga dengan rasa khawatir dan panik yang begitu kentara. "Maaf, Mama nggak tau, Nak. Bilang sama Mama mana yang luka!" Marisa segera memeriksa seluruh tubuh Lingga. Untuk mengecek semua luka yang memenuhi tubuh putranya. Namun, dengan cepat Li
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar,