"Kamu nggak punya hak untuk mengajukan pertanyaan. Sana buatkan aku kopi," titah Frans dengan ketus.
"Gengsi banget sih," gerutu Karin dengan suara pelan sambil berjalan keluar dari ruangan hendak membuatkan kopi di pentry.Setelah keluar dari ruangan, Karin bingung harus ke kama mencari letak pentry. Dia berjalan menuju meja sekretaris Frans, lalu bertanya kepadanya. "Permisi, Mbak."Wanita berusia dua puluh lima tahun bernama Michael itu pun menengok. "Iya, Mbak? Ada apa, ya?""Saya asisten pribadinya pak Frans, boleh tunjukkan kepada saya di mana pentry?""Oh, mau bikin kopi ya, Mbak. Maaf saya telat, Mbak bisa bilang sama pak Frans, saya buatkan kopinya sekarang. Ini barusan tanggung siapkan berkas meeting." Michael bicara sambil merapikan berkas."Oh jangan, Mbak. Biarin saya aja yang buat kopi, Mbak terusin aja siap-siapnya.""Serius nih?""Iya, tunjukkan aja di mana letak pentry.""Di sana," tunj"Aw ...!" Frans merintih ketika Karin terpaksa harus menggigit bibir bawahnya. Saat cengkraman Frans melonggarkan, Karin pun mendorong tubuh Frans, hingga akhirnya dia berhasil melepaskan diri."Apa yang kamu lakukan?" pekik Karin sambil berdiri, mengusap bibirnya yang basah akibat permainan brutal sang suami. Sedangkan Frans masih duduk di atas sofa sambil mengusap bibir bawahnya yang mengeluarkan darah segar."Kamu istriku, Karin. Apa aku salah kalau aku mau melakukannya denganmu?" Sudah tiga tissue dia habiskan untuk mengusap darah yang tidak mau berhenti mengalir. Dia juga bicara tanpa melihat ke arah Karin."Tapi nggak dengan cara yang kasar kayak gini.""Apakah kalau aku bersikap lembut kamu akan melakukannya?" Karin diam, Frans kembali bicara. "Nggak, kan?""Aku kan udah bilang. Aku butuh waktu.""Sampai kapan?" Suara Frans membentak sambil melempar kotak tisu ke lantai dengan kasar, kali ia bicara sambil menatap tajam ke
"Boleh." Frans mengeluarkan handphone dari saku jas, lalu menyerahkannya kepada Karin. "Silakan.""Terima kasih, Mas," ucap Karin seraya menerima handphone milik Frans dan langsung menghubungi putranya di kampung."Halo, Ibu.""Rin, ini kamu?" tanya sang ibu di seberang sana. Bingung karena hanya mengenal suara, tetapi tidak dengan nomer teleponnya."Iya ini Karin, Bu. Ibu lagi apa?""Ini lagi nemenin Rafa main mobil-mobilan. Kamu mau ngomong sama Rafa?""Boleh, Bu."Setelah bicara dengan sang ibu, Karin bicara dengan putranya."Halo, Ibu.""Iya, Nak. Rafa lagi apa?" Senyum Karin mengembang sempurna setelah mendengar suara putranya."Rafa lagi betulin mobilan, Ibu. Mobilnya rusak.""Rusak?""Iya, Ibu.""Kenapa rusak? Pasti mainnya dibanting-banting, ya?""Nggak, kok. Ini mainannya udah lama, udah nggak bagus lagi, udah ketinggalan jaman. Masa mobilan Rafa masih ditarik pake tali sih? Temen Rafa aja mobilannya pake remot," keluh Rafa seperti anak pada umumnya."Oh gitu, ya?""Iya, Rin.
"Karin, Apa kamu udah tahu mainan apa yang mau kamu belikan untuk Rafa?" tanya Frans saat mereka masuk ke pintu mall."Iya, Rafa mau mobil-mobilan remote yang bisa dinaikin bareng teman-temannya.""Banyak. Selain itu apa lagi?" tanya Frans lagi."Menurut kamu?" Karin balik bertanya. Saat ini mereka sedang berdiri di depan pintu lift."Apa, ya? Kita lihat aja nanti di toko mainan. Yang penting nanti kita beli dulu aja mobil-mobilannya, habis itu kita cari mainan yang lain. Aku pikir putramu suka dengan action figures dan lego."Tidak lama pintu lift terbuka, Frans tiba-tiba meraih tangan Karin, masuk ke dalam lift sambil bergandengan tangan. Hal itu membuat karin terkejut, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali diam. Lagi pula, tidak mungkin juga kan Karin menghempaskan tangan suaminya, apalagi setelah perdebatan tadi saat di kantor.Mereka berdua tiba di lantai tiga Mall Arjuna, tempat toko mainan yang menjadi tujuan mereka berdua. Di pintu masuk yang penuh dengan poster dan
Karin pulang ke kampung membawa mainan yang diinginkan oleh putranya. Mainan mobil tersebut langsung dipakai di dalam rumah, sedangkan Karin duduk di sofa bersama sang ibu mengobrol sambil memperhatikan Rafa bermain."Ke mana aja, Rin? Kenapa akhir-akhir ini kamu jarang banget pulang? Usaha catering bos kamu lagi sibuk?" tanya Siti memulai percakapan."Iya, Bu. Banyak yang nikah, banyak yang ngadain acara, jadi jarang pulang," jawab Karin berbohong. Yang mengetahui kehidupan Karin sekarang bagaimana, adalah pamannya."Pantesan kamu sering kirim uang banyak. Hati-hati loh, Rin. Jangan karena mengejar pendapatan banyak, kamu mengabaikan kesehatan kamu," pesan sang ibu mengingatkan."Iya, Ibu tenang aja." Karin bicara sambil mengusap lembut tangan sang ibu."Nanti kalau pulang lagi, kamu ajak Dani. Kasian tuh Rafa nanyain terus. Lagian kenapa sih nggak bisa pulang ketimbang sebentar doang? Padahal Rafa cuma pengen ketemu, dua atau tiga jam juga cukup."Memang beberapa bulan terakhir, Kar
"Karin. Aku ada di gang depan." Pesan yang Frans kirim kepada sang istri."Iya, sebentar," balas Karin. Saat ini memang dia sudah siap mau pergi. Setelah membalas pesan dari sang suami, dia keluar dari kamar berjalan sambil menautkan tali tas selempangnya di atas pundak."Udah mau berangkat?" tanya sang ibu, Siti. Saat ini beliau sedang di dapur, merapikan piring di dalam rak.Sambil berjalan menghampiri Siti, Karin menjawab dengan jawaban bohong tentunya. "Iya, Bu. Si bos kewalahan pesenan.""Ya udah, hati-hati, ya." Siti berdiri, mereka berdua berjalan menuju pintu utama. Dia kembali mengajukan pertanyaan sambil berjalan. "Kapan ke sini lagi?""Mudah-mudahan setiap minggu aku bisa pulang." Karin melingkarkan tangan pada lengan Siti."Kalau bisa jangan sampai per dua minggu deh pulangnya, kasian Rafa.""Karin usahakan ya, Bu.""Iya, Rin."Sampai di teras rumah, Rafa yang sedang berlari menghampiri Karin, lalu memeluk pinggangnya. "Ibu. Mobilan aku lebih bagus dari temen-temen, katany
Karin diam tidak menjawab, lalu Frans bertanya, "Kok diem? Kenapa? Kamu nggak mau?""Bukan nggak mau. Tapi ....""Ya udah kalau nggak mau. Aku nggak akan paksa kamu." Fans bicara sambil tersenyum. Dia kembali mengecup punggung tangan Karin, lalu mengangkat tangan kanannya untuk mengusap lembut pipi Karin.Di luar dugaan, Karin berpikir Frans akan marah ketik dirinya menolak ajakan tidur bersama. Misalnya memaksa, mengajaknya pulang, menyeretnya masuk ke dalam mobil, atau mungkin disekap di dalam gudang. Tapi ini, jangankan melakukan itu semua, menunjukkan ekspresi marah saja tidak."Oh, iya. Ceritakan keseruan kamu seharian sama Rafa. Pasti banyak cerita." Frans merubah topik pembicaraan untuk mencairkan suasana."Bukan banyak lagi, banyak banget malah. Kemaren Rafa bilang sama aku kalau dia sangat berterimakasih banget sama orang yang menggaji aku, sampai aku bisa beliin dia mobil-mobilan itu. Dia juga doain kamu loh.""Oh, ya?"Karin mengangguk. "Iya, dia bilang semoga usaha kamu la
"Iya kenapa?""Ada apa sama Bella?" tanyanya lagi."Tadi itu temennya yang telepon, kata dia Bella mabuk dan nggak mau pulang dianter sama yang lain kalau bukan aku." Setelah menjawab pertanyaan Karin, sambil menenteng laptopnya Frans berjalan menuju kamar."Kenapa harus kamu?" Karin mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang."Karna aku tunangannya.""Oh, tunangannya, ya? Lalu aku?"Fans menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh ke belakang. "Kamu istri aku.""Kalau aku bilang kamu nggak boleh pergi, apa yang akan kamu lakukan?""Aku tetap pergi," jawab Frans dengan cepat."Kenapa? Apakah tunangan kamu itu lebih penting dari aku, istri kamu?""Karna nggak ada alasan kenapa kamu larang aku pergi."Karin diam tidak menjawab. Bahkan dia sendiri saja bingung kenapa dia bisa bicara seperti itu kepada Frans. Bukan hanya bicara, Karin merasakan sendiri saat ini jantungnya berdebar-debar seperti sedang menahan luapan emosi yang sebetulnya sedang ia tahan."Kenapa diem?""Ng–nggak apa-apa
"Maaf ya, Bel. Aku bukan Frans seperti yang dulu lagi. Aku berubah sekarang." Frans bicara kepada Bella yang saat ini masih tertidur pulas di atas ranjang, sedangkan dirinya berdiri di tepian ranjang.Tubuh Bella menggeliat, dia merubah posisi tidurnya menjadi miring. Frans melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. "Aku harus pulang." Dia mengambil kunci mobil di atas nakas, lalu pergi meninggal Bella di hotel.Menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya ia pun sampai di tempat tujuan, yaitu apartemen tempat tinggalnya bersama Karin.Frans menekan sandi pintu, lalu masuk ke dalam unit seraya melepaskan sepatu, menyimpan sepatu tersebut di tempat yang sudah disediakan dekat pintu."Sepi amat," gumam Frans sambil berjalan masuk. Tidak ada suara televisi, hanya ada suara piring beradu dengan sendok, lalu ia pun berjalan ke arah sumber suara, yaitu ruang makan."Karin," panggil Frans terus berjalan menaiki dua anak t
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap