Bahkan para narapidana yang berada di dalam pun terkejut. Mereka menatap Anggoro dengan heran. Bupati yang mereka selalu lihat di layar televisi kini berada di depan jeruji besi dengan keadaan sangat berantakan? Bahkan mereka pun akhirnya tertawa. Mana mungkin seorang penjahat tidak menyukai hal yang sangat buruk seperti itu?"Ini dia seorang Bupati yang tidak pernah memperhatikan rakyat kecil. Tapi selalu terpilih," ucap salah satunya sambil bersedekap."Sekarang karma sudah kau rasakan. Istrimu juga hancur. Hah, dia terlihat kalem, tapi ... menggunakan obat-obatan terlarang," sela lainnya dengan tertawa kecil.Ada salah satu dari mereka menatap semakin tajam. Anggoro kemudian segera berdiri dan menunjuknya tegas, lalu berkata, "Bukankah kau sudah menikah?" ucapnya yang sedikit membuat semua orang terkejut kemudian memandangnya. Narapidana itu semakin melangkah maju ke depan, mengamati Anggoro dengan sangat seksama. "Tapi dengan Pamela bukan? Tidak dengan wanita ini. Ya, aku sangat m
Anggoro tidak bisa berkata apa pun melihat beberapa petugas polisi akhirnya membuka jeruji besi dan menarik Sera keluar dari sana."Semuanya pasti akan terselesaikan, Tuan. Biarkan saya mengikuti apa yang dilakukan oleh Simbah.""Jadi kau memilih dia daripada aku, Sera?" Anggoro protes sambil menunjuk Willem yang masih memberikan pelototan tajam."Anggoro ... Anggoro. Sudah jelas dia pasti akan memilih salah satu dari kita. Hmm, bersamamu itu tidak enak. Kau itu selalu saja memperkeruh suasana. Bahkan kau tidak bisa baik dengan wanita. Lepaskan dia. Bukankah dia hanya seorang budak? Untuk apa kau mempertahankan?" Bima menyela dengan sangat santai. Dia masih saja tertawa sangat puas melihat saingannya kini terpuruk dan terpojok seperti itu."Karena dia budakku. Makanya dia harus bersamaku. Itu adalah sebuah pilihan yang harus dilakukan. Ingat perjanjian itu, Sera. Aku bisa menuntutmu kalau kau tidak memenuhinya." Anggoro terus menatap Sera yang hanya bisa menundukkan kepala. Wanita itu
Ciuman itu semakin menjadi Sera tak kuasa untuk menolaknya. Bahkan dia terlalu menikmatinya.Jantungnya berdebar dengan kencang. Pesonanya yang sangat cantik itu, ditambah sikap yang selalu saja bisa mengatasi semua keadaan dengan tenang, membuat Anggoro luluh. Membuat lelaki dingin yang selalu saja kasar dengan wanita dan egois itu, akhirnya menyerah. Bahkan tidak peduli jabatannya adalah taruhannya. Anggoro sekarang meninggalkan itu semua."Kamu itu banyak sekali bicara. Selalu saja sok kuat. Untuk apa kau seperti itu?" ucapnya pelan. Hatinya semakin tenang ketika menatap mata abu sangat indah. Tanpa sadar, perlahan Anggoro mendekati wajah Sera, lalu menyatukan keningnya. Napas mereka saling beradu."Aku tidak menyukai perempuan yang banyak sekali berbicara. Apa kau bisa diam saja untuk sejenak? Dan ... tidak perlu membantah apa pun yang aku katakan," lanjut Anggoro kemudian kembali mencium bibir Sera yang berwarna merah merekah."Tidak ada yang mengetahui kita di sini. Aku hanya in
Sera masih terdiam. Dia tidak mengerti sebenarnya apa keinginan Anggoro. Yang jelas, dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sangat rahasia. Bagaimana masa lalunya, yang mengetahui hanya ayahnya yang sekarang entah di mana keberadaannya.Sejak Sera meninggalkan ayahnya di rumah sakit karena mengalami serangan jantung dan menikahi Anggoro, dia tidak pernah tahu sekarang ayahnya tinggal di mana. Sera berharap sang ayah masih berada di rumah lamanya."Kalau kau tidak mengatakannya, aku bisa melakukan sesuatu yang sama sekali tidak kau duga." Anggoro kembali lagi mengancam Sera."Lakukan saja apa yang ingin Tuan lakukan. Bukankah aku seorang budak? Bahkan Anda menikmatiku saja ... aku tidak bisa menolak bukan?""Jangan munafik, Sera. Kau tidak menolakku karena kau memiliki perasaan denganku. Semua wanita sama saja. Selalu menyukai pria kaya seperti diriku. Karena untuk kepentingan mereka.""Kalau begitu, lepaskan saya. Biarkan saya pergi. Jangan pernah memberi apa p
Hujan yang seharusnya bisa membuat tubuh terasa dingin dan menggigil, malah sebaliknya. Di dalam mobil itu semakin panas. Mereka berdua menikmati apa pun yang mereka lakukan. Saling memuaskan masing-masing.Anggoro terus menatap Sera yang sudah berkeringat. Masih saja berada di atas pangkuannya. Membuat dia merasakan kenikmatan yang luar biasa, apalagi wajahnya yang sangat cantik. Menatap dirinya disertai desahan, yang membuat Anggoro semakin berhasrat.'Pamela selalu memuaskanku. Apa pun dia lakukan untuk membuat aku puas. Tapi ... kenapa aku sangat menyukai percintaan dengan Sera? Apakah aku memang sudah mencintainya?' batin Anggoro sambil terus menatap wajah Sera. Dia menarik leher Sera dan kembali menikmati bibirnya, ingin memastikan sesuatu yang berada dalam perasaannya.Desahan itu semakin terdengar keras. Anggoro tidak ingin mengakhirinya. Tapi dia juga tidak mau menyakiti Sera. Wanita itu sedang hamil. Seharusnya dia tidak melakukan itu. Anggoro pun mengakhiri persatuan yang s
Berhubungan dengan Pamela? Bagaimana bisa Bima berhubungan dengan wanita itu? Sudah jelas kalau saat itu Bima sudah melakukan dengan Sera, walaupun dia ternyata masih suci. Tapi ... sudah jelas Sera tidak mengenakan busana walaupun sebenarnya ketika itu dia pingsan dan tidak tahu apa pun yang terjadi saat malam, hingga dia bangun ketika pagi. Lalu ... bagaimana mungkin Bima bisa melakukannya dengan Pamela? Apakah mereka sebenarnya sudah kenal?Sera menarik napasnya. Tentu saja dia sangat terkejut. Sosok wanita itu baru saja dia kenal saat dia menikahi Anggoro. Lalu ... apa hubungannya dengan Bima? Bahkan selama ini Sera tidak pernah melihat Bima bersama dengan Pamela ataupun wanita lain selain Maya."Jangan pernah berkata yang tidak benar, Tuan. Saya tidak pernah melihat wanita itu. Jika Tuan berbicara tidak benar, akan mempengaruhi jabatan Tuan sekarang.""Jabatan?" tanya Anggoro sambil mengangkat salah satu alisnya. "Jadi kamu masih memikirkan jabatanku sekarang?" Anggoro tertawa sa
Sera berjalan menerabas semua kerumunan warga. Semula para warga itu berteriak, meminta Anggoro untuk berhenti dari jabatannya. Tetapi mereka spontan terdiam saat melihat Sera berjalan menatap mereka dengan tajam dan berdiri di tengah-tengah."Kalian jangan pernah main hakim sendiri!" teriaknya dengan keras sambil menunjuk semua warga itu. "Aku yang bersalah. Aku yang sudah melakukan hal buruk. Untuk apa kalian main hakim sendiri! Siapa yang bisa menggantikannya? Siapa yang bisa membuat kalian jaya? Tidak ada lagi selain Bupati Anggoro!" lanjutnya masih berteriak."Untuk apa kami membutuhkan seorang Bupati pembohong seperti dirinya? Apalagi kau!" ucap salah satu warga sambil menunjuk Sera. Lelaki yang sangat tinggi itu dan berkacamata, kini berdiri tepat di hadapan Sera."Kami hanya ingin seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Tidak memiliki kasus ataupun jejak yang sangat memalukan seperti dirimu!" lanjutnya masih saja membenarkan kacamatanya yang turun ke hidungnya. Kemudian dia m
Pamela terdiam mengamati Sera dengan salah satu alis terangkat. Tentu saja dia menyembunyikan sebuah rahasia besar. Jika terbongkar dia pasti akan hancur. Tapi itu bukan rencananya. Sekarang dia berhasil membuat Anggoro pergi dari sana karena memang itu adalah perintah dari Simbah. Wanita tua itu tidak mau Anggoro menghadapi warga yang mulai kurang ajar kepadanya. Selama ini Simbah selalu saja memberikan sembako gratis ataupun sekolah gratis bagi anak-anak yang terpilih. Dia merasa dikhianati oleh para warga yang sudah berani melawan Anggoro. Simbah membiarkan Sera untuk mengatasi ini semua, karena memang itu adalah tugas seorang budak. Parahnya dia mempercayakan itu kepada Pamela.Sebelum Pamela berani menampakkan dirinya, Simbah meminta dia untuk masuk ke dalam kamarnya ditemani oleh Maya. Kedua wanita itu terkejut, apalagi Simbah memberikan sebuah cek yang sangat fantastis."Aku tidak akan pernah meminta seseorang melakukan perintahku dengan gratis," ucapnya kemudian menyodorkan
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu