Ini baru pertama kali aku menginjak kamarnya selama disini. Kamar yang luas seluas rumahku di desa. Fasilitas didalamnya benar-benar membuat gigit jari. Lemari baju, tempat sepatu belum lagi aksesoris yang dimiliki seperti yang ada di mall.
Dia pulang dan seperti biasa dengan sok coolnya, meski kulihat ada beban di wajahnya. Apa gara-gara berita yang viral hari ini? Tapi tidak mungkin melihat dia yang tidak memberi kabar denganku hari ini.
Dia mendekat.
"Ngapain?" tanyaku
"Bukain lah dasiku, carikan aku baju yang kupakai. Itu tugas asisten." Idiih, ogah sebenarnya jadi asistennya. Tapi gajinya menggiurkan.Sekarang aku bingung ambil baju dia yang mana. Ini sih aku benar-benar merepotkan diri. Mana hati lumayan sakit dibuat karena gosip hari ini. Kutaruh baju yang menurutku cocok untuk di Reza pakai. Seperti suami istri beneran aku melakukan tugasku dengan baik meski aku mengambil upahDengan diimani olehnya hatiku merasa damai, tidak seperti bayanganku. Suaranya fasih, makhroj hurufnya benar dan tentunya dia mampu menjadi imam salatku hari ini. Dia memang orang yang sulit untuk diprediksi. Penuh misteri dan tentunya percaya diri. Setelah selesai salat magrib, kusiapkan makan malamnya. Meski sebelumnya kebiasaanku makan malam setelah isya. Namun, aku kasihan melihatnya pulang dalam keadaan lapar. "Makanan sudah siap, abang duluan nanti aku belakangan." "Kok bisa?" tanyanya kembali. "Kebiasaanku makan setelah isya." "Kalau begitu samaan," ucapnya lagi. Tu kan, mana tega aku melihatnya dalam keadaan lapar sampai menunggu selesai salat isya. "Iya, ayo kita samaan." Entah mengapa aku kasihan. ini aku sebagai asisten atau sebagai istri yang begitu peduli dengannya. Kami menuju meja makan khusus untuk kami berdua. Entah sejak kapan dapur ini disulap hanya untuk kami saja. Tuan Reza mem
Jika bisa kumelangkah jauh aku akan pergi dari dirimu. Memberikan ruang waktu untukmu berfikir dan tak ingin menjadi beban dalam hidupmu.***"Siapa yang mengirim pesan?" tanyanya yang penasaran."Aku hanya asistenmu, tuan eh abang. Jadi hal privasi tidak perlu kau tau." Aku lebih baik keluar menuju kamarnya Fatia."Mau kemana?""Mau tidur di kamar yang lain. Apa semua asistenmu tidur denganmu tuan? Tidak 'kan?""Kamu istriku jadi wajar satu bed.""Maksud tuan? Istri yang hanya nama saja. Lalu bagaimana berita hari ini? Aku hanya menanyakan hakku sebagai istri saja tuan begitu marah.""Apa perlu itu dijelaskan, dik?" ya ampun ini orang, jangan bilang dia tidak pernah punya hubungan dengan perempuan lain. 
Setelah selesai salat aku menuju kamar ibu mertua. Melihat kondisinya pagi ini. Keadaannya semakin lebih baik dari sebelumnya. Namun, langkahku terhenti mendengar ibu mertua yang sedang menelpon seseorang. "Reza sulit untuk kubujuk, aku akan gunakan Nina istrinya untuk melancarkan aksi kita." Langkahku terhenti, maksudnya apa? Apa aku akan dijadikan alat ibu mertuaku? Ini sulit untuk diterima oleh akal ku.Aku balik menuju kamar tuan terhormat. Kenapa rumah ini penuh misteri. Belum masalah si Reza, lalu Brayen sekarang misteri ibunya Reza. Mumet pikiran ini."Lagi mikirin apa nona sok manis alias adik tersayangku." Idiih ini orang kesambet mimpi kali pagi-pagi."Aku manusia normal yang banyak pikiran, tapi bukan memikirkan tuan terhormat alias abang-abanganku ini.""Siapa juga yang mau dipikirkan olehmu adikku tersayang. Buatkan abangmu kopi, adik manis." Sejak kapan ini orang menjadi penggemar kopi. Mana jilbabku diacak-acak
Mereka bersiap bertanding. Reza memperbaiki sepatunya begitu juga dengan dokter Gunawan yang menyiapkan diri untuk bermain dengan Reza. Seperti biasa dengan gaya cool dan songongnya Reza berdiri di tengah lapangan. Berbeda dengan Dokter Gunawan yang nampak tenang seperti biasa. Terlihat mana karakter orang yang lebih dewasa."Fighting, dokter Gunawan!" Aku memberi semangat dokter Gunawan. Sementara Reza memasang muka masam karena aku tidak mendukungnya."Eh, aku suamimu, Julaiha eh alias Dik Nina!" Julaiha, Julaiha enak saja ngubah nama orang."Awas kalau kamu dukung dokter Gunawan," sambungnya lagi. Ngarep didukung ,aku mah ogah, bwang!Tiba-tiba satu persatu ada yang datang menyaksikan pertandingan mereka berdua. Posisi lapangan ini di dekat
***Permainan selesai, banyak yang minta selfie bareng dengan tuan Reza yang terhormat. Dokter Gunawan mendekatiku, tak lupa senyumnya lebar. Bagiku dia adalah pemenangnya meski aku sangat terpesona dengan penampilan Reza yang luar biasa menurutku."Suamimu memang luar biasa, dik," ucap dokter Gunawan mendekatiku."Bagaimana aku bisa mengalahkannya, dok. Sementara dokter saja sudah mengakui kehebatannya.""Tidak ada yang tidak mungkin terus lah berlatih. Bagiku dukungan dik Nina jauh lebih berarti dibanding dengan dukungan ratusan orang di lapangan ini." Wajahku seketika memerah, kupu-kupu sepertinya berterbangan dihatiku saat ini.Kami bercengkrama sekaligus menjadi penonton tuan Reza yang dikerumunin oleh para fans nya. Sesekali dokter Gunawan membuat lelucon yang membuat kami tertawa bareng."Pulang ...!" Tuan Reza seperti sedang kesal. Entah apa yang membuat dia menjadi kesal, tak mungkin kar
***Sore tiba. Reza terlihat sudah bersiap. Dengan kaos oblong senada dengan celana yang digunakan membuatku sedikit terpana. Kalau ada di desa yang wajah dan penampilannya seperti si Reza ini kupastikan satu desa heboh. Masalahnya dia kemarin hanya satu hari hanya pas di hari pernikahan saja, bahkan banyak yang tidak mengenal dengan siapa aku menikah. Begitu mendadak bagi semuanya."Kenapa mandang-mandang, tepesona, ya?" Idiih ni orang pede amat."Jangan lama-lama aku tidak menyukai yang berbau lelet." sifat arogannya muncul. Mungkin di kantor dia sering marah-marah.Aku bersiap dengan style yang kupunya. Aku tipe orang yang menggunakan pakaian yang nyaman untukku bukan yang mesti wow atau mahal. Dan tentunya yang cocok denganku. Kali ini aku sedikit memoles wajahku dengan paduan lipstik yang senada dengan pakaianku. Sebagai sarjana psikolog tentunya aku bisa membaca penampilanku sendiri apakah cocok atau tidak. Kugunakan tunik dan jilbab
"Nona Pricilia kenapa? Kenalkan aku istri dari Reza Adytama," ucapku yang membuat Pricilia tidak percaya. Matanya semakin berkaca-kaca."Maksudnya, Za." Pricilia langsung menoleh Reza. Dia terlihat tidak percaya ada Pricilia yang ikut ke mall sore ini."Nanti aku jelaskan, Cil," ucapnya seperti bingung mau jawab apa.Mereka saling menatap bingung dengan jawaban masing-masing."Tenang saja Nona, kami menikah karena dijodohkan," ucapku tak kalah cepat. Kulepas pelukan yang semula kulakukan. Melihat tingkah Reza yang seperti kaget karena ketahuan membuatku sedikit kesal. Dia memang layak untuk tidak diperjuangkan."Dokter mau beli apa ke mall?" tanyaku berbalik ke dokter Gunawan yang ada di belakang kami."Besok hari ibu, aku mau memberikan ibu kado istimewa.""So sweet sekali pak Dokter," balasku yang membuat dokter Gunawan tersenyum.Dengan kasar Reza menarikku kembali berjalan menyusuri mall. Dia seperti tidak terima aku berbal
"Nona, aku yang harusnya marah melihat kalian masih bercengkrama dengan begitu mesra. Aku menyesal memberikan akses Abang Reza duduk denganmu berdua di mall sebesar ini.""Itu menandakan bahwa aku adalah wanita spesialnya nona dari desa." Wah sepertinya dia mengibarkan bendera perang kepadaku."Itu tidak berpengaruh padaku Nona, dengan siapa tuan Reza terhormat bersama itu tidak masalah bagiku." Aku berlalu justru dia semakin mengejarku."Jangan sombong kamu nona dari desa!" Dia berteriak dan menarik jilbabku. Sangat kasar!"Apa salahku sebagai istri yang kau cintai suaminya, nona Pricilia!" Aku berteriak lebih keras agar semua orang tau jika dia ingin merebut suamiku."Salahnya kamu menikah dengan orang yang kucintai, nona dari desa!" Dia ikut berteriak seolah tidak takut jika dia dianggap perebut suami orang.Orang yang semula sibuk memilih baju, sekarang berkumpul melihat kami yang berseteru. Teriakan Pricilia membuat orang penasaran deng
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa