"Terima kasih perhatiannya, dok." Kepalaku masih pening, untuk bangkit saja rasanya susah.
"Aku berjanji dengan diriku, jika dek Nina masuk rumah sakit lagi. Kupastikan akan membawamu pulang." Aku dilema. Apa aku seperti memberi akses perasaan dengan dokter Gunawan. Aku pernah mendengar ungkapan yang menyatakan jika laki-laki sedang jatuh cinta kadang logika tidak digunakan. Dia akan melakukan semaunya tidak peduli bagaimana posisinya. Semoga dokter Gunawan bisa mengontrol diri walau bagaimana pun aku masih istri dari Reza."Mohon maaf pak Dokter, nona tidak boleh diganggu terlebih dahulu. Tuan melarangku memberi akses nona Nina untuk bertemu dengan orang lain dulu. Dia masih sangat butuh istirahat." Miss Dora tiba-tiba datang dan menyampaikan langsung ke dokter Gunawan. Meski aku sedikit bingung, tapi kubiarkan karena memang saat ini aku tidak ingin berfikir yang aneh-aneh dulu kepalaku sungguh pening.Dokter GunTatapan matamu, bahkan senyummu yang menawan entah mengapa membuat denyut jantungku berdetak dengan cepat. (Nina Humaira)****"Kenapa betah sekali di rumah sakit? Benar-benar meresahkan." Bukannya simpati malah mulai ajak perang dah ini orang."Ingat! kamu sebatang kara disini, bukannya kamu jago silat, kenapa kalah dengan Rania, ha?" Aku hanya diam, rasa rindu yang membuncah sedari tadi hilang begitu saja. Lagi-lagi dia memasang wajah sok cool tanpa rasa peduli sedikit pun.Miss Dora hanya diam melihat tingkah kami. Namun, Reza terlihat mengedipkan mata ke miss Dora. Mungkin dia berfikir miss Dora masih menyembunyikan status kami dihadapanku. Miss Dora ingin pergi, tapi kutahan."Tetap diam disini, Miss.""Tapi ...," ucap Miss Dora terhenti.
***Setelah melewati beberapa pemeriksaan dan hasilnya semua normal dan baik. Akhirnya aku hari ini dibolehkan pulang. Setidaknya semuanya masih baik-baik saja. Reza bagaimana? Semenjak kejadian itu dia tidak pernah mengunjungiku lagi. Mungkin sudah takdir kami yang menjadi pasangan sebatas di atas kertas."Ayo, Nona. Semua sudah siap hari ini kita pulang." Luar biasa Miss Dora yang selalu setia menemaniku."Iya, miss. Terima kasih atas semuanya, Miss." Jujur aku kangen ibu yang ada di desa. Melihat miss Dora benar-benar kerinduan ini tidak terbendung. Bagaimana kabar ayah dan ibu saat ini.Selama di mobil. Aku lebih diam, jujur aku kangen dengan ibu. Mengalami benturan yang kedua kalinya seperti ini benar-benar membuatku merindukan sosok ibu yang selalu setia menemaniku jika sedang sakit.Tak terasa sampai juga di rumah tuan besar Reza Adytama. Iya rumah suami yang harusnya menjadi rumah cinta, rumah yang selalu dirindu
Ibu dan ayah dijamu oleh Reza layaknya seorang tamu. Semua ART terlihat sangat sibuk. Tak kulihat Rania lagi di rumah ini bahkan beberapa pelayan juga diganti di rumah ini. Pengamanan juga aku lihat lebih diperketat. Begitu mudah bagi seorang Reza melakukan itu. "Perkenalkan saya Fatia, Nona. Yang akan menjadi asisten khusus Nona." Asisten bernama Fatia menemuiku meski aku cukup terkejut karena suasana di rumah ini sedikit berbeda. Aku merasa disambut seperti nyonya di rumah ini. Apa mereka sudah tahu hubunganku dengan Reza. Ah, sudahlah aku tidak mau berfikir dulu. Ayah dan ibu tidak bisa bermalam disini. Karena tetangga samping rumah akan mengadakan acara akad nikah anaknya yang dilangsungkan besok. Seperti biasa jika di desa jiwa gotong royongnya masih sangat kental. Semua berkumpul saling membantu apalagi ini tetangga paling dekat. "Nin, maafkan ibu yang tidak
Kulepas wortel yang kupegang sambil tarik nafas. Dia sudah berbalik menuju kamar."Sini ... aku pasangin," sahutku. Dia langsung berbalik. Bahkan dia begitu manis jika tersenyum.Aku mulai memasangkan dasi suasana yang begitu kaku meski jarak kami begitu sangat dekat. Deg-degan jangan ditanya. Entah mengapa yang biasa di dapur tidak ada yang datang untuk membuat sarapan. Entah kemana mereka yang biasa sudah ramai disini."Pagi ini aku ada meeting di puncak, doakan aku berhasil," ucapnya. Jarak kami begitu dekat membuat debaran yang tidak biasa."Jangan terlalu capek ...." Dia benar-benar garing ini orang. Dingin dan sangat kaku.Dasi sudah terpasang dan aku kembali untuk memotong wortel dan beberapa sayur. Beberapa ART sudah mulai lalu lalang. Tanpa berbasa basi kubiarkan dia masuk ke kamarnya. Aku tak ingin menghilangkan moodku yang sudah baik pagi ini dengan menyapanya."Mbak kenapa dapur ini tidak ada p
Aku masuk ke kamar ibu mertua. Tidak kulihat perawat yang menjaga. Ada jarum yang dipegang membuatku terkejut. Kulihat dia seperti ingin menusuk diri. Astagfirullah ..."Ibu ...." kutaruh nampan sarapan di meja kamarnya. Aku khawatir dia ingin menusuk diri. Namun, aku salah ternyata ibu mertua sedang berusaha untuk memasukkan benang kedalam jarum."Nina ....""Ibu sedang apa?" tanyaku."Mami sedang memasukkan benang ke jarum, Nin." Syukurlah."Panggil ibu, mami Nin." Aku mngangguk."Mami mau buat apa, biar Nina bantuin.""Tidak perlu ...." kulihat tangannya mulai gemetar, aku
Ini baru pertama kali aku menginjak kamarnya selama disini. Kamar yang luas seluas rumahku di desa. Fasilitas didalamnya benar-benar membuat gigit jari. Lemari baju, tempat sepatu belum lagi aksesoris yang dimiliki seperti yang ada di mall.Dia pulang dan seperti biasa dengan sok coolnya, meski kulihat ada beban di wajahnya. Apa gara-gara berita yang viral hari ini? Tapi tidak mungkin melihat dia yang tidak memberi kabar denganku hari ini.Dia mendekat."Ngapain?" tanyaku"Bukain lah dasiku, carikan aku baju yang kupakai. Itu tugas asisten." Idiih, ogah sebenarnya jadi asistennya. Tapi gajinya menggiurkan.Sekarang aku bingung ambil baju dia yang mana. Ini sih aku benar-benar merepotkan diri. Mana hati lumayan sakit dibuat karena gosip hari ini. Kutaruh baju yang menurutku cocok untuk di Reza pakai. Seperti suami istri beneran aku melakukan tugasku dengan baik meski aku mengambil upah
Dengan diimani olehnya hatiku merasa damai, tidak seperti bayanganku. Suaranya fasih, makhroj hurufnya benar dan tentunya dia mampu menjadi imam salatku hari ini. Dia memang orang yang sulit untuk diprediksi. Penuh misteri dan tentunya percaya diri. Setelah selesai salat magrib, kusiapkan makan malamnya. Meski sebelumnya kebiasaanku makan malam setelah isya. Namun, aku kasihan melihatnya pulang dalam keadaan lapar. "Makanan sudah siap, abang duluan nanti aku belakangan." "Kok bisa?" tanyanya kembali. "Kebiasaanku makan setelah isya." "Kalau begitu samaan," ucapnya lagi. Tu kan, mana tega aku melihatnya dalam keadaan lapar sampai menunggu selesai salat isya. "Iya, ayo kita samaan." Entah mengapa aku kasihan. ini aku sebagai asisten atau sebagai istri yang begitu peduli dengannya. Kami menuju meja makan khusus untuk kami berdua. Entah sejak kapan dapur ini disulap hanya untuk kami saja. Tuan Reza mem
Jika bisa kumelangkah jauh aku akan pergi dari dirimu. Memberikan ruang waktu untukmu berfikir dan tak ingin menjadi beban dalam hidupmu.***"Siapa yang mengirim pesan?" tanyanya yang penasaran."Aku hanya asistenmu, tuan eh abang. Jadi hal privasi tidak perlu kau tau." Aku lebih baik keluar menuju kamarnya Fatia."Mau kemana?""Mau tidur di kamar yang lain. Apa semua asistenmu tidur denganmu tuan? Tidak 'kan?""Kamu istriku jadi wajar satu bed.""Maksud tuan? Istri yang hanya nama saja. Lalu bagaimana berita hari ini? Aku hanya menanyakan hakku sebagai istri saja tuan begitu marah.""Apa perlu itu dijelaskan, dik?" ya ampun ini orang, jangan bilang dia tidak pernah punya hubungan dengan perempuan lain. 
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat