Daniel ada di rumah sakit menunggu Jia mendapat perawatan dari dokter. Dia mondar-mandir di depan ruang perawatan, tidak berani masuk karena takut mengganggu pengobatan. “Dani.” Daniel menoleh saat ada yang memanggil. Dia melihat sang kakak dan kakak iparnya datang. “Kak.” Alina terlihat begitu cemas. Dia langsung mengecek tubuh sang adik. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Alina. “Aku baik-baik saja, Kak.” Daniel malah tersenyum melihat Alina mencemaskan dirinya. “Aku sedang mencemaskanmu, kenapa kamu malah senyum-senyum?” Alina gemas sampai memukul lengan adiknya itu. Daniel hanya tersenyum seraya mengusap lengan yang terkena timpuk. “Bagaimana kondisi Jia?” tanya Aksa. Daniel langsung mode serius ketika mendengar pertanyaan Aksa. “Dokter masih memeriksanya. Sepertinya cukup parah mengingat mobil yang membawanya terbalik di jalanan,” jawab Daniel. Alina sangat syok. Dia sampai menutup mulut. Aksa mengangguk, mereka akhirnya menunggu sampai dokter keluar dari ruang pemerik
Daniel dan yang lain mengikuti Jia yang dipindah ke ruang inap. Demi mengamankan Jia, Aksa meminta bantuan dari perusahaan pengawalan untuk menjaga kamar Jia.“Paman bilang kalau Pak Alex dan Anya untuk sementara dibawa ke apartemennya,” kata Daniel setelah membaca pesan dari Restu.“Anya pasti sangat syok melihat semua kejadian ini,” ujar Alina.“Untungnya dia bisa kabur saat mau ditangkap, jadi aku juga tahu kalau Jia diculik suami bajingannya itu.” Daniel begitu emosi saat ingat Edwin yang berusaha mencekik Jia padahal kondisinya begitu lemas.“Kami akan melihat kondisi Anya, kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri, kan?” tanya Alina.“Di luar sudah ada pengawalan, jadi kamu tidak perlau khawatir,” imbuh Aksa.Daniel mengangguk-angguk. Dia lalu menatap Jia yang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius.Alina dan Aksa saling pandang. Mereka merasa ada sesuatu dari sikap Daniel.Di luar. Bams menolak untuk rawat inap, sehingga hanya mendapat obat jalan dan diminta kontrol satu mingg
Daniel baru saja mengakhiri panggilan saat melihat Jia menggerakkan kelopak mata.“Kamu bisa mendengarku?” tanya Daniel sedikit membungkuk seraya memperhatikan kelopak mata Jia yang hendak terbuka.Daniel memperhatikan Jia yang mengangguk-angguk. Dia lega karena Jia merespon ucapannya.Daniel sabar menunggu sampai Jia benar-benar sadar karena tahu jika pengaruh obat bius pasti tidak cepat hilang.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Jia membuka mata dengan sempurna. Daniel masih duduk sambil terus memperhatikan Jia.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Daniel.Daniel melihat Jia menggeleng pelan.“Di mana Anya dan Papa?” tanya Jia dengan suara lemah. Perlahan dia menoleh pada Daniel.“Mereka aman. Sekarang berada di apartemen pamanku,” jawab Daniel agar Jia lega.Jia bernapas lega.Daniel menatap Jia, dalam kondisi seperti ini pun Jia masih memikirkan orang lain.“Bagaimana dengan Edwin?” tanya Jia. Dia cemas dan takut jika Edwin masih berkeliaran lalu membahayakan ayah dan putrinya.“Ka
Naya menuang segelas air putih, lalu menyodorkannya ke Bams.“Minum obatmu, lalu istirahat. Tidak usah memikirkan hal lainnya, lagi pula penjahatnya sudah ditangkap,” ucap Naya masih menyodorkan segelas air putih dan obat yang harus diminum Bams.Bams tak segera mengambil gelas dan obat itu. Dia malah terus memandangi wajah Naya seraya tersenyum kecil.“Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ini obatnya. Naya mendekatkan gelas dan obat itu agar Bams segera menerimanya.“Nay, kamu serius menyukaiku?” tanya Bams masih seperti mimpi.Naya menghela napas Bams kembali membahas itu.“Tidak, aku berkata seperti itu agar kamu cepat sembuh saja,” elak Naya.Ekspresi wajah Bams berubah. Dia mengambil obat dan segelas air putih dari tangan Naya, lantas meminum obat itu dalam sekali tenggak.Naya menahan senyum melihat Bams kesal. Pria matang ini sangat lucu ketika sedang kesal.“Aku menyukaimu, tapi jika kamu juga benar-benar menyukaiku,” ucap Naya setelah Bams selesai minum.Bams diam menatap pada
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
“Mau sampai kapan kita nampung Kak Alina? Aku tuh nggak bebas. Mau apa-apa ngerasa nggak enak, mau beli ini takut diceramahi, mau jalan-jalan takut dinasihati. Lama-lama aku tuh nggak nyaman ada dia di sini. Kakak kamu itu sudah berumur kenapa nggak nikah? Jadi beban saja! Pantas saja Tuhan belum kasih kita momongan, soalnya kita masih ada beban Kak Alina!”“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Bukankah dulu sebelum kita nikah, kamu setuju serumah dengan Kak Alina?”Alina berhenti mengulurkan tangan menyentuh gagang pintu saat mendengar suara adik iparnya. Dia mendengar iparnya mempermasalahkan dirinya tinggal di sana lagi. Ini bukanlah yang pertama kali Alina mendengar iparnya berdebat dengan sang adik.“Mau bagaimanapun, Kak Alina itu kakakku, Karin. Dia yang membesarkan dan bertanggung jawab kepadaku sampai aku besar. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, apalagi membiarkannya hidup sendirian di luaran sana.”Alina masih berdiri termangu di depan pintu, mendengarkan sang adik yang
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum
Naya menuang segelas air putih, lalu menyodorkannya ke Bams.“Minum obatmu, lalu istirahat. Tidak usah memikirkan hal lainnya, lagi pula penjahatnya sudah ditangkap,” ucap Naya masih menyodorkan segelas air putih dan obat yang harus diminum Bams.Bams tak segera mengambil gelas dan obat itu. Dia malah terus memandangi wajah Naya seraya tersenyum kecil.“Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ini obatnya. Naya mendekatkan gelas dan obat itu agar Bams segera menerimanya.“Nay, kamu serius menyukaiku?” tanya Bams masih seperti mimpi.Naya menghela napas Bams kembali membahas itu.“Tidak, aku berkata seperti itu agar kamu cepat sembuh saja,” elak Naya.Ekspresi wajah Bams berubah. Dia mengambil obat dan segelas air putih dari tangan Naya, lantas meminum obat itu dalam sekali tenggak.Naya menahan senyum melihat Bams kesal. Pria matang ini sangat lucu ketika sedang kesal.“Aku menyukaimu, tapi jika kamu juga benar-benar menyukaiku,” ucap Naya setelah Bams selesai minum.Bams diam menatap pada
Daniel baru saja mengakhiri panggilan saat melihat Jia menggerakkan kelopak mata.“Kamu bisa mendengarku?” tanya Daniel sedikit membungkuk seraya memperhatikan kelopak mata Jia yang hendak terbuka.Daniel memperhatikan Jia yang mengangguk-angguk. Dia lega karena Jia merespon ucapannya.Daniel sabar menunggu sampai Jia benar-benar sadar karena tahu jika pengaruh obat bius pasti tidak cepat hilang.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Jia membuka mata dengan sempurna. Daniel masih duduk sambil terus memperhatikan Jia.“Mau kupanggilkan dokter?” tanya Daniel.Daniel melihat Jia menggeleng pelan.“Di mana Anya dan Papa?” tanya Jia dengan suara lemah. Perlahan dia menoleh pada Daniel.“Mereka aman. Sekarang berada di apartemen pamanku,” jawab Daniel agar Jia lega.Jia bernapas lega.Daniel menatap Jia, dalam kondisi seperti ini pun Jia masih memikirkan orang lain.“Bagaimana dengan Edwin?” tanya Jia. Dia cemas dan takut jika Edwin masih berkeliaran lalu membahayakan ayah dan putrinya.“Ka
Daniel dan yang lain mengikuti Jia yang dipindah ke ruang inap. Demi mengamankan Jia, Aksa meminta bantuan dari perusahaan pengawalan untuk menjaga kamar Jia.“Paman bilang kalau Pak Alex dan Anya untuk sementara dibawa ke apartemennya,” kata Daniel setelah membaca pesan dari Restu.“Anya pasti sangat syok melihat semua kejadian ini,” ujar Alina.“Untungnya dia bisa kabur saat mau ditangkap, jadi aku juga tahu kalau Jia diculik suami bajingannya itu.” Daniel begitu emosi saat ingat Edwin yang berusaha mencekik Jia padahal kondisinya begitu lemas.“Kami akan melihat kondisi Anya, kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri, kan?” tanya Alina.“Di luar sudah ada pengawalan, jadi kamu tidak perlau khawatir,” imbuh Aksa.Daniel mengangguk-angguk. Dia lalu menatap Jia yang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius.Alina dan Aksa saling pandang. Mereka merasa ada sesuatu dari sikap Daniel.Di luar. Bams menolak untuk rawat inap, sehingga hanya mendapat obat jalan dan diminta kontrol satu mingg
Daniel ada di rumah sakit menunggu Jia mendapat perawatan dari dokter. Dia mondar-mandir di depan ruang perawatan, tidak berani masuk karena takut mengganggu pengobatan. “Dani.” Daniel menoleh saat ada yang memanggil. Dia melihat sang kakak dan kakak iparnya datang. “Kak.” Alina terlihat begitu cemas. Dia langsung mengecek tubuh sang adik. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Alina. “Aku baik-baik saja, Kak.” Daniel malah tersenyum melihat Alina mencemaskan dirinya. “Aku sedang mencemaskanmu, kenapa kamu malah senyum-senyum?” Alina gemas sampai memukul lengan adiknya itu. Daniel hanya tersenyum seraya mengusap lengan yang terkena timpuk. “Bagaimana kondisi Jia?” tanya Aksa. Daniel langsung mode serius ketika mendengar pertanyaan Aksa. “Dokter masih memeriksanya. Sepertinya cukup parah mengingat mobil yang membawanya terbalik di jalanan,” jawab Daniel. Alina sangat syok. Dia sampai menutup mulut. Aksa mengangguk, mereka akhirnya menunggu sampai dokter keluar dari ruang pemerik
Bams lengah karena berambisi menangkap pria itu. Saat melihat belati mengarah padanya, Bams tidak sempat menghindar sampai akhirnya ujung belati menggores lengannya.Bams memekik seraya memegangi lengan yang tergores belati, tetapi luka sekecil itu tidak akan membuatnya tumbang. Bams menendang tangan pria itu, membuat belati yang dipegang terlempar ke aspal jalanan.“Beraninya kamu menyerang, hah!” Bams mengepalkan telapak tangan, lantas menghajar pria itu.Saat itu, security area perumahan elite itu datang karena mendengar suara tembakan. Mereka mengenal Bams, sehingga langsung meringkus pria yang ditangkap Bams.“Tolong tahan pria ini selagi menunggu polisi datang,” pinta Bams.“Baik.” Security itu mengikat kedua tangan pelaku ke belakang.“Tanganmu terluka.” Security melihat jaket yang dipakai Bams sobek dan ada noda merah di sana.Bams melirik ke lengan, tetapi dia menggeleng seolah tak masalah. Dia memilih menghubungi polisi, lalu kembali ke rumah untuk melihat kondisi yang lain.
Bams masih menatap Naya, menunggu apa yang tidak jadi Naya ucapkan.“Kamu tadi mau bilang apa?” tanya Bams memastikan.Naya bersiap mengelak, tetapi ternyata Bams lebih dulu menengok pada ponsel yang berdering.“Halo.” Bams menjawab panggilan dari anak buahnya yang berjaga di luar.“Ada mobil yang parkir di dekat rumah, mobil itu tampak mencurigakan karena seperti ada aktivitas di dalam,” ujar anak buah Bams dari seberang panggilan.Tatapan mata Bams menajam mendengar laporan anak buahnya. “Jangan bertindak gegabah. Aku akan mengeceknya langsung,” perintah Bams.Naya masih memperhatikan Bams, sebelum akhirnya pria itu mengakhiri panggilan.“Ada apa?” tanya Naya saat melihat ekspresi dingin di wajah Bams.“Tetaplah di dalam bersama Arlo, kunci pintu dan beritahu semua pelayan untuk tak keluar lebih dulu, jangan buka pintu jika bukan aku yang mengetuk!” perintah Bams.Naya langsung bisa menebak apa yang terjadi. Dia lantas mengangguk. Seumur hidup, baru kali ini Naya merasakan keteganga