"Kalau memang tidak mau ada aku di sini, aku akan pergi dan setidaknya kamu harus mengurus dirimu sendiri." Simon masih saja menggerutu."Iya." Amanda memunggunginya dan tidur memeluk guling yang empuk."Sini kamu!" Simon mendekat dan merangkulnya dari belakang.Amanda ingin sekali berteriak dan pergi dari sini jika dia memiliki opsi lain untuk tempat tinggal.Meski semua kebutuhan tercukupi dan dia tak diganggu siapapun, tiba-tiba saja dia merindukan suasana tinggal yang tak hanya sendirian.Dia tak mau begini selamanya apalagi sekarang di tengah kondisi kehamilan, dia memiliki emosi yang tak stabil dan mudah marah."Jangan terus menerus terpuruk dengan dendam atau cintamu, Amanda. Dengarkan dan rasakan tendangan anakmu di dalam sana. Dia ingin kamu bahagia." Bisik Simon.Air mata itu tak terasa meleleh. Apakah dia sekarang sedang mendapatkan hukuman karena semua hal yang sebenarnya ingin dia dapatkan, dia berharap semua dilakukan oleh suaminya sendiri.**"Mana Ronald?" Di rumah, Ro
Ronald memacu mobilnya seperti seekor kuda liar. Tak menghiraukan jajaran mobil yang mengklakson serta sepeda motor yang tak jarang memaki dan menyumpahinya. Dia menyerobot sana sini demi secepatnya sampai di tempat tujuan.Malam sudah mulai menua. Tapi mata Ronald batal terpejam.Sebenci-bencinya dia pada wanita itu, nyatanya rasa rindu itu masih hidup dan membuatnya tergerak untuk segera meninggalkan rumah demi melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.Persis seperti yang ada di foto tadi. Ronald menemukannya.Meski ragu, dia akhirnya memencet bel yang tertempel di pagar depan.Sengaja dia tak memakai mobil yang biasa dia kendarai agar tak mudah dikenali.Lampu yang awalnya padam, tiba-tiba saja menyala.Tangan Ronald gemetar. Belum pernah dia merasa se-nervous ini dalam hidup. Walau saat dia closing tender triliunan, dia merasa biasa saja.Tapi... kenapa sekarang justru dia merasa ketakutan!Sosok itu k
"AMANDA! RONALD!"Hal yang ditakutkan Amanda terjadi juga. Simon datang di saat yang tak terduga, atau lebih tepatnya di saat yang tak diinginkan."APA YANG DIA LAKUKAN DI SINI?"Hampir saja genteng rumah mungil itu rontok ketika Simon berteriak sekuat tenaga. Suaranya makin membahana karena dia bersuara di malam hari."Si-Simon?" Amanda ketakutan dan segera menghamburkan tubuhnya ke dada lelaki yang sudah memberikan atap padanya untuk berlindung.Meski Ronald masih menjadi lelaki paling penting dalam hidupnya, namun dia harus sadar diri kalau Ronald tak benar-benar menginginkannya.Amanda sudah tahu dengan jelas kalau Simon-lah yang benar-benar mencintainya. Meski hatinya tak merasakan hal yang sama.Lambat laun dia menyadari apa yang dia rasakan pada kakak iparnya itu hanyalah sebatas hawa nafsu belaka. Ia hanya ingin dimengerti dan dicintai.Selebihnya, dia baru menyadari sekarang bahwa hatinya hanya untuk Ronald, meski semua sudah terlambat."Amanda, apa kamu sudah lupa apa yang
Luka batin yang dialami oleh Amanda, rasanya sudah lebih dari rasa kesanggupannya sendiri.Memiliki orang tua yaitu sosok ibu yang berat sebelah dan selalu memenangkan saudara lelaki, dia harus berhati-hati dalam bersikap. Biasanya seorang anak perempuan akan dekat dan suka curhat pada ibunya. Kini, sosok itu sudah tak ada lagi dalam daftar orang yang akan dicarinya saat terjadi masalah yang berarti."Tidak mau tahu bagaimana cara kamu mendapatkan uang itu, yang jelas..keluarga suami kamu kaya raya. Uang segitu nggak akan mengurangi kekayaan mereka!" Kalimat ibunya setiap kali berdiskusi, tak pernah dengan mudah bisa dia lupakan.Nada tinggi dan bentakan dari kakaknya juga. "Kamu sejak nikah sama bos kaya itu benar-benar lupa diri ya Amanda. Kamu lupa sama kakakmu sendiri. Kamu sudah hidup keenakan, makanya saat kami mintai tolong, kamu selalu menolak keberatan!"Apa kalimat itu pantas keluar dari mulut seseorang yang katanya saudara? Amanda menggigit kuku-kukunya, mengingat perlaku
Amanda berharap langkah yang akan dia ambil akan menjadikan masalah ini tak terus menerus menerpanya.Perkara siapa ayah anak yang dikandungnya akan menentukan ke mana arah kehidupannya nanti akan berlanjut.Jikalau janin yang dikandungnya adalah anak Simon, maka dia tak akan banyak pilihan lagi selain mengabdikan seumur hidupnya pada cinta yang salah itu.Dan mungkin saja, bila memang Simon adalah ayah dari anaknya, itu sama dengan Tuhan menghukumnya di sisa umurnya tinggal di muka bumi. Perlahan kini cinta dan nafsu yang dia rasakan terhadap Simon, mulai memudar.Kini jika dia ditanya, di hatinya Amanda berharap bahwa anak ini adalah miliknya dengan Ronald. Itu saja."Jadi, berapa lama hasilnya akan keluar, Dok?" Amanda gusar membenarkan posisi duduknya saat berkonsultasi pada dokter kandungan yang biasa memeriksanya."Hmmm... saya pikir, lelaki yang biasa mengantarkan Ibu ke sini adalah bapak dari janin yang ada di kandungan Ibu." Komentar dokter yang sebenarnya netral itu terasa
Dengan tangan yang masih gemetar, Amanda membuka hasil tes DNA yang dia lakukan untuk anaknya yang bahkan belum terlahir ke dunia ini.Bagaimana dengan hasilnya?"Silakan diperiksa dulu, Ibu Amanda." Tutur kata pihak lab yang melaksanakan uji DNA."Iya, terima kasih..."Simon yang menunggu cukup lama, dia tak sabar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan susah payah bertanya di sana-sini, akhirnya dia menemukan ruangan tempat Amanda bertemu dengan dokter dan beberapa orang petugas yang menjalankan tesnya.Awalnya Simon dilarang untuk masuk, namun dia menerobos pintu dan masuk begitu saja."Lho, Bapak ini siapa? Bapak tidak boleh masuk sembarangan ke sini!"Petugas itu menyuruhnya keluar.Namun, Amanda mencegah. "Tidak perlu. Biarkan dia tetap di sini..."Rupanya Amanda sudah membuka amplop itu dan di saat huru-hara terjadi di luar ruangan, dia telah mengetahui hasilnya."Tapi, Ibu Amanda..selain yang berkepentingan, dilaran masuk ke sini." Tukas petugas yang lain."Tak masalah.
"Selidiki apa yang Ronald dan Mila rahasiakan padaku." Titah Mama Ronald pada salah satu pembantu senior kepercayaannya."Baik, Nyonya!" Anggukan kepalanya sudah cukup membuatnya menurut dan mengerti apa yang harus dikerjakan."Ma, kamu ini ngurusin apa sih sebenarnya?" Suaminya ikut bicara saat pembantu mereka berlalu."Sudahlah, Pa. Kamu nggak usah ikut-ikut. Aku hanya tidak mau Ronald dan Mila merahasiakan hal yang sepertinya penting. Oh iya, kemarin Papa cerita ketemu sama Simon di parkiran rumah sakit Ibu dan Anak. Bagaimana bisa itu?" Mamanya bertanya pada sang suami yang sedang menyeruput air putih di gelas."Ya itu, aku mau tanya dia kenapa di situ, malah kabur buru-buru masuk ke dalam. Tapi dia juga belum sempat melihatku sih, Ma. Jadi... ya begitulah." Suaminya menjawab santai.Dengan naluri seorang istri yang punya keakuratan tinggi, mama Ronald lantas bertanya balik kepada suaminya."Papa ngapain ke sana? Itu kan jam kerja harusnya..Kenapa juga Papa ke RSIA?"Suaminya gela
"Apa?" Ronald merasa dikejutkan dengan fakta baru ini.Anak Simon? Dipandanginya Amanda lekat-lekat. Dugaannya selama ini serta informasi dari orang-orang sekitarnya rupanya benar. Jauh sebelum mereka berpisah, Amanda sudah ada affair dengan Simon.Ronald tak kuasa menahan amarah ketika tahu, kalau saat menikah dengannya, Amanda sudah berbagi ranjang dengan orang lain.Dan itu, adalah dengan saudara tirinya sendiri."Keterlaluan kamu, Amanda! Sekarang aku paham... memang kalian ini sangat serasi!" Itu saja yang diucapkan oleh Ronald.Papanya berusaha tetap tenang dan tak terbawa suasana."Ronald, kami sudah tahu kalau sebenarnya..kamu dengan Amanda hanya menjalani pernikahan kontrak yang sebenarnya memang akan berakhir sebelum kalian bercerai kan?"Mendengar ini, Ronald diam seribu bahasa.Lelaki berwajah tampan itu khawatir dan mulai berpikir, apa jadinya jabatan serta posisinya di perusahaan kalau ketahuan melakukan nikah kontrak?Mau tidak mau, dia harus menyumpal mulutnya sendiri
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid