"Apa maksud kamu mengirimkan pesan itu padaku, Simon?" Terang saja akhirnya Amanda menelpon balik kekasih gelapnya itu.Rasanya sekarang dirinya serba dipersalahkan dan disudutkan.Justru sepulang honeymoon di saat hubungan dirinya dengan sang suami berangsur-angsur membaik, dirinya dibuat memiliki perasaan bersalah begini."Aku hanya menanyakan hal yang memang hakku untuk bertanya padamu. Aku ingin tahu. Itu saja!" Simon nampak menggenggam erat handle pintu kantornya yang baru saja dia buka."Itu bukan urusanmu, Simon. Kuharap kita bisa bersikap dewasa dan setelah ini tidak lagi berpikir untuk melanjutkan...hubungan terlarang kita!" Amanda berbisik pelan.Meskipun itu dia ucapkan di dalam kamarnya sendiri dan tak ada seorangpun yang sedang bersamanya, tetap saja dia harus selalu waspda.Karena dia menyadari kalau di rumah ini, dindingpun berbicara."Lalu... setelah kamu berbaikan dengan suamimu, kamu membuangku! Begitu kan yang kamu maksud? Kamu sama saja dengan wanita murahan lainny
Semalaman Ronald memikirkan strategi apa yang akan dia lakukan untuk membalas perlakuan Amanda dan Simon yang tega padanya. Ini sudah keterlaluan. Dia tak menyangka rasa suka Simon yang dulu dia deteksi akan menjadi sebesar ini dan itu ditanggapi oleh istrinya. Sengaja Ronald tak berada di rumahnya malam ini agar suasana hatinya tak semakin terpuruk."Sedang mikirin apa sih? Kok kelihatan serius gitu..." Seorang wanita berpakaian serba terbuka mendatanginya. Aroma parfumnya membuat perhatian Ronald pada minuman yang sedang diamatinya itu buyar seketika. "Oh kamu?" Ronald tak menyangka akan bertemu dengan wanita ini lagi."Hmmm, kukira kamu sudah melupakan aku, Ronald." Tangan halusnya sedang bergerilya untuk mengelus pundak dan leher pria berkarisma itu.Tak dia ragukan lagi, Ronald memang sedang ada masalah dan tampaknya bukan sekedar masalah biasa."Mana bisa aku melupakan sosok calon kakak iparku?" Ronald tersenyum saja.Apa dia sebaiknya membalas dendam dengan tidur bersama Za
"Apa yang dia lakuan! Sudah sesiang ini, kenapa dia belum bangun juga.." Mama Ronald tampak menahan amarah saat mendapat sindiran dari anaknya tadi di meja makan."Mana si Helen?" Tanyanya pada pembantu yang biasanya melayani Helen."Non Helen memang bangun di atas jam sembilan, Nyonya. Setelah itu dia akan renang lalu sarapan..." Jawabnya kaget saat tiba-tiba saja Nyonya besar melakukan inspeksi.Benar saja saat pintu kamarnya dibuka, Helen masih dalam kondisi tertidur. Kamarnya masih gelap dan kordennya masih tertutup dengan sempurna.Di sebelahnya sudah terdapat pakaian yang berserakan. Saat dia membuka selimut gadis itu, tak nampak sehelai benangpun menutupinya."Ya Tuhaaan!" Mama Ronald berteriak karena terkejut.Bagaimana bisa seorang perempuan yang belum menikah berprilaku seperti ini.Setelah beberapa bulan bersama, baru pertama kalinya dia mendapati Helen seperti ini. Tanpa banyak pikir panjang lagi, dia meraih handphone mili
"Amanda, keluar kamu!" Mertuanya bersuara lantang. Lantas menggedor pintu kamar yang sengaja ia kunci agar Ronald tak bisa masuk tanpa sepengetahuannya. "Iya, bentar Ma..." Amanda berjalan ke pintu dan kemudian membukanya dari dalam kamar. Ditemani dua orang pembantunya, mertuanya itu lantas tak menunda lagi untuk masuk ke dalam kamar dan mendudukkan menantunya. "Ada apa ya Ma?" Amanda masih tak mengerti kenapa ketiga orang yang masuk ke ruang tidurnya semua memiliki ekspresi yang sama. Marah, terkejut dan seolah dia telah melakukan sebuah kesalahan. "Jangan pura-pura lugu. Kamu munafik!" Mama mertunya menunjuk-nunjuk wajahnya. "Apa salahku, Ma?" Melihat Amanda yang nampak innocent , membuat sang Mama makin menjadi-jadi. Dia merasa menantunya sudah tak tahu diri. "Di depan kami, kamu terlihat seperti malaikat yang suci dan tulus... tapi di belakang, huh... kamu mau juga ya rupanya nidurin saudara suamimu! Wanita macam apa kamu ini, Amanda!?" Hampir saja mertuanya men
"Siapa. katakan padaku? Biar aku bisa memperkenalkan diri lebih baik pada orang yang belum kenal siapa aku!" Ronald memang sedang emosi.Tadi dia baru saja dipanggil oleh Mamanya untuk segera pulang. Sebenarnya tak ingin mempercayai kedekatan yang sudah lama diendusnya, kini dia harus benar-benar melihat dan mendengarnya sendiri.Saat tidak ada dirinya, Simon tampak begitu mudahnya berdekatan dengan istrinya, tak bisa dia bayangkan bagaimana saat mereka hanya berdua saja di dalam rumah.Apalagi saat dia tak sengaja masuk ke kamar tanpa memberi tahu Amanda lebih dulu, Simon terlihat sangat dekat dengan istrinya sekarang."Ronald, kamu pulang?" Simon gelagapan. Lelaki berpostur atletis itu tak menyangkal kalau dirinya seperti sedang tertangkap basah."Iya. Kenapa? Apa kamu tidak suka kalau aku pulang sekarang sehingga niatmu tak bisa kesampaian?" Tatapan mata itu mengarah tajam pada Amanda meski kalimatnya sedang ditujukan pada Simon."Mas... Maksudku, Pak Ronald.. aku bisa jelaskan!"
Amanda masih meringkuk di sofa yang kini dia gunakan sebagai satu-satunya sandaran tubuhnya."Makanlah dulu. Jangan egois. Anak yang kamu kandung butuh makanan juga darimu." Simon sudah kembali dari luar.Setelah tadi mereka beradu mulut di halte, rupanya Simon membawa Amanda ke sebuah perumahan kecil namun tampaknya memang sudah disiapkan dan direnovasi.Meski ukuran carport hanya muat untuk satu mobilnya, setidaknya ini adalah sebuah hunian yang akan membuat dirinya nyaman dan merasa aman.Saat ini di hadapannya sudah ada sebuah kotak berisi makanan dan beberapa buah-buahan segar yang masih terbungkus plastik berlogo supermarket ternama."Aku harap kamu tak lagi berpikir soal orang-orang yang sebenarnya tak terlalu peduli padamu. Mulai hari ini, kamu harus fokus pada anakmu dan dirimu saja." Simon menambahkan kalimat untuk menguatkan wanita yang semakin ia cintai itu.Simon paham kalau saat ini, dia memang sangat ingin memeluk Amanda. Tapi
"Sejak kapan kamu datang?" Amanda bangun saat setelah ia tak tahan untuk tertidur.Begitu lelapnya hingga tak menyadari kalau sebentar lagi pagi."Aku datang semalam." Simon menjawab dalam keadaan masih menutup matanya.Amanda sudah menggeser tubuhnya agar sedikit berjauhan. Dia merasa sedikit risih saat harus bersentuhan kulit dengan kulit.Lain halnya jika Ronald yang melakukan ini, tentu aku akan membiarkan dia melakukannya sepanjang hari.Amanda bersuara pada dirinya sendiri.Simon tahu kalau wanita itu tidak nyaman dengan dekatnya jarak."Apa kamu mau sarapan?" Tanya Amanda yang semalam ingat melihat roti tawar ada di dalam kulkas.Simon juga sudah menyiapkan pemanggang roti berukuran kecil di sini."Boleh jika itu tidak merepotkanmu, Amanda." Simon cepat-cepat memakai kembali bajunya dan masuk ke kamar mandi.Dia mencuci mukanya dengan air dingin. Barulah dia sadar kalau
"Apa yang kamu lakukan di sini?"Simon ingin melompat saat mendengar mamanya menyapa dari arah yang tak dia sangka."Ma, oh... aku..." Simon seumur-umur bukanlah tipikal seorang anak yang rebelious, dia adalah anak yang penurut."Iya, apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa mengendap-endap begitu kamu?" Imbuh mamanya lagi.Sebuah alasan tiba-tiba terbetik di benaknya."Aku sedang mencari Mila, Ma. Lyudmila biasanya sembunyi di kamar Ronald, kan?" Untunglah dia punya alasan logis yang bisa dia utarakan.Setidaknya ini akan menutup kecanggungan yang ada di antara mereka."Iya, kamu betul. Anak itu biasanya berada di kamar ini bersama Amanda." Mamanya menatap kamar yang sedang tertutup dan kosong tak berpenghuni karena Ronald masih di kantor.Dia jadi ingat akan kebaikan Amanda pada cucu semata wayangnya. Tapi, dia tak boleh goyah karena tekadnya sudah bulat untuk membasmi hama-hama di rumahnya."Oke, Ma, kalau beg
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di