""Bu ... apakah di antara kalian ada yang pernah melihat gadis ini di sekitar sini?"Bima bertanya sambil menunjukkan foto Jenny di ponselnya, kepada sekelompok ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan sebuah rumah.Setelah mengantar Budi ke bengkel mobil, dia dan Budi langsung berkeliling mencari informasi tentang Jenny.Kelima ibu-ibu itu langsung memerhatikan foto tersebut dengan seksama dan penuh antusiasme. Beberapa dari mereka menggelengkan kepala, sementara yang lain tampaknya tidak yakin."Saya rasa, saya pernah melihatnya," kata salah satu ibu, "tapi itu sudah beberapa hari yang lalu.""Ibu melihatnya? Di mana?""Saya lupa, Pak. Saya juga hanya melihatnya selewatan saja.""Oohh... gitu." Bima merengut lesu. Namun meskipun kecewa, dia mengucapkan terima kasih dan melanjutkan pencariannya.Dia tahu dia tidak boleh menyerah. Jenny perlu ditemukan, dan dia akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menemukannya."Bagaimana, Bud?" tanya Bima saat Budi melangkah menghampirinya. Pr
"Kamu kenapa, Jen??" tanya Sri, yang baru saja memasuki ruangan, menatap wajah Jenny dengan ekspresi penasaran dan kening yang berkerut. "Aku ingin masak mie, Bu... Rasanya pasti enak makan mie di cuaca dingin seperti ini. Tapi sayang, stok mie kita ternyata sudah habis," jawab Jenny dengan nada sedikit kecewa. "Eh, benarkah, Jen?" Sri tampak terkejut, lalu dia bergegas untuk memeriksa lemari dapur. Niatnya ke dapur kebetulan juga untuk mengajak Jenny memasak mie. "Iya, Bu." "Ya sudah, Ibu akan membelinya dulu ke toko sembako. Kamu mau mie rasa apa? Cek telur juga, mungkin sudah habis, nanti Ibu bisa beli sekalian." "Telur masih ada di kulkas, Bu. Tapi, biar aku saja yang pergi membeli. Kan aku yang mau masak mie." "Ibu juga mau masak mie, Jen. Jadi, biar Ibu saja yang pergi membeli, ya?" "Ih, jangan, Bu!" Jenny menolak dengan tegas. "Biar aku s
Wanita penjaga kasir menatap foto tersebut sejenak, kemudian keningnya berkerut saat dia menyadari bahwa foto Jenny sangat mirip dengan foto perempuan yang dicari oleh Bima."Lho, kok mirip ya? Apa mungkin Jenny ini adalah perempuan yang sama, yang dicari oleh Pak Bima?" gumamnya sendiri, namun Sri dapat mendengarnya.Hanya saja dia tidak mengerti maksudnya dan bertanya dengan rasa penasaran, "Perempuan yang dicari Pak Bima?? Apa maksud, Mbak?"Wanita penjaga kasir itu mengangguk. Kemudian dia menjawab dengan suara ragu, "Maaf, Bu. Saya hanya mencurigai bahwa foto Jenny ini mirip dengan foto perempuan yang sedang dicari oleh seorang pria bernama Bima. Dia datang ke toko sore tadi lalu mencari perempuan yang tampaknya mirip dengan foto ini."Sri merasa bingung dan khawatir. Tapi jika dingat-ingat, nama Bima sepertinya tak asing ditelinga."Pak Bima?? Apa Pak Bima ini majikannya Jenny? Suami dari Bu Raya??""Ibu kenal sama Pak Bima?" tanya wanita kasir. Sri menggeleng. "Beliau bilang sua
"Pak Bima!! Siapa yang Bapak bawa?" teriak Budi dari belakang, berlari mengejar Bima yang sudah sampai di depan rumah kontrakan. Bima menoleh saat membuka pintu mobilnya, memberi Budi kesempatan untuk melihat siapa yang dia bawa. Dan saat Budi melihat Jenny, matanya membulat karena kaget. "Eh, Jenny??" Budi merasa terkejut melihat Jenny dalam keadaan tak sadarkan diri. "Bapak menemukan Jenny di mana? Kenapa dia pingsan, Pak?" "Bud, kita bicara nanti. Sekarang, bereskan semua barang-barang kita di rumah kontrakan. Kita harus segera pulang ke Jakarta," perintah Bima dengan tegas. "Tapi, Pak, bagaimana dengan nasi goreng yang kita pesan? Saya sudah membayarnya." "Biarkan saja, Bud. Sekarang, masuklah ke rumah. Aku akan menunggu di mobil," kata Bima, membawa Jenny ke dalam mobil dan duduk di sampingnya pada kursi belakang. Budi merasa sedikit kecewa karena harus meninggalkan nasi goreng yang sudah dia bayar. Namun, dia merasa l
"Ser-serius, Pak?" tanya Jenny dengan tergagap, terkejut dengan apa yang Bima katakan. "Iya, Jen." Bima mengangguk. Perlahan, dia melepaskan pelukannya, kemudian mengajak Jenny untuk duduk di atas kasur. "Kalau kamu masih nggak percaya, kita bisa melihat buktinya bersama-sama." "Buktinya seperti apa, Pak?" Jenny mengerutkan keningnya, bingung. Sementara itu, Bima segera mengambil laptopnya yang berada di atas meja. Dia memutar sebuah rekaman video yang Ali kirimkan kepadanya. "Lihat rekaman ini, Jenny. Inilah buktinya." Bima menunjuk ke arah monitor. Jenny mengangguk, dan mereka berdua menyaksikan rekaman tersebut.Di sana terlihat seorang pria yang hanya memakai celana boxer, tengah duduk di kursi kecil dengan tangan dan kaki terikat. Pria itu adalah Billy, dan di sebelahnya ada seorang pria berbadan tinggi besar bernama Aldi, yang sedang menodongkan pisau ke lehernya. Artinya, Ali adalah orang yang merekam video
'Jen ... tolong izinkan aku untuk memilikimu seutuhnya,' batin Bima penuh harap. Dia berusaha sebaik mungkin membuat Jenny merasa nyaman, agar apa yang dia inginkan bisa terwujud sesuai harapannya. Seketika, seluruh tubuh Jenny terasa membeku, hampir tak bergerak sama sekali ketika menerima serangan-serangan cinta dari Bima. Sensasi itu membuatnya seperti melayang dan mabuk, terhanyut dalam gelombang perasaan yang tak terduga. Meskipun di dalam hatinya belum sepenuhnya ingin memberikan dirinya, tapi melihat tubuhnya yang sama sekali tidak menolak, akhirnya dua tubuh itu menjadi saling menyatu, mengikuti aliran perasaan yang membara di dalam mereka.Bima merasakan sensasi yang begitu kuat dan menggetarkan hatinya saat tubuh bagian bawah Jenny menyentuhnya dengan erat.Rasanya seperti aliran listrik yang melintasi tubuhnya, memberinya kepuasan yang tak tergambarkan. Setiap kedutan dan sentuhan Jenny membuatnya merasakan kehangatan dan keintiman ya
"Kalau Ibu cari Jenny, Jenny lagi keluar. Nggak ada di sini," tambah Sri sambil melengos begitu saja. Sri hendak masuk ke dalam rumah panti, namun buru-buru Lily menyusulnya. "Aku datang ke sini karena ada keperluan sama Ibu," ucap Lily dengan senyum ramah yang terukir di wajahnya. Sri menghentikan gerakan kakinya, keningnya mengerenyit. "Keperluan apa?" tanyanya. Lily memohon, "Boleh nggak kita ngobrol di dalam, Bu? Nanti aku akan sampaikan tujuanku." Sri ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. Meskipun dia merasa tidak senang dengan kehadiran Lily, dia tidak mungkin mengusirnya. Karena walau bagaimanapun, Lily adalah tamu di sini. "Silahkan masuk," ajak Sri sambil melebarkan pintu rumah panti.Mereka pun lantas duduk di ruang tamu, menempati salah satu sofa yang tersedia. "Ibu mau minum apa? Biar saya buatkan," tawar Sri yang hendak bangkit dari duduknya. Namun, Lily segera menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Lho, kok??" Tiba-tiba, Sri terkejut saat berhasil menemukan akta bayi dari 18 tahun yang lalu. Apalagi dengan nama bayi itu yang ternyata adalah Jenny Salsabila."Jadi Jenny anaknya Bu Lily??" Sri membulatkan matanya dengan lebar. Dia tentu ingat bahwa Jenny sendiri mengatakan jika Bu Lily ini adalah Mama dari Soraya yang menjadi istri Bima."Apa terjadi kesalahan? Masa, sih?" Merasa belum percaya, Sri pun memutuskan untuk mencari-carinya lagi.***Hari berganti, dan suara cacing menggema di telinga Jenny, menciptakan suasana yang akrab.Dalam keheningan pagi, rasa lapar yang memenuhi perutnya membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak.Dengan gerakan perlahan, Jenny membuka mata dan merasakan tubuhnya yang masih kaku.Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Pikirannya seketika terhanyut dalam kenangan pergumulan panas yang dialaminya dengan Bima kemarin malam. Sebuah perpaduan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, di mana mereka berdua memadu kasih dengan penuh gairah.Awalnya, J
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek