Setelah acara ulang tahun sang papah, Rizal dan Rosa makin intens bertemu, semakin dekat, dan Rizal mulai sering menginap. Seperti saat ini Rosa meminta Rizal untuk diantarkan ke kantor, beralasan sekalian jalan dan malas bawa mobil sendirian, dengan terpaksa Rizal menuruti kemauan wanita itu.
”Papah senang melihat kedekatan kalian, semoga ini bertanda baik dan kebahagiaan akan selalu menyertai keluarga besar kita.”
”Rasa senang Rosa melebihi apa yang Papah rasakan!” balas Rosa berbisik pada sang papah.
”Sa, ayo cepat! Aku ada rapat dengan para direksi.” Rizal tak menanggapi ucapan sang papah angkat, ia hanya terlihat buru-buru duduk di kursi pengemudi.
”Ok-ok, sebentar.” Wanita itu dengan segera mencium kening dan jemari sang papah.
Di dalam mobil, seperti biasa Rizal sama sekali tidak mengeluarkan suara, hanya fokus pada kemudinya dan planing-planing pekerjaan yang akan dia kembangkan. Sedangkan Rosa kembali mulai mencari cara, mengikis jara
”Zal, maaf mengganggumu. I-ini, a-aku, punya hutang dengan peminjaman online dan aku kesulitan bayar, mereka memaksaku untuk melunasi semua hutang plus bunganya. Aku gak punya uang, gajiku kerja udah habis untuk kebutuhan sehari-hari.” “Tidak ada hubungannya dengan saya!” ”A-ada, ada hubungannya denganmu.” Rizal tampak mengerutkan kening. “Beberapa kali aku membawakan makan siang dan beberapa kali aku memakai baju yang kubeli untuk ke kantormu, oh ya, dan ongkos juga. Kesemua uangnya aku dapatkan dari pinjaman online, kulakukan itu untuk kamu.” Seketika itu juga rasa iba menjalar dalam hatinya. Mantan istri yang dulu sangat ia cintai kini bernasib menyedihkan dan membutuhkan belas kasihan. ”Berapa yang kau butuhkan? Saya akan melunasi dan tak perlu kau ganti! Kirim nomor rekening, sekarang!” ”Sebelas juta, Zal. Dan sekarang aku di mall. Aku niat membeli baju, untuk aku pakai pas ke kantormu dan ternyata uangnya kurang. Kamu bis
Ardila menjatuhkan seluruh belanjaan di atas lantai, berlanjut menuju dapur mengambil secangkir air kemudian duduk di meja makan sambil mengeluarkan ponsel dari kantung celana. Ia membuka galeri fotonya, menikmati maha karya tuhan yang dulu sempat ia miliki. ”Zal, kamu makin keren. Makin ganteng.” Menatap Rizal di ponselnya. ”Setelah hari ini kuharap kamu akan sering ke rumah ini. Aku gak masalah tidak tinggal di apartemen mewah, tidak punya supercar canggih atau tidak pernah keluar negeri, yang penting kita balikan lagi. Serba kecukupan, tinggal di rumah gak kebocoran, punya kendaraan yang bisa bawa kita ke mana-mana, dan sesekali belanja beberapa pakaian yang kusuka. Aku rasa itu sudah cukup, aku gak akan lagi banyak nuntut.” ”Zal, jangan buka hati kamu untuk Rosa, ya … dia gak akan bisa bikin kamu nyaman. Meski sekarang kamu sudah kaya, tetap saja dunia kita dan dunianya berbeda. Aku yakin ketika kamu di sampingnya kamu akan merasa jenuh dan tertekan. Dia
Raya melangkah memasuki ruang kerjanya, ruang para marketing mengupdate pekerjaan sekaligus tempat pertemuan marketing dengan para calon penyewa dan pembeli. Merasa penasaran dengan sang tuan yang menghilang. Setelah berganti pakaian dan menaruh tas ransel di loker, Raya melangkah mendatangi meja resepsionis, dan sangat kebetulan pengelola gedung sedang berada di sana. ”Siang, Mba.” ”Siang!” jawab seorang resepsionis, sinis. “Kenapa?” Raya langsung mengarahkan wajah dan pandangannya pada wanita berjas hitam, kemudian membuka pembicaraan. “Mba Nisa saya tau, kami tidak diperbolehkan menanyakan perihal para menghuni bangunan.” “Nah, itu tau!” Resepsionis itu kembali berbicara sinis. “Em … mba Nisa, kebetulan saya adalah marketing yang melakukan transaksi dengan pemilik Sky Penthouse,” ucap Raya pada salah seorang pengelola bangunan, tanpa menghiraukan si resepsionis. “Bolehkan saya tau, apa tuan Rizal ada di huniannya saat ini?” ”Ada keperluan apa, Ya?” tanya wanita yang dipanggil
Setelah kamera melaksanakan tugasnya, dengan lembut dan perlahan duda itu memutar tubuh Raya. Gadis cantik, dengan rambut terkunci rapih, kemeja putih berbalut blazer navy lengkap dengan rok di bawah lututnya, terlihat grogi. 'Ingin sekali memelukmu, tapi aku takut kamu tak mau dan akhirnya aku menyakitimu.' Hanya mampu ungkapkan dalam hati, sambil menatap gadis itu, pilu. Posisi keduanya berhadapan. Entah angin apa dan naluri dari mana, Rizal mulai membungkukkan badan kemudian mencium lembut kening Raya. Menghirup aroma khas kulit gadis itu sambil pejamkan mata. 'Maaf." Hembusan nafas Rizal begitu terasa di kening Raya, seperti menyalurkan sebuah rasa. Perlahan Rizal melepas ciumannya dan kembali menatap gadis itu. melihat gadisnya menundukkan kepala, Rizal pun mengangkat wajah Raya agar tatapan mereka bertemu. Mendapati sikap sang tuan tanpa dugaan, Raya pun mengikuti apa yang Rizal inginkan. Kedua jemari Rizal kini berada di bahu Raya denga
Langkahnya terasa berat ketika sang tuan hanya memberikan jawaban singkat, namun karena seperti inilah yang ia harapkan Raya pun menikmati proses penyesuaian hati dan perasaan yang harus ia lalui. ’Kok dia gak maksa nganter aku? kok dia cuek?’ 'Raya, kamu ’kan mau begini! Ini kan udah baik-baik aja. Kamu mau dia ngertiin kamu ’kan? Terus kenapa sekarang gak terima?' Dalam tiap langkah bisikan hatinya mengeluarkan pertanyaan. Rizal pun merasakan hal yang sama, ingin mencegah gadis itu melangkah, namun kali ini ia berusaha menahan diri. Berusaha tak memaksakan kehendak dan berusaha melakukan apa pun yang Raya inginkan. Pintu lift tertutup sempurna, dan tatapan mereka yang saling mengunci secara otomatis berakhir. "Raya? Kamu belum pulang?" Sapa Nisa yang baru saja keluar dari lift lain. "Eh, mba Nisa! Iya nih, Mba, saya diminta membereskan penthouse pak Rizal. Mba Nisa mau pulang?" "Iyalah pulang, masa nginep!" Mendengar perkataan wanita itu Raya langsung mengarahkan pandangan pad
“RAYA!” panggil Andika keluar lift, ketika melihat gadis yang dipanggilnya siap memutar langkah. Suara keras Andika secara langsung merubah konsentrasi semua orang, termasuk wanita bernama Rosa. ’Raya! Ngapain dia ke sini?’ gumam Rosa hentikan langkah. ”Hai, Dik! Ngapain di_ “Sorry, Sa, gue buru-buru. Ada urusan penting sama Raya,” balas Andika berjalan dengan langkah lebar diikuti dua wanita cantik. ”Kamu juga gak penting!” Merasa dicuekin, Rosa kembali melanjutkan langkah menuju ruang kerja pria pujaannya. ”Kenapa balik?” tanya Andika ketika tiba di hadapan Raya. ”Saya gak enak Mas, ada nona Rosa juga. Takut jadi masalah.” “Udah loe tenang aja, tuh cewek gak akan lama di ruangan Rizal. Pasti dicuekin dan akhirnya dia pulang.” ”Tapi, tetep gak en_ ”Udah. Loe tunggu di lobi, ngupi-ngupi cantik sambil baca-baca majalah fashion, pasti bikin loe nyaman! Nanti kalo tuh cewek rese udah pergi, baru loe ke atas." "Yuk, ke lobi!" Ajak Andika jalan duluan. Mendapati gadis itu masih
Raya menyandarkan tubuh di sudut dinding berlapis marmer. Mengatur nafas sambil pejamkan kedua mata, menikmati rasa nyeri yang kian hebat menyakiti fisiknya. ‘Sakit. Sakit. Sakit.’ Dalam lirih ungkapan atas rasa nyerinya tergambar melalui butiran air mata yang kini deras membelah permukan pipinya. Ketiga wanita itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang dialami Raya. kedua wanita malah sibuk menghadang Raya sambil memperhatikan Meta yang mulai mengeluarkan benda-benda dalam tas ransel. Gadis itu tak mampu lagi melakukan apa-apa. Ia paham, sekali lagi ia melakukan banyak gerakan akibatnyakan akan lebih fatal. ”Buku kedokteran? Loe calon dokter? Gak ada panters-pantesnya” ucap Meta sambil membuang asal buku-buku Raya ke lantai. “Mba, saya mohon, jangan gini.” Raya mencoba mengeluarkan suara demi privasinya terjaga, namun ucapannya sama sekali tidak dihiraukan. ”Apaan nih, uang cuman ada dua puluh rebu! Cukup buat apa!? Miskin papa loe, ya?” la
Rizal mengaktifkan seluruh tombol mikrofon masih dengan ponsel menempel di telinganya. “AYA … angkat!” ucapnya kesal, mendapati gadis yang kerap ia hubungi lagi-lagi tidak mengangkat panggilannya. Kedua resepsionis dan kepala pengelola gedung memperhatikan ucapan dan bahasa tubuhnya, dalam hati mereka kompak menyuarakan. ‘Begini ya kalo duda lagi jatuh cinta!’ “TES, TES.” Memastikan bahwa mikrofon yang ia gunakan dalam keadaan baik dan ketika ia berbicara sama sekali tidak ada gangguan. Merasa mikrofon itu tidak ada masalah dan suaranya terdengar jelas, Rizal pun mulai angkat suara. ”Perhatian! Dengarkan saya baik-baik. Seluruh karyawan Z&T Corporation segera berkumpul di aula meeting Room. Semua! Tinggalkan pekerjaan kalian! Dalam waktu lima belas menit ,saya mau kalian semua sudah berada di aula! Seluruh manajer, bertanggung jawab atas semua anak buahnya! Security, pengelola gedung, tanpa terkecuali!" Suara tegas dan intimidasinya seolah menghipnotis seluruh karyawan. Dengan terg
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la