"Kamu yakin nggak mau mampir?" Sudah ketiga kalinya Amanda menanyakan hal sama. Dan sebanyak itu pula Gyan tetap menolaknya. "Silakan turun," ucap Gyan sembari mengedikkan dagu ke arah pintu. "Aku bisa bikin pizza. You wanna try?" "No, Thanks." Gyan menarik bibirnya sebentar bermaksud memberi seulas senyum. Namun yang ada hanya garis lurus yang terbentuk. "Hm, oke. Tapi aku yakin suatu hari kamu pasti datang sendiri ke sini tanpa kuminta." Terserah dia mau bicara apa. Gyan sudah tidak peduli. Jika tidak ingat dia harus tetap bersikap baik demi menjaga nama baik Daniel, Gyan mungkin sudah menendang wanita ini keluar. Ujung matanya melirik saat Amanda mulai membuka pintu mobil. Lalu ketika pintunya sudah setengah terbuka, napasnya berembus lega. Gyan memejamkan mata sesaat, bersyukur atas kebebasannya. Namun—Matanya kontan terbuka kala sebuah sentuhan terasa mendarat di pipinya. Dia terkejut dan refleks menoleh. Alisnya sontak menukik, sementara mata birunya menyorot tajam. Tapi
"Ada perlu apa kamu ke sini?" Suara dingin Gyan terdengar. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Amanda bisa senekat ini datang ke kantornya. Wanita itu tersenyum lalu berjalan melewati Resta untuk mendekati Gyan. "Ngajakin kamu lunch." Gyan tidak menjawab. Tatapnya bersirobok dengan tatap Resta. Wanita itu masih berdiri di tengah ruangan memperhatikan Amanda. "Aku nggak bisa." "Yaaah, kenapa?" Amanda tampak kecewa sampai alisnya yang melintang itu mengeriting. "Hanya makan siang. Masa nggak mau nemenin?" "I have a meeting." "Memang nggak bisa ditunda? Setelah makan siang. Iya kan Resta?" Amanda menoleh ke belakang meminta pendapat asisten Gyan. Dan itu membuat wanita asal Semarang itu terkesiap dan refleks menatap Gyan dengan bingung. Kode Gyan membuatnya lekas paham. "Iya, Miss. Sebentar lagi Pak Gyan ada meeting penting. Mungkin Miss Amanda bisa reschedule lain kali.""Aku kan udah datang ke sini, masa nggak bisa pending meeting itu bar—" "Nggak ada yang minta kamu datang k
Gyan memandang tak percaya wanita di depannya. Resta benar-benar mengajaknya bercanda. Pasca kejadian Amanda datang ke kantor, sikap wanita itu agak lain. Tiap kali Gyan ingin bermesraan, Resta terlihat enggan. Malah terkesan menghindar. Wanita itu juga terlihat lebih kaku, dan sering menolak permintaan Gyan untuk menginap di apartemen. Awalnya Gyan memaklumi, tapi lama-lama bikin pria itu kesal juga. Terlebih dengan apa yang Resta beri tahu sekarang. Bisa-bisanya wanita itu membuatkannya janji makan siang bersama Amanda. "Aku nggak mau," tolak Gyan membuang muka. "Please, Gy. Satu kali iniii aja." Gyan makin kesal melihat Resta memohon-mohon seperti itu demi wanita yang mungkin bisa merebut kekasihnya. Benar-benar tidak habis mengerti. "Sekali nggak ya, nggak!""Gy...." Resta menunjukkan wajah sedihnya. "Kamu nggak mau menolongku? Tiap hari aku diteror sama dia perkara makan siang ini." "Makanya jangan asal memberi janji." "Iya, aku minta maaf. Lain kali nggak begitu. Tapi kal
Gyan medongak ketika pintu ruangannya dibuka dari luar. Mulutnya yang rapat terbuka saat melihat asistennya masuk. Hampir saja omelannya meluncur ketika dia menyadari wajah Resta yang terlihat muram. "Kamu dari mana saja?" tanya Gyan. "Maaf, Pak. Tadi saya bertemu Joana." Hanya sebentar, Resta lantas segera kembali ke mejanya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Gyan. Dia langsung membuka laptop kembali. "Lain kali kalau mau pergi, tolong bilang dulu. Jadi aku nggak bingung nyari kamu." "Iya, maaf." Dari meja kerjanya Gyan mengawasi wanita itu yang terlihat lain sejak makan siang. Gyan sadar Resta mendiamkannya. Sudah dia duga makan siang bersama Amanda itu bukan ide yang bagus, tapi wanita itu terus memaksanya. Gyan mengetuk-ngetuk pena ke permukaan meja sambil terus mengawasi Resta yang terlihat sibuk. "Aku punya salah?" tanyanya kemudian. "Nggak," sahut Resta singkat tanpa melepas pandangan dari layar laptop. "Tapi kamu sama sekali nggak menatapku. Sudah aku bilang kan makan s
"Weekend boleh izin nggak kerja?" tanya Resta sembari memainkan dasi Gyan. Saat ini dirinya sedang ada di pangkuan pria itu. Sedikit bermanja di jam kantor yang tidak terlalu sibuk. "Mau ke mana?" tanya Gyan dengan suara agak serak. Tahukah wanita itu dia sedang menahan untuk tidak menerkamnya? "Orang tua Joana mau anniversary pernikahan. Joana minta aku menemaninya beli sesuatu. Kado." Gyan mengangguk-angguk. Dikecupnya bibir Resta singkat. "Boleh. Mau aku temani?" Kepala Resta menggeleng agresif. "Nggak usah. Aku mau nginep di rumahnya." "Mau aku anterin?" "Nggak usah juga. Kan Joana bawa mobil." "Hm, kalau nggak ada kamu aku ke mana ya?" tanya Gyan dengan mata sendunya yang terus memperhatikan wanita itu. "Bukannya kamu mau dimasakin Miss Amanda weekend ini?" sindir Resta seraya melempar pandang ke arah lain. Sudut bibirnya berkedut, menunjukkan tampang tak suka. Pria yang menahan bobot tubuhnya itu terkekeh. "Kamu anggap serius ucapan dia?" "Ciye yang mau dimasakin makana
Sudah dari satu jam lalu telepon Resta berakhir. Wanita itu bilang sudah bersama Joana dan akan pulang besok siang. Weekend tanpa Resta itu membosankan. Tidak ada pekerjaan urgent di kantor juga yang mengharuskan Gyan berangkat. Jadi, pagi ini setelah jogging dan sarapan sedikit, dia melanjutkan kegiatan berenang. Gyan melakukan beberapa kali putaran sebelum bergerak keluar dari kolam renang apartemennya. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Padahal biasanya penghuni apartemen banyak menghabiskan waktu weekend di sini. Gyan menyambar handuk kering dan memutuskan mengakhiri kegiatan berenang ketika mendapat pesan dari Daniel. Pria tua itu memintanya makan siang di rumah. Sebenarnya Gyan masih malas bertemu papinya, tapi kemudian voice note dari Ola membuatnya berubah pikiran. Tepat ketika dia bergerak menuju lift hendak kembali ke unit, ponselnya berdering menampilkan nomor Marsel. Malas-malasan pria bermata biru itu mengangkat panggilan tersebut. "Ada apa?" tanya Gyan tanpa basa-b
Kehadiran Resta disambut hangat oleh keluarga Joana seperti biasa. Wanita itu bahkan sudah dianggap anak sendiri oleh Alfa dan Syilla, orang tua Joana. Di masa perkuliahan, Resta banyak membantu Joana, pun sebaliknya. Tidak heran keduanya bisa lengket satu sama lain. Seperti tak terpisahkan. Bahkan urusan mencari kerja pun mereka bersama. Padahal jika dipikir-pikir Joana tidak perlu repot atau pusing mencari kerja lantaran kedua orang tuanya pengusaha. Dia bebas memilih jabatan di perusahaan orang tua mereka. Namun, wanita itu kekeh memilih mengikuti jejak kakaknya untuk mencari pengalaman di luar perusahaan keluarga."Happy anniversary, Tante, Om," ucap Resta yang langsung dihujani ucapan terima kasih oleh sepasang suami istri di depannya. "Kalian nginep kan nanti?" tanya Syilla, mamanya Joana. Wanita yang selalu menempel dengan suaminya itu. "Rencananya sih gitu, Ma," sahut Joana. "Kak Aaron belum sampai?" Syilla mengangkat bahu. Wajahnya berubah masam. "Nggak tau deh, Jo. Kakak
Saat memasuki restoran hotel yang masih milik keluarga Joana, Resta mengernyit heran. Wanita itu sedikit menarik lengan Joana untuk sekedar mengonfirmasi bahwa ini cuma perayaan keluarga. Karena yang Resta lihat sekarang malah banyaknya orang yang memberi selamat pada orang tua Joana. "Lo bilang ini cuma makan malam keluarga," bisik Resta bingung. Keluarga yang ada di pikiran Resta itu hanya terdiri dari Om Alfa, Tante Syilla, Kak Aaron, Joana, dan dirinya yang merupakan orang luar. Ya, dia pikir hanya mereka berlima saja yang akan makan malam bersama. Joana terkekeh. "Iya itu memang keluarga gue semua. Para Om dan Tante gue, sepupu-sepupu gue dan jelas eyang sama kakung gue."Resta tak habis pikir lagi dan cuma bisa mengurut pangkal hidungnya sendiri. Saat Joana menarik tangannya dan membawanya duduk di salah satu meja bundar bergabung sama Aaron, dia menurut saja. "Ada apa?" tanya Aaron, yang duduk di sebelahnya melihat wajah kaku Resta. Joana sendiri malah pergi ke meja lain tem
Tidak cuma Daniel dan Delotta yang menghadiri grand opening hot spring dan restoran milik Resta tersebut. Ibu dan Kae juga turut serta. Kae yang sedang sibuk meraih gelar profesi menyempatkan hadir mendampingi ibunya. Lalu Joana dan juga orang tuanya. Dan yang mengejutkan Aaron pun datang. Dia tidak sendiri ada wanita cantik di sebelahnya yang selalu menggandeng tangannya. "Tunangan Kak Aaron?" Resta terlihat takjub saat Aaron mengenalkan wanita itu padanya. "Doakan ya semoga bisa segera dihalalin," sahut Aaron tersenyum sambil menatap wanita di sisinya. "Pasti dong, Kak." "Akhirnya setelah sekian lama kakak gue sold out juga," celetuk Joana. Yang langsung mendapat jitakan di kepalanya dari sang kakak. "Nggak sopan, emangnya kakak kamu ini barang dagangan," gerutu Aaron membuat Joana manyun sambil mengusap kepalanya. "Mana cowok kamu? Katanya ada yang baru lagi?" "Nggak ada! Aku lagi jomblo.""Jomblo beneran ntar lo," timpal Resta menyeringai lebar. "Lah emang gue jomblo!" Aa
"Good. Proposal diterima." Wajah Resta kontan berbinar setelah waswas menunggu respons suaminya perkara proposal yang dia buat lagi. Bibirnya melengkung sempurna. Saat tatapnya bertemu dengan mata biru Gyan, wanita itu langsung meloncat, dan menghambur ke pelukan sang suami. "Makasih, Gy! Makasih," serunya sambil mengecup pipi Gyan bolak-balik. Dia susah payah berdiskusi dan menyusun konsep baru bersama Joana setelah survei ke berbagai jenis cafe di ibukota bersama Gyan waktu itu. Bahkan untuk menyusun menu, Joana menyeret Marsel yang notabene memiliki beberapa chef andalan di rumahnya. Soal Marsel itu, entah tepatnya kapan Joana bisa dekat dengan pria itu. Hal ini belum sempat Resta tanyakan. Yang terpenting saat ini proposal bisnis barunya diterima Gyan. Pria bermata biru itu tersenyum seraya mengusap pinggang Resta yang berada di pangkuannya. "Lokasinya udah ada?" tanyanya. "Udah ada yang kami incar. Joana bilang akan nego sama pemiliknya.""Kamu butuh tanah yang cukup luas loh
Ketukan di pintu sama sekali tidak membuat Resta segera beranjak dari tempat tidur. Dia malah makin merapatkan selimut. Suara Gyan yang terus memanggil pun tidak dia hiraukan. Resta masih kesal. Semalam dia benar-benar memisahkan diri, dan Gyan pun tidak terlihat menyusulnya. Meski kesal luar biasa karena proposalnya ditolak, semalam dia membaca ulang proposal yang sudah dia buat itu. Resta akui Gyan benar. Konsepnya sederhana seperti kafe pada umumnya, tapi tetap saja dirinya merasa tersinggung. Entahlah, akhir-akhir ini Resta merasa gampang emosional. Tidak bisa kena senggol sedikit. Mood-nya benar-benar kacau. Resta tahu ada pergerakan pintu yang dibuka, tapi dia tetap diam. Hatinya cuma berharap tidak ada hal yang akan membuat paginya berantakan, terlebih karena disebabkan suaminya. Akan lebih baik Gyan langsung berangkat kerja saja tanpa mendekatinya seperti ini. Jujur, Resta masih malas sama lelaki itu. Gyan mendekat, dan berbaring di sisi Resta yang tidur membelakanginya. "Sa
Gyan menatap layar komputernya dengan mata berbinar. Kepalan tangannya sesekali diayunkan. Proyeknya berjalan sesuai apa yang dia inginkan. Pertimbangannya untuk berinvestasi tiga tahun lalu akhirnya membuahkan hasil. Baginya ini hal yang harus dia rayakan bersama sang istri. Bumi yang baru saja masuk tersenyum kecil melihat wajah sumringah bosnya. "Saya belum mendengar kabar tender baru yang berhasil. Kenapa Anda bisa sesenang ini, Pak?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah dokumen bersampul hitam ke meja besar bosnya. "Ini bukan soal tender." Javas menjauhkan sedikit badan dari layar komputer lalu menatap asisten pribadinya itu. "Tapi investasi Blue Jagland di proyek kota tua di Sulawesi. Selama tiga tahun berjalan, laporan itu makin membaik. Kenapa saya senang. Karena itu adalah investasi besar pertama saya yang disetujui oleh pemegang saham.""Selamat, Anda memang hebat, Pak." Gyan tersenyum lebar sambil memutar-mutar kursinya. Namun senyum lebarnya tidak berlangsung lama ke
Gyan membungkam segera mulut Resta yang menjerit. Lalu kekehan kecilnya mengudara. Sudah larut malam, tapi keduanya masih terjaga. Bahkan keringat membanjiri tubuh polos mereka yang hanya tertutup kain selimut. "Jangan berisik, Sayang. Kamu bisa membangunkan semua orang," bisik Gyan meletakkan telunjuk ke bibir. Resta mengangguk-angguk sehingga Gyan bisa melepaskan tangan dari mulutnya. "Habis gimana, ini terlalu enak," ujarnya nyengir. Ada kebanggaan tersendiri ketika Resta mengatakan itu. Secara tak langsung wanita itu memuji kemampuan dirinya menyenangkan istri di atas ranjang. "Masih mau lagi?" tanya Gyan tersenyum nakal. Pinggulnya bergerak pelan sengaja menggoda sang istri. "Mau.""Janji jangan teriak. Kalau di apartemen sendiri sih nggak masalah. Di sebelah ada Ola." "Nggak janji sih. Tapi aku bakal usahain nggak teriak kenceng-kenceng." Kebisingan sepasang suami istri muda di malam hari sudah terjadi beberapa malam sejak keduanya menginap di rumah Daniel. Gyan dan Resta
Mata biru Gyan mengerjap ketika melihat Resta memasukan es krim ukuran magnum ke mulutnya. Wanita itu memejamkan mata, dan menggeram nikmat. Sialnya, itu dilakukan berulang sampai membuat Gyan melongo. Pria itu menelan ludah, dan mendadak peluh sebesar biji jagung meluncur dari dahinya. Cuaca hari ini lumayan panas. Beberapa kali Gyan mengipas-ngipas baju yang dia pakai. Dan lagi panas-panasnya dia melihat istrinya melakukan adegan menjilat es krim. Bikin pikiran liarnya traveling ke mana-mana. "Yang, pulang ke hotel yuk. Gerah nih," bisik Gyan sambil memperhatikan es krim yang baru lepas dari mulut Resta. "Oke." Tanpa banyak membantah, Resta menurut. Dia beranjak berdiri dan langsung menjajari langkah suaminya. "Yang, makan es krimnya biasa aja dong." Mendengar itu Resta terlihat bingung. Lah memang ada yang tidak biasa? Dia menatap es krim yang ukurannya mulai berkurang. "Aku biasa kok.""Enggak, ah. Kamu kayak sengaja banget godain aku."Hah? Hampir saja rahang Resta jatuh. Apa
"Mau ke suatu tempat?" Matahari sudah tinggi, tapi sepasang pengantin itu masih enggan beranjak dari ranjang. Terlalu sayang menyia-nyiakan waktu libur jika harus bergerak cepat."Ke mana?" Resta membenarkan posisi tidur menghadap Gyan. Matanya masih terkatup rapat. Kepalanya lantas menyuruk ke dada terbuka sang suami. "Dulu papi honeymoon ke Santorini. Beberapa teman menyarankan ke Honolulu dan Maldives. Atau kamu mau ke Swiss? Rusia? Finland?"Dalam tidurnya Resta tersenyum. "Mainstrem banget.""Kamu punya rekomendasi?" "Borobudur." Gyan mengerjap. Bahkan dia sampai harus mengangkat kepala dan menyangganya dengan satu tangan. "Di antara tempat spektakuler yang aku tawarkan kamu malah pilih borobudur?" Pria itu menatap istrinya tak percaya. "Memang anti mainstrem banget sih." "Hei, borobudur itu lebih spektakuler dari tempat yang kamu sebutkan tadi tau!" Resta mendorong pipi Gyan. "Tapi itu borobudur, deket. Cuma di Jogja. Kita bisa ke sana kapan saja. Dan ini honeymoon kita, S
Malamnya pesta masih berlanjut. Area pantai disulap menjadi beach club mengingat pihak resort sendiri tidak memiliki fasilitas itu. Pesta ini hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja. Mungkin cuma Resta yang tidak memiliki banyak tamu seperti Gyan. Seumur-umur di kota ini dia hanya memiliki satu sahabat, Joana. Lainnya cuma teman biasa yang tidak terlalu spesial sampai harus diundang ke private party seperti ini."Dilihat dari sisi mana pun dia tetep ganteng banget," seru Joana dengan nada tertahan. Tangannya memegang gelas cocktail, dan sebelah lainnya menyentuh dadanya yang berdebar. "Siapa?" Resta sambil lalu menanggapi. "Marsel my mine," sahut Joana cengar-cengir. Sejak putus dari pacarnya beberapa bulan lalu, wanita itu mulai keganjenan lagi. Jejak kesedihannya sudah hilang tak berbekas. Resta tahu sahabatnya itu gampang move on. Joana tidak akan sudi lama-lama bermuram durja. "Emang cowok di dunia ini cuma dia doang!" itu dalih andalannya. "No bucin-bucin club." Belum ber
Tidak seperti pernikahan Javas dan Kavia yang digelar mewah di ballroom hotel berbintang, resepsi dan pernikahan ulang Gyan dan Resta kali ini digelar cukup simpel. Pesta dengan hamparan pasir putih dan suara deburan ombak tepi pantai menjadi pilihan mereka. Tamu undangan yang hadir pun terbatas. Jadi, acaranya lebih terasa sakral dan tenang. Gyan mengecup pipi istrinya begitu selesai sesi pemotretan mahar dan buku nikah. "Sudah sah menurut agama dan negara nih, Yang." "Lalu?" "Makin tenang jungkir balikin kamu sekarang." "Please deh, Gy." Resta memutar bola mata. Gyan melebarkan mata dan memasang wajah pura-pura terkejut. "Ini kita masih harus menyapa tamu loh. Kok kamu udah plas plis aja. Sabar dulu, nanti malam juga aku puasin kok," ujar Gyan lantas tertawa melihat reaksi Resta yang spontan melotot. Resta hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kekonyolan suaminya. Makin tidak waras. Namun akhirnya dia ikut tertawa juga. Jika bukan karena menjadi asisten pribadi pria itu, Rest