Bantu Subscribe cerita ini ya kakak-kakak. Makasih sebelumnya šš»š
āSiapa pelakunya Zach!ā kataku dengan lantang dan emosi juga pada akhirnya.āLihat di slide kedua,ā ujar Zach.Kutarik layar dari kanan ke kiri dengan telunjuk. Betapa terkejutnya aku melihat gambar dalam poto kedua itu. Bang Rafi, Atika, dan Riko, mereka duduk bersama dengan seseorang yang tak begitu jelas terlihat sosoknya.āMaksudmu, pasti mereka bertiga ini pelakunya?ā ucapku mendongakkan kepala dihadapan Zach.āZa ā¦ apa yang terjadi antara kau dan Rafi? Ceritalah padaku, Za ā¦ā Zach mengambil posisi duduk tepat disampingku. Ada rasa nyaman ketika lelaki bertubuh tegap ini berada di sampingku.Bukan, bukan karena adanya rasa dihati untuknya, tapi sikapnya yang begitu baik membuatku berasa nyaman akan hadirnya sosok yang jarang kutemui sikap baiknya disaat-saat seperti ini.āAku telah bercerai dengannya ā¦ā kataku dengan sendu. Dada kembaliKenapa baru saat sekarang dia menyebut dirinya sebagai Ayah dari anak-anak? Dia pikir aku ini wanita yang gampang tersentuh hatinya dengan amat sangat dalam oleh kata-kata manis seperti itu?Tidak, Bang! Aku sudah tidak bisa lagi menjadi pelangi bagi awan berpetir sepertimu. Aku akan mulai bersikap tegas jika memang harus tegas. Hitam adalah hitam, dan putih adalah putih. Tak ada lagi abu-abu di hati ini hanya karena kata-kata basimu yang menyentuh!Ya Tuhan ā¦ rasa apa ini namanya? Mengapa aku merasa begitu lepas rasanya di dada yang kemarin-kemarin begitu menyempit. Bahkan ketika mengeluarkan kata-kata yang memang ingin aku muntahkan padanya, dada terasa makin lega? Mungkin benar kata orang-orang, menjaga kewarasan diri itu penting, agar bisa selalu berpikir jernih dan rasional.āSehat-sehat ya badanku, sehat-sehat pula wahai hatiku. Semoga bisa menapak jalan lurus kedepan bersama anak-anak,ā ujarku dalam hati menguatkan diri.āKa
[Oh, ada si maling ternyata.ā¦ aku beri tahu ya, itu adalah hak ku! Paham? Oh iya, aku lupa, kau pasti tak paham dan tak mengerti apa itu arti hak. Karena kau taunya hanya mencuri milik orang! Dasar wanita murahan dan picik!]Langsung aku blokir nomor itu. Pasti dia adalah Atika, yang sengaja memanas-manasiku. Pagi-pagi sudah bikin gaduh saja.Pagi ini setelah dikejutkan oleh pesan Atika, aku kembali dikejutkan pula oleh kedatangan tamu yang terdengar berisik sekali. Suaranya terdengar seperti sedang marah-marah di depan rumahku. Gegas aku ke depan rumah, melihat kegaduhan apa yang sedang terjadi.āMba Tia?! Ada apa, Mba?ā ternyata mantan kakak iparku yang datang.āIni, Fiza, Mama! Cepat kau tolong dulu!ā katanya lagi masih sambil terdengar mengomel.Mama? Mamanya Bang Rafi? Jantungku langsung berdebar. Apa yang terjadi pada wanita paruh baya itu sampai harus ditarik paksa oleh anaknya sendiri keluar dari mobil.āMa
POV RAFIAku sudah tak mau ambil pusing dengan sikap Mama yang selalu diam jika kutanya. Apalagi jika Mama selalu menyebut nama Fiza. Apa tidak bisa Mama melihat kebaikanku sedikit saja? Karena aku sedang berjuang menapak karir agar terpandang. Tapi kadang-kadang nasehat Mama membuat hati ini down. Apalagi kalau sudah menyangkut nama Atika. Entah mengapa, wanita yang telah melahirkanku itu dan tentu sangat aku cintai, tak mampu menyelam isi hati ini. Atika tidaklah berbeda dengan Fiza. Dia wanita tangguh yang sama seperti Fiza. Kerja keras, dan membantu meningkatkan performa bisnisku dari awal. Bukan Fiza! Ya, walau Fiza sangat ingin membantuku diawal-awal merintis, tapi aku katakan tak perlu. Karena aku bisa tanpanya. Mama, Mba Zara ataupun Mba Tia, harusnya memahami jika terpuruknya perusahaanku saat ini memang karena musibah. Bukan karena aku ditipu oleh Atika. Entah bagaimana mereka bisa menyimpulkan seperti itu, aku sendiri tak paham.
āBukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.ā Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?āTolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza ā¦ā kataku.āYaudah, kamu aja yang cerita Tia ā¦ Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,ā balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar āSaat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,āāKenapa dia bisa keluar, Mba?!ā aku makin ngegas bertanya inti persoalan.āRa
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. āApa benar itu dia ā¦?āāJika benar itu adalah dia, aku ā¦ aku ā¦āAku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah CanakenāMau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!ā aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.āHei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...ā jawabnya enteng.āHalo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?ā Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.āYa, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,ā ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! āHahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?ā Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah CanakenāPapa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,ā lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. āApa itu, Sil?ā jawabku penasaran.āMaukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,ā suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.āApa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!ā kataku lagi.āOke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!ā Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?āTolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza ā¦ā kataku.āYaudah, kamu aja yang cerita Tia ā¦ Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,ā balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar āSaat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,āāKenapa dia bisa keluar, Mba?!ā aku makin ngegas bertanya inti persoalan.āRa
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
āBukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.ā Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a