SATU TAHUN KEMUDIANBunga mawar bermekaran dengan indah. Warna-warna kelopaknya membuatku ingin menyentuh dan menciumnya. Tapi sayang, tangkainya berduri, membuatku sulit untuk menggapainya.Seperti dia, yang selalu memberi jarak dan membuat tirai pemisah di antara kita. Meski tipis, tapi sangat sulit dihilangkan. Ah, bukan hanya dia, tapi aku juga. Hati yang sulit untuk menerima, bahwa sekarang kita lebih dari saudara.“Bu, Pak Dokter sudah ada di meja makan.” Seseorang memanggil dari belakang. Dia Bi Wati, pembantu di rumahku.Aku menyerahkan selang air yang sedari tadi aku pegang ke tangannya. Menyuruhnya menggantikan aku menyiram semua bunga-bunga kesayanganku.Aku masuk ke dalam ruang makan, ternyata benar, di sana sudah ada pria dengan baju putih andalannya. Dia duduk dengan ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya.“Dari mana? Menyiram bunga lagi?” tanyanya tanpa menatap lawan bicara.“Iya,” jawabku singkat.Kutuangkan nasi ke dalam piring beserta lauknya. Menyimpannya di
Ting!Notifikasi di ponselku berbunyi. Aku yang sedang sibuk dengan berkas-berkas kantor harus menghentikannya terlebih dahulu. Mengambil ponsel lalu membuka pesan yang masuk.[Kenalkan, Al. Dia namanya Lolita, cantik, ‘kan?]Pesan dengan sebuah foto, Reza kirimkan padaku. Fotonya yang sedang memeluk bahu seorang wanita.“Cih, menjijikkan,” ujarku dengan menyimpan ponsel sembarangan.Tidak aneh lagi. Sudah biasa Reza melakukan itu. Maya, Nita, Sarah, dan masih banyak nama wanita lainnya yang dia perkenalkan padaku. Dia selalu mengirimkan foto teman kencannya hingga galeriku penuh dengan foto mereka.Menikah dengan Reza adalah sebuah kesialan. Bukan hanya dingin dan kaku, dia juga tidak punya hati. Entah apa yang ada dalam otaknya, dengan rasa percaya diri dan tanpa rasa bersalah, dia mengirimkan foto semua selingkuhannya padaku. Kalau boleh aku berpendapat, semuanya tidak layak jika harus dibandingkan dengan diriku.“Sial, ini semua gara-gara, Reza.” Aku memukul kepalaku. Kenapa juga
“Sejak tadi sore. Kau sampai rela menungguku di mall, hingga malam tiba,” ujarnya setengah berbisik membuat bulu romaku berdiri.Aku membulatkan mata. Jadi, dia tahu kalau aku menunggunya?Sebisa mungkin aku bersikap tenang, tidak terpengaruh oleh perkataan Reza. Meskipun memang aku kehabisan kata-kata untuk menyangkal.“Hah, untuk apa aku menunggumu. Aku hanya kebetulan ke sana untuk mencari kado, tapi aku tidak dapat dan memutuskan untuk pulang. Minggir.” Aku mendorong tubuh Reza, hingga dia mundur beberapa langkah ke belakang.Aku berdiri, mengambil handuk dan menyimpannya di bahuku.“Oh, tidak menemukan kado, dan langsung pulang? Teruuuss ... kapan ke pestanya?”Mata dan mulutku terbuka bersamaan. Buru-buru aku berjalan ke kamar mandi dan membanting pintu dengan kasar.Bodoh, kenapa aku harus keceplosan di depan Reza. Sekarang dia pasti sedang menertawakanku dengan puas. Aku menoyor kepala berkali-kali, merutuki kebodohanku.Merendamkan tubuh di dalam bathtub berisi air hangat mem
Aku melemparkan bantal hingga mengenai wajahnya. Reza terlihat terkejut karena tidak menyangka aku akan menyerangnya.“Apa yang kamu lakukan? Kenapa malah melempar bantal padaku?” Kini Reza sudah berdiri tegak.“Karena kamu akan berbuat kurang ajar padaku!” kataku tak mau kalah.“Aku hanya mengambil handuk yang teronggak di lantai, Aletta,” ujar Reza dengan melempar handuk ke wajahku. Setelahnya, dia keluar dari kamar.Oh, jadi aku salah sangka? Aku mengedikkan bahu. Mengambil pakaianku lalu memakainya dengan cepat. Takut-takut kalau Reza kembali dengan tiba-tiba.Setelah memakai baju lengkap dan memoles wajahku dengan cream malam andalan, aku keluar dari kamar untuk melihat Thalita. Dari atas tangga, aku mendengar derai tawanya begitu nyaring membuatku bahagia.Oh, rupanya dia bersama pamannya yang kini merangkap jadi papanya juga. Karena penasaran dengan apa yang mereka lakukan, aku pun ikut duduk lesehan di atas karpet bulu di depan tv.“Main apa, sih. Kok, kayaknya seru banget?” t
“Mama! Mama bangun!”Aku mengerjapkan mata, membukanya perlahan. Loh, kok wajah Reza mengecil dan imut banget? Aku mengucek mataku lalu membukanya kembali. Rupanya Thalita putriku yang aku lihat.“Thalita? Kok kamu di sini, Nak?”“Bangun, Mah. Kita sholat subuh. Mama, tidur terus, emang gak denger, ayam jantan berkokok? Tuh, dengerin ... ayam jantan punya Abahnya Alvin, aja udah manggil-manggil terus dari tadi, kok Mama, gak bangun-bangun, sih?” Thalita yang sudah siap dengan mukenanya, terus berbicara dengan nyaring.“Iya, Sayang. Mama, juga ini udah bangun, kok. Emang Thalita, mau sholat di sini?” Aku duduk, membenarkan letak mukena yang dipakai Thalita.“Iya, kata Papa Dokter, sholat berjamaah itu pahalanya banyak. Jadi, mulai sekarang Thalita mau sholat berjamaah aja,” ucap Thalita manja.“Yaudah, Mama ke air dulu, ya. Mau Ambil wudhu, Thalita tunggu bentar, ya?” Thalita mengangguk. Aku beringsut turun dari ranjang.Saat akan berjalan ke arah kamar mandi, mataku bersitatap dengan
“Dua-duanya,” ujar Reza semakin membuatku muak padanya.“Aku tidak janji. Ada Niar, yang akan menemani Thalita.”Reza yang sedang mengancingkan baju kemejanya, seketika berhenti dan mendekatiku.“Jangan selalu mengandalkan pengasuh untuk urusan anak. Dia hanya orang lain, dan kamu ibunya. Harusnya kamu yang berperan aktif mengawasi Thalita, bukan Niar.”Aku memutar bola jengah mendengar omelan Reza. Tidak ingin terus berdebat, aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menikmati sarapan pagi.Rupanya Thalita sudah duduk manis dengan roti dan segelas susu di depannya. Sedangkan Niar, dia sedang membuatkan bekal untuk putriku. Melihatku datang, Niar langsung mencolek tangan Thalita, dan mengangkat dagunya ke arahku.“Mama, Thalita hari ini mau bawa bekal sarapan. Boleh, ‘kan?” tanyanya saat aku sudah duduk di sampingnya.“Kan, Thalita sudah sarapan, untuk makan pas istirahat, ya?” tanyaku balik. Thalita menggeleng.“Bukan, Ma. Untuk sarapan, teman-temanku.” Aku mengerutkan kening tidak m
Mobil yang kita tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah Thalita.“Aku sekolah dulu, ya Ma, Pa!” ucap Thalita mencium punggung tanganku dan Reza bergantian.“Hati-hati ya, Sayang.”Thalita dan Niar turun dari mobil. Keduanya masuk ke halaman sekolah.Reza pun kembali menjalanakan mobilnya. Jika perjalanan tadi terasa ramai oleh ocehan Thalita, kini suasana sangat sunyi dan diliputi kecanggungan. Ini yang tidak aku suka jika hanya berdua dengan Reza. Dia itu es, tidak bisa memulai percakapan meski sekedar hanya basa-basi.Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, melihat penampilan wajahku dari sana. Masih sedikit berantakan di bagian rambut, karena ulah lelaki es di sebelahku ini. Aku mengambil sisir kecil, dan meluruskan rambutku.“Kayak cabe-cabean, dandan terus.” Aku menoleh pada sumber suara, Reza dengan raut wajah datarnya masih fokus melihat ke depan. Tapi mulutnya, membuatku kesal. Enak saja, menyamakanku dengan cabe.“Kalau punya mulut itu dijaga, jangan sembarangan bicara.
Suara pintu diketuk, aku mempersilahkan masuk pada orang yang ingin menemuiku. Wajah Dion yang nampak setelah pintu terbuka.“Kau belum pulang, Al?”“Hm, aku belum ingin pulang,” jawabku tanpa menoleh. Aku terus fokus pada layar komputerku.“Ini sudah malam, tidak biasanya kamu akan bekerja sampai lembur begini. Apa ada masalah?”Aku menghentikan aktivitasku. Mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca. Ternyata benar, sudah gelap.“Aku ... sedang tidak ingin pulang. Masalahku ada di rumah. Itulah kenapa aku tidak ingin pulang,” kataku dengan pandangan mata kosong.“Gimana kalau kamu ikut denganku. Aku yakin, penatmu akan hilang seketika,” ujar Dion membuatku melihat ke arahnya.“Ke mana?” Bukannya menjawab, Dion malah mengarahkan jari telunjuk ke atas.“Ayo, ikut saja. Ke tempat favorite aku dan Mirza saat kita sedang merasa lelah dalam bekerja. Aku yakin, kamu akan suka,” ujar Dion lagi.Mendengar kata Mirza disebut, membuat aku penasaran akan tempat yang dimaksud Dion. Aku pun menga
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe