Radit berjalan duluan diiringi Fadlan di belakangnya.Begitu sampai di ruangan, Radit langsung menyelesaikan pekerjaannya yang tadi tertunda. Sementara itu Fadlan duduk di kubikel Putri memperhatikannya."Kopinya tidak diminum?" Fadlan mengingatkan saat melihat gelas kopi Radit yang masih utuh.Radit melirik sekilas dan mengambil kopinya yang sudah dingin. Ia menyesapnya beberapa teguk dan tidak lagi menemukan kenikmatan disana seperti saat masih hangat.Radit kembali fokus ke layar komputer setelah meletakkan kopinya kembali diatas meja. Ia harus bisa memenuhi target yang sudah ditetapkannya, menyelesaikan pekerjaannya dalam jangka waktu enam puluh menit.Fadlan memerhatikan gerakan jemari Radit yang menari lincah diatas tuts komputer. Hatinya tergelitik untuk bertanya saat melihat sebuiah cincin yang melingkat indah di jari manis Radit. Jujur, ia sangat jarang melihat laki-laki yang mengenakan cincin walaupun sudah menikah. Ada 1001 alasan bagi kaum pria tidak memakai cincin kawin
Tiga puluh menit berlalu, tapi belum ada tanda-tanda kalau operasi akan selesai. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian Nabil mendengar tangisan bayi memenuhi ruang telinganya. Bersamaan dengan itu seorang perawat keluar memberi kabar bahwa anaknya sudah lahir. Nabil disuruh masuk untuk mengazankannya.Ada keharuan dan rasa bahagia menyelimuti hatinya begitu melihat putri kecilnya yang mungil. Tidak menyangka akhirnya saat itu tiba. Hari dimana tanggung jawabnya akan bertambah. Tidak lagi atas dirinya sendiri, tapi juga bertanggung jawab atas seorang manusia yang dititipi nyawa.Suara Nabil yang merdu menggema memenuhi ruangan saat melantunkan kalimat suci itu di telinga sang putri untuk pertama kalinya. Nabil mengecup hangat kening Dea yang masih belum sadar karena pengaruh anestesi. Dea tidak dianestesi spinal karena beberapa faktor. Dan tentunya tim dokter yang lebih tahu."Sayang, anak kita sudah lahir, cantik banget seperti kamu," Nabil berbisik pelan setelah kembali mengecup l
"Bagus sekali namanya," puji Kayla setelah mendengar keterangan Dea."Makasih," Dea menjawab singkat.Kayla ingin mendengar cerita Dea lebih banyak lagi, tapi Radit memanggil dan mengajaknya melihat putri kecil Nabil di ruang NICU.Begitu kecil dan mungil. Kasihan. Kata itu yang melintas di pikiran Kayla saat melihat baby Deana atau Kayyisah. Kayla lupa bertanya nama panggilannya pada Dea. Mendadak naluri keibuannya muncul. Ada rasa sedih yang diam-diam mulai menjalari hatinya. Dirinya saja yang merupakan orang lain tak sanggup melihatnya. Apalagi Dea yang adalah ibu kandungnya."Kasihan ya, Dit," Kayla bergumam pada Radit yang berdiri di sebelahnya."Iya, Yang."Setelah merasa cukup lama, Radit dan Kayla pun berpamitan pada Nabil. Dan sebelum pulang tentu saja Radit mengeluarkan petuah bijak, sebagaimana yang dilakukan Nabil padanya dulu."Dit, kita jalan-jalan ya," ajak Kayla saat mereka sudah berada di parkiran rumah sakit."Kita ke mana, Yang?""Terserah kamu. Oh iya, aku ingin ta
Suami mana yang tidak suka jika istrinya ikut andil dalam perekonomian rumah tangga?Tapi bagi Nabil, membiarkan Dea berkarir diluar rumah sama artinya dengan mengulang luka lama. Nabil tidak mau jika apa yang pernah terjadi pada Kayla terulang lagi pada Dea. Sudah cukup sekali ia kehilangan istri. Jangan sampai terulang untuk kedua kalinya."Boleh kan, Bil?" Dea mendesak meminta jawaban."Mendingan kamu selesaikan kuliah dulu ya.""Kuliahnya kan malam dan cuma sebentar, jadi siangnya aku mau ngapain?"Diberi pertanyaan seperti itu membuat Nabil jadi tersudut. Mengiakan adalah pilihan tersulit. Tapi menolak tak kalah susahnya. Sementara Dea terus mendesak."Boleh ya, Bil, ya," Dea menggoyang-goyangkan tangan Nabil agar mau memenuhi keinginannya.Pada akhirnya Nabil hanya bisa mengangguk menyetujui. "Boleh, tapi tidak sekarang. Tunggu sampai kondisi kamu betul-betul pulih. Mungkin tiga atau empat bulan lagi.""Tapi itu kelamaan," protes Dea keberatan. "Satu bulan lagi ya?"Kali ini Nab
Kayla melempar senyum ketika kali ini resepsionis kantor Radit terang-terangan menatapnya."Pulang kerja ya, mbak?" Dia bertanya dari balik mejanya."Iya," jawab Kayla singkat."Kerja di mana?"Kayla pun menyebutkan sebuah nama tempatnya mengais rupiah."Sudah lama ya menikah dengan Pak Radit?"Pertanyaan demi pertanyaan itu membuat Kayla merasa sedang diinterogasi. Tapi ia mencoba berpikiran positif. Mungkin lawan bicaranya sedang bosan, jenuh atau ngantuk, dan butuh teman untuk bercerita. Kayla bingung harus menjawab apa. Ia lupa menanyakan pada Radit usia pernikahan mereka."Lumayan." Kayla memilih jawaban yang aman.Resepsionis itu tersenyum. "Nama saya Tiwi," ucapnya memperkenalkan diri setelah dari tadi bicara tanpa jeda."Saya Kayla." Akhirnya Kayla bisa bernapas lega setelah Radit menampakkan batang hidungnya."Udah lama ya, Yang?" tegurnya melihat Kayla yang duduk manis menunggu."Lumayan, aku pikir kamu bakalan lembur.""Tadi aku briefing sore dulu makanya agak telat," Rad
"Namanya Kayla, Pak."Sontak Fadlan langsung menoleh pada Radit yang sedang menyetir dan memandang lurus ke jalan. "Nama panjangnya siapa?""Mikayla.""Mikayla apa?""Mikayla aja, Pak."Fadlan merasa darahnya berdesir begitu mendengar kata-kata Radit. Ritme jantungnya yang tadi teratur mengencang seketika. Apakah istri Radit adalah Mikayla yang dicari-carinya selama ini?Fadlan kembali memandangi Radit. Ia mulai membayangkan dan menerka di dalam hati seperti apa kehidupan rumah tangga Radit dan Kayla. Apakah Kayla mencintai Radit? Apakah mereka bahagia? Bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Semua pertanyaan itu berkumpul di kepala Fadlan dan mendesaknya untuk menjawab."Oh ya, Dit, gimana kabar istri kamu?"Radit merasa aneh dengan pertanyaan Fadlan. Perasaan sudah dari tadi Fadlan terus menanyakan istrinya."Baik, Pak," Radit menjawab seraya menyimpan rasa herannya di dalam hati."Kalian sudah punya anak?""Belum, Pak."Entah mengapa Fadlan merasa lega mendengar jawaban Radit."Ap
"Cari bos ya, Dit?"Radit langsung menoleh begitu ada yang menyentuh punggungnya.Laura. Sekretaris Fadlan itu tersenyum pada Radit. "Cari bos ya?" Ia mengulangi pertanyaannya."Iya nih, kamu tahu nggak dia ke mana?" Dari tadi Radit memang ingin bertemu dengan Fadlan karena ada masalah pekerjaan yang akan dibicarakannya. Dan saat Radit mendatangi ruangannya, malah Laura yang ditemukannya."Katanya tadi ke luar sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang."Oh ya udah, makasih ya."Radit memang pemikat ulung. Ia selalu membuat Laura merasa senang saat berdekatan dengannya dan membuatnya tak pernah berhenti mengembangkan senyum."Mau ke mana, Dit?" cegah Laura sebelum Radit menjauh."Mau pulang," jawab Radit sambil lalu, kemudian bergegas menuruni lantai dua. Radit tidak ingin berlama-lama bersama Laura. Perempuan itu mengingatkannya pada Andrea.Hari sudah berangsur gelap, tapi Kayla masih belum datang menjemputnya. Sebagian besar karyawan sudah pulang, termasuk resepsionis yang biasany
"Biasanya kamu selalu menyiapkan pakaianku. Setiap selesai mandi sudah ada baju yang terletak di atas tempat tidur untuk aku pakai. Pagi-pagi kamu akan menyediakan sarapan. Biasanya kamu suka yang simpel dan praktis. Dan sebelum ke kantor aku akan mencium kening kamu, dan kamu membalasnya dengan mencium pipiku." Radit menjelaskan pada Kayla tentang kebiasaan-kebiasaan mereka dulu begitu Kayla memintanya."Aku nggak ingat, Dit," ujar Kayla setelah Radit selesai menerangkan."Nggak apa-apa, Yang. Yang penting kamu sudah tahu," ujar Radit berbesar hati."Terus apalagi?" tanya Kayla. Ia ingin tahu banyak tentang masa lalu yang dilupakannya."Kamu ingin tahu tentang apa? Kamu tanya aja, nanti aku jawab.""Apa dulu kamu punya pacar selain aku?"Radit menggeleng cepat. "Nggak ada, cuma kamu satu-satunya."Kayla menatap Radit lekat-lekat, mencoba mencari kejujuran di matanya, dan ia menemukannya. Kayla jadi semakin yakin kalau Radit sangat mencintainya. Ia juga ingin merasakan perasaan yang s
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes