Kepadaku yang suka mengerami rasa.Saat para pujangga menjadikan cinta sebagai bait andalan dalam syair-syairnya, tapi bagiku ini hanya sebatas rasa yang bisa dinikmati sendiri.Aku tidak pernah merasakan indahnya sentuhan atau manisnya tatapan mesra.Tak peduli sekuat apa pun tanda yang kuluapkan ke udara, ia tak pernah terbaca olehmu.Ada rasa ingin menyerah begitu saja. Tapi cinta di dalam dada semakin kuat bertahta.Rasa perih karena dianggap tidak ada telah aku akrabi sedemikian rupa. Meski jujur terkadang aku ingin berteriak karena merasa sudah setengah gila.Pada malam-malam panjang aku bayangkan, betapa indahnya jika cinta ini mendapatkan balasan.Andai tangan bisa saling bertaut dan berikatan, lunas sudah semua penantian.Tapi hidup terus berjalan, dan cintaku tetap saja terpinggirkan.Seperti proses jatuh hati padamu yang tak pernah direncanakan, cintaku betah bertahan dan tak bisa ditinggalkan.Sebesar itu rasaku padamu, dan kamu membalasnya dengan tatapan datar yang menci
Dea menjauhkan diri dari Nabil yang ingin menciumnya."Tidak, jangan lakukan itu," larangnya."Kenapa? Bukannya kamu minta pembuktian? Bukannya kamu ingin membuktikan saya normal atau tidak?"Tapi saya tidak mau kamu melakukannya dengan terpaksa," ucap Dea menolak. Sekuat apa pun cintanya pada Nabil, tapi dia tidak ingin jika Nabil melakukan itu tanpa perasaan.Dea berlalu, kembali ke kamar dan meninggalkan Nabil sendiri.Nabil memandangi langkah kecil Dea yang meninggalkannya. Ia mulai merenung. Apakah sikapnya salah selama ini? Sebetulnya Nabil tidak menghindari Dea. Dia hanya ingin berdamai dengan perasaan dan mencoba menerima kenyataan. Bahwa hidupnya kini bukanlah untuk dirinya sendiri. Dia sudah berbagi kehidupannya dengan seorang perempuan bernama Dea. Dan itu tidak hanya sementara, tapi untuk selamanya.Nabil menyusul Dea ke kamar. Perempuan itu berbaring menghadap Kevin yang tidur di pinggir di dekat dinding. Nabil merebahkan tubuhnya disamping Dea dan menghadap pada tubuh
Dea mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil berwarna putih. Dia baru saja selesai mandi dan keramas. Dea berkaca di cermin. Ia menatap setiap inci refleksi dirinya disana. Rasanya ia masih belum bisa mempercayai apa yang telah terjadi semalam.Dea masih bisa merasakan tangan halus Nabil yang menyentuh kulitnya. Begitu juga dengan belaian-belaian lembut yang membuatnya melambung, masih dengan jelas ia rasakan.Nabil yang juga baru selesai mandi datang menghampiri Dea. Dipeluknya istrinya itu dari belakang, dan menopangkan dagu di pundaknya.Nabil hanya mengukir senyum tanpa berkata apa pun. Mereka saling menatap mesra melalui kaca meja rias yang ada di kamar itu.Nabil membalikkan tubuh Dea agar menghadapnya. Dia mengarahkan tangannya ke wajah perempuan itu. Disingkapnya helai-helai rambut setengah basah yang menutupi wajah ayu itu dan dipandanginya mata indah di hadapannya.Nabil tidak mengerti, apa yang melintas di otaknya hingga ia menarik tubuh Dea ke dalam pelukann
Dan siang itu semua berakhir di ranjang untuk kedua kalinya.Nabil menggeliat, lalu perlahan membuka mata. Tangannya menyentuh sesuatu yang lembut ketika ia hendak menggapai handphone. Nabil membalikkan badan, dan untuk ke sekian kalinya ia harus mengumpat saat melihat Dea yang tidur di sebelahnya hanya memakai bra and panty."Oh, shit! This girl looks so hot!"Tidak bisakah dia berpakaian lengkap untuk menutupi tubuhnya? Apakah selesai mereka bercinta tadi tubuhnya benar-benar kelelahan hingga tak sanggup berpakaian?Nabil buru-buru mengambil selimut untuk menutupi tubuh Dea agar tidak lagi memancingnya. Nabil mengamati wajah istrinya itu. She has a sex appeal. Bahkan dalam keadaan tidur pun perempuan itu mampu membuat otaknya blank.Nabil tersentak ketika melihat jam yang menempel di dinding. Sudah hampir jam enam sore, tapi Kevin masih belum pulang. Entah bagaimana nasib anak itu sekarang. Nabil segera meloncat dari tempat tidur dan memakai baju. Ia ingin membangunkan Dea, tapi ra
"Adek, mainannya pinjamin sama Kaka dulu ya.""Tapi, Pa, mainan Kaka kan udah banyak.""Cuma sebentar kok.""Ya udah, ini, Pa.""Adek, coba botol minumnya tukaran dulu sama Kaka ya.""Tapi aku sukanya warna biru, Pa. Aku nggak mau warna merah.""Cuma sebentar kok.""Ya udah, ini, Pa."*Radit terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuh, lalu melempar kaus tipis yang dipakainya yang kini sudah basah.Ini sudah hari ketiga ia bermimpi tentang hal yang sama. Tentang masa kecil yang sudah dilupakan dan tidak pernah diingatnya lagi.Mengapa sekarang ia memimpikan hal yang sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lalu?Radit tidak tau dan tidak mengerti.Dilihatnya Kayla yang tidur di sebelahnya. Istrinya bergerak-gerak dengan gelisah dalam tidurnya. Mungkin ia juga sedang bermimpi buruk."Yang ..." Radit mengusap-usap halus pipi Kayla untuk membangunkannya. Tapi Kayla sepertinya masih betah di alam mimpi dan tidak terpengaruh oleh Radit yang mengusik tidurnya."Kayla.... sayang.... tol
"Pak, ini kopinya."Radit tersadar dari lamunan panjang tentang masa kecilnya begitu Andrea meletakkan secangkir kopi hitam hangat di atas mejanya."Makasih," jawab Radit lalu meraih cangkir kopi dan mengaduknya."Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?""Nggak ada, kamu boleh lanjutin pekerjaan kamu."Bukannya kembali ke mejanya, Andrea malah berdiri di tempatnya."Gimana kabar Kayla, Pak?" tanyanya kemudian."Baik," jawab Radit singkat."Boleh nggak saya ketemu sama Kayla?"Radit mengangkat wajah menatap Andrea yang berdiri di hadapannya."Untuk apa? Kamu mau menyakiti istri saya lagi?" Setelah kejadian waktu itu Radit memarahi Andrea habis-habisan. Dan sejak itu Andrea tidak pernah berhubungan lagi dengan Kayla. Dan sekarang, tiba-tiba saja Andrea ingin bertemu dengan Kayla. Radit langsung waspada. Sinyal di kepalanya memberi tanda."Ih, Bapak suudzon terus sama saya," kata Andrea memberengut, lalu kembali ke meja kerjanya.Radit kembali menyambung lamunannya yang sempat terhenti. Mem
Huek....Dea menelungkup di depan wastafel. Ia baru tidur hampir jam tiga pagi. Dan setelah bangun pagi ini, rasa mual menyerangnya bertubi-tubi. Sudah tiga minggu belakangan ia selalu kurang tidur karena aktivitas manusia dewasa yang mereka lakukan hampir setiap hari.Huek.....Dea mencoba mengatur napas. Dia tidak pernah merasa seperti ini. Ini pasti karena terlalu kelelahan dan kurang istirahat.Nabil membuka pintu kamar mandi. Wajahnya menyembul dengan raut cemas."Kamu kenapa?" tanyanya pada Dea."Temani saya ke dokter. Mungkin saya sakit."*Dea duduk dengan tidak nyaman di ruang tunggu dokter umum di sebuah rumah sakit. Nabil asyik memainkan gawai di sebelahnya. Kebetulan hari ini hari sabtu, Nabil tidak bekerja dan bisa menemani Dea. Beberapa pasien lalu lalang dengan membawa masalahnya masing-masing. Sebenarnya Dea benci rumah sakit. Ia benci baunya yang senada. Bau kecemasan. Bau kekhawatiran. Bau kepanikan dan juga ketakutan."Ibu Dea!" Seorang perawat menyembulkan kepala d
Sejak Dea hamil, Nabil menjadi lebih protektif. Ia tidak mengizinkan istrinya itu banyak beraktivititas apalagi sampai melakukan kegiatan yang berat.Nabil bahkan rela terjun ke dapur dan melakukan pekerjaan rumah tangga untuk menggantikan Dea. Nabil melakukan semuanya. Mulai dari menyapu rumah, mengepel, dan memasak. Hanya saja untuk mencuci baju ia menyerahkannya ke laundry."Boros banget. Percuma ada istri," itu komentar Ari waktu Nabil menceritakan tentang pakaiannya yang diurus laundry."Istri bukan pembantu kan?" Nabil men skak-mat Ari balik sehingga membuatnya tak berkutik.Layaknya wanita hamil, Dea juga mengalami morning sickness. Tidak hanya di pagi hari, bahkan hampir setiap waktu.Pagi ini adalah yang paling parah. Dea muntah sejadinya mengeluarkan semua isi perut sampai tidak ada yang bisa dikeluarkannya lagi."Hari ini saya izin aja, nggak usah kerja," cetus Nabil melihat keadaan Dea. Ia sungguh tidak tega meninggalkan Dea sendiri di rumah."Ngak usah, kamu kerja aja. S
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes