Kayla sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan sebelumnya Kayla juga sudah menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan kejiwaan. Yang paling menggembirakan, dari hasil tes dan pemeriksaan tersebut dinyatakan bahwa Kayla terbebas dari gangguan jiwa jenis apapun, termasuk bipolar. Padahal dulu dokter Sandra memvonis bahwa Kayla tidak akan bisa sembuh dan seumur hidup akan bergantung pada obat-obatan. Rasanya ini seperti keajaiban yang benar-benar ada di dunia nyata.Setelah semua selesai akhirnya mereka pun pulang dan sudah kembali berada di rumah. Melihat kondisi Kayla yang masih berada di masa recovery, Radit berpikir bahwa mereka butuh seseorang untuk membantu Kayla di rumah, sekaligus menjaga Kayla saat dirinya tidak berada di rumah.Radit pun meminta Lisa, salah satu pekerja di butik mereka untuk bekerja di rumah mereka sementara sampai Kayla betul-betul pulih.* * * Di tempat yang lain.Sejak Keyzia tiada, Nabil tinggal di rumah papa. Kebanyakan barang-barangnya sudah ia
Dea terus memikirkan kata-kata Nabil. Ingin rasa hati untuk tidak mempedulikannya. Namun terus terngiang-ngiang di telinganya. Semua ini membuat Dea kebingungan. Harus pergi atau bertahan?Arrggghh …Kenapa kata-katanya bisa mempengaruhiku? Padahal aku tidak ingin lagi menganggapnya ada. Jika tetap berada disini Dea takut akan kembali terjatuh seperti dulu. Laki-laki itu sudah mencampakkannya, tapi sialnya dengan mudah Dea memberi maaf. Dan sekali lagi, semakin Dea berusaha melupakannya. Ingatannya kian bekerja dengan baik. Bertambah menguat.Oke, aku akan pergi dari sini. Siapa pun tidak akan bisa menggoyahkanku. Dea membulatkan tekad.Namun, di saat ia sudah tidak tergoyahkan, masih ada saja angin kencang yang ingin membuatnya tumbang.“Aku masih butuh kamu di kantor,” ujar Alan mencegah kepergian Dea.“Kamu bisa rekrut pegawai baru, Lan,” Dea memberi solusi.“Tapi akan mulai dari nol lagi,” Alan bersikukuh.Menghela napas berat dan hampir saja goyah, akhirnya Dea mampu berpegang t
Radit ingin sharing isi kepalanya dengan Kayla, tapi ia tidak ingin membebani istrinya itu. Alhasil, Radit memendam sendiri di hatinya. Hari ini, seperti biasa Radit menjalankan rutinitasnya. Bekerja dan bekerja. Saat sedang konsentrasi memeriksa beberapa berkas, Radit merasa ada seseorang berdiri di hadapannya. Tapi siapa?Tidak mungkin Ryana. Meski pintu ruangannya setengah terbuka, namun sekretarisnya itu sangat sopan. Tidak mungkin masuk begitu saja.Menjawab rasa ingin tahunya, Radit mengangkat muka. Dan, begitu sepasang matanya menangkap sosok perempuan yang kini berdiri di hadapannya, Radit merasa tubuhnya gemetar. Radit mengerjap, guna meyakinkan bahwa penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Dan ternyata pemandangannya tidak berubah. Sosok itu benar-benar ada dan nyata.Astaga! Malapetaka datang lagi.Tidak, sepertinya ini bukan malapetaka, tapi solusi dari penyelesaian konflik. Dia datang sendiri tanpa diundang."Halo, Dit, apa kabar? Masih ingat aku?" Sosok perempuan d
Setelah pertemuannya dengan Andrea di kantor tadi siang, Radit berubah pikiran untuk menceritakan masalah tersebut pada Kayla. Dan tanggapan Kayla ternyata sama sekali di luar dugaannya.“Ikhlasin aja ya … Toh sekarang kehidupan kita sudah berubah kan? Kita bahkan sudah memiliki semua melebihi dari yang kita miliki dulu,” tutur Kayla lembut.Kombinasi suara dan tatapan lembut itu ternyata mampu meredam emosi Radit. Gejolak di dadanya seketika mereda. Kayla ada benarnya. Semua yang mereka miliki sekarang sudah berkali lipat dari yang sudah mereka lepas dulu. Jadi, mungkin merelakan dan mengikhlaskan adalah tindakan yang paling tepat. Setelah dipikir berulang kali, berhubungan dengan Andrea sama halnya dengan mencari masalah besar. Biarlah, hukum tuhan pasti berlaku.Radit kemudian merebahkan diri di sebelah Kayla yang berbaring di tempat tidur. Dilingkarkannya tangan ke tubuh istrinya itu dan menyembunyikan kepalanya di balik leher Kayla. Wangi vanilla terhirup sempurna oleh hidungnya
Semua bagai mimpi buruk yang menjadi nyata bagi Kayla. Terjadi sangat cepat dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sedikit pun Kayla tidak pernah menyangka dan berfirasat bahwa percakapan singkat serta kemesraan mereka di ruang belakang waktu itu adalah tanda dari Radit kalau dia akan pergi selamanya. Terlalu menyakitkan.Gerimis kecil tanpa henti mengiringi pemakaman Radit. Langit seolah berduka dan ikut menangis. Wajah-wajah sedih mengelilingi pusara Radit. Begitu banyak yang melepas kepergian Radit. Semuanya tidak menyangka kalau Radit akan pergi secepat ini. Tapi takdir tuhan memang tidak ada yang tahu, karena jalan hidup setiap orang memang berbeda.Kayla yang sudah seperti mayat hidup hanya bisa terpaku dengan kepala tersandar ke bahu Lisa. Sudah sejak lama ia tak berhenti menangis. Tepat sejak ia menyaksikan diri Radit terbujur kaku di jalan raya dengan tubuh berlumuran darah. Bahkan Radit sedikit pun tidak membiarkannya menabur harapan. Radit langsung pergi saat itu juga.Ai
Kayla mematut diri di depan cermin. Jejak panjang air mata membayang samar di mukanya. Matanya bengkak dan merah. Rasanya ia sudah lelah menangis, namun air matanya tak kunjung berhenti.Kayla ingin mengunjungi makam Radit hari ini. Ia ingin mencurahkan perasaannya disana.Begitu sudah siap dan ingin berangkat, Kayla teringat sesuatu. Dengan apa ia akan kesana? Aku begitu bodoh. Bahkan, menyetir pun tidak bisa, pikirnya.Akhirnya Kayla memutuskan untuk memesan taksi. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa membawanya kesana. Kayla langsung pergi begitu taksi datang. Ia tidak menemukan Lisa saat akan pergi. Mungkin dia sedang berjalan-jalan membawa Kayra keliling komplek. Kebetulan hari ini cuaca tidak begitu panas.Sepi menyambut saat Kayla sampai. Air matanya kembali turun. Tidak percaya rasanya kalau Radit sudah tiada. Tubuhnya telah menyatu dengan tanah.Kayla mengusap-usap pusara Radit dengan tangannya. Sementara matanya menatap sendu gundukan tanah itu. Sampai detik ini Kayla mas
Sudah hari ketiga sejak kepergian Radit, namun aroma duka masih begitu kental menghiasi wajah sang istri.Kayla, perempuan berkepala tiga, berdiri di sisi jendela kamar dengan pandangan kosong. Halaman rumahnya sudah kosong. Tidak ada lagi papan bunga yang dua hari terakhir memenuhi pekarangan. Semua sudah diambil pemiliknya. Namun kesedihannya tak jua lenyap.Kayla memindahkan mata ke langit luas yang gelap, segelap perasaannya saat ini. Sepertinya hujan akan turun lagi. Beberapa hari terakhir memang tiada hari tanpa guyuran air. Langit seolah bersedih dan ikut menangisi kepergian Radit. Air mata Kayla meleleh lagi. Padahal, ia sudah bertekad tidak akan menangis. Namun, hatinya yang lemah dan rapuh membuatnya tak mampu bertahan. Ketukan di pintu kamar mengharuskan Kayla untuk menoleh. Buru-buru Kayla menghapus air matanya, kemudian melangkah pelan membuka pintu.Lisa dengan Kayra yang ada di gendongannya langsung melangkah masuk begitu pintu terbuka dan meletakkan Kayra yang sudah t
Kayla masih bergelung di bawah selimut ketika matahari sudah beranjak naik. Malam tadi, ia benar-benar tidak tidur. Selain harus mengurus Kayra yang rewel, ia sengaja menahan matanya agar tidak tertidur. Ketakutan untuk bertemu dengan Radit di dalam mimpi menjadi alasannya. Bukan Kayla tidak suka, tapi Kayla khawatir hatinya akan semakin ambyar begitu saat terjaga Radit ternyata tidak ada di dunia nyata.Kayra yang menarik-narik tangannya membuat Kayla terpaksa membuka mata yang masih berat.“Bund … Bund … papa mana?”Mendengar pertanyaan Kayra itu hati Kayla kembali teriris. Baru saja membuka mata kenyataan pahit itu yang harus dihadapinya. Memang belum banyak kosa kata yang bisa diucapkan Kayra. Sehingga yang dikatakannya tidak jauh-jauh dari papa, bunda, makan, minum, susu, bobo, dan kata-kata sebangsanya.“Bund … papa mana?” ulang Kayra dan menatap Kayla dengan mata penuh tanda tanya.Kayla balas memandang muka polos Kayra dengan sorot mata sedih dan menekan perasaannya dalam-dala
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat