“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!”
Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya.Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula.Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan.“Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.”Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai.“Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu.Tok Tok Tok“Ca, kamu enggak apa – apa? Kenapa lama banget di dalam?”Ketukan pintu di iringi suara Alvian, membuat jantung Chava seakan melompat keluar. Terhitung sudah satu jam, Chava berada di kamar mandi, menghabiskan waktu dengan mencari – cari pakaiannya.“Aku enggak apa – apa! Sebentar lagi keluar.” Teriak Chava pada Alvian di luar sana.Sebenarnya Chava enggan memakai baju yang menurut Chava kurang bahan ini, apalagi mengingat malam ini adalah malam pertamanya dengan Alvian.Chava memang sangat mencintai Alvian, tapi Chava benar – benar takut untuk melakukan hubungan intim dengan Alvian. Bukan takut, namun Chava malu dan bingung harus melakukan apa.“Oke. Aku tunggu.”Mendadak perut Chava merasa mulas, hanya mendengar kata “Tunggu” saja dari Alvian. Chava menghirup udara dalam – dalam, lalu mengeluarkan perlahan, mengulanginya selama tiga kali.“Enggak apa – apa, Chava. Cuman lakuin malam pertama aja, sebentar. Itu kewajiban kamu untuk melayani Aim, dia suami kamu. Ayo kamu pasti bisa!” ujarnya menyemangati diri sendiri.Setelah merasa detak jantungnya berdetak normal, Chava mengambil salah satu pakaian yang dia sebut kurang bahan itu, kemudian terpaksa memakainya. Dia menyemprotkan parfum pada lehernya, lalu pada pergelangan tangan.Tak lupa, dia juga memoleskan make up pada wajahnya, tidak terlalu tebal, masih terlihat natural.Chava melihat dirinya di cermin, memastikan tidak ada yang aneh baik itu dari riasannya sampai ke baju yang dia pakai.Perlahan Chava menaikan sudut bibirnya, meski dia sedang gugup, dia tidak boleh terlihat gugup di hadapan Alvian.***Alvian kini berkutat pada ponselnya, membalas pesan – pesan yang di kirimkan oleh teman – temannya dan para rekan bisnisnya yang mengucapkan selamat atas pernikahan dia dan Chava.Alvian membetulkan posisi duduknya di pinggir ranjang, saat mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Alvian melirik pada Chava yang sedang menutup pintu kamar mandi, ketika Chava membalikan badannya, Alvian mendadak membeku. Mata Alvian bergerak menatap Chava dari bawah hingga ke atas, dia menelan ludahnya, tubuhnya bahkan terasa panas dingin sekarang.“Abang, maaf aku lama.” Ucap sang istri dengan di iringi senyuman. Senyuman yang bahkan kini terasa indah dia lihat.Chava kini mengenakan lingerie berbahan satin, berwarna merah maroon dengan tali spaghetti yang Alvian yakini, jika tali itu akan gampang terputus. Baju tersebut bahkan sangat pendek, tak hanya itu, lekukan tubuh Chava terlihat lebih menonjol.Alvian merasakan tubuhnya berkeringat dingin, matanya bahkan tidak berkedip. Alvian merasa gerah, apalagi ketika melihat wajah Chava yang lebih cantik dari biasanya. Sebagai pria yang normal, bohong jika Alvian tidak tergoda.“Abang, kamu kenapa?” Alvian terlalu mengagumi Chava, hingga tak sadar kini istrinya itu sudah duduk di samping Alvian.“Eh – aku enggak apa - apa.” Jawab dia penuh dengan kebohongan.“Masa sih? Sebentar,” Chava menempelkan telapak tangannya pada kening Alvian, yang membuat tubuh Alvian semakin kegerahan.“Ah aku pikir kamu sakit. Beneran enggak apa – apa ternyata.”Setelah melepaskan telapak tangannya pada kening Alvian. Chava mengalihkan tatapannya ke arah depan, tubuhnya bergidik, suhu di ruangan ini dingin dan terasa menusuk ke kulitnya.Mendadak suasana menjadi canggung, baik Alvian dan Chava sama – sama menutup mulutnya rapat – rapat. Yang terdengar sekarang hanya suara deru napas keduanya dan suara jam yang menempel di dinding.“Ca, mau tidur?” ajak Alvian dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“I-ya, mau.” Chava memejamkan mata, dia tidak sengaja menunjukan kegugupannya.Saat Chava ingin menggeser posisinya, tidak sengaja dia menyentuh punggung tangan Alvian yang berada di atas ranjang.Alvian seperti tersengat oleh aliran listrik, mati – matian dia menetralkan detak jantungnya, kini kembali berdegup kencang, lebih parah lagi kini bagian tubuh bawahnya terbangun.“Eh? Maaf, aku gak sengaja.” Sesal Chava.Bau parfum Chava yang sangat harum, kini memasuki hidung Alvian. Alvian benar – benar sudah tidak tahan sekarang, dia kini beralih mengenggam tangan Chava.Tatapan mata Alvian kini menyala, jakunnya naik turun. Alvian seperti singa yang ingin menerkam mangsanya, sehingga membuat pupil mata Chava melebar dan Chava menggigit bibir bawahnya. Chava menjadi sangat gugup sekarang.“Boleh aku cium kamu, sekarang?”“Eh?”Tanpa membiarkan Chava menjawab pertanyaan darinya, Alvian terlebih dahulu menarik tubuh Chava lebih dekat, kemudian satu tangannya memegang pipi Chava.Ibu jari Alvian kini mengelus bibir Chava yang merah. Dia bahkan tidak melepaskan tatapan matanya pada mata Chava, deru napas Alvian bahkan semakin mendekat.Chava menutup matanya ketika bibir Alvian menyentuh bibirnya. Bibir Alvian bergerak melumat bibir Chava yang manis, Chava pun berusaha mengimbangi permainan Alvian.Ciuman itu terasa memabukan, ciuman yang tidak hanya ada nafsu di dalamnya, Chava merasakan ada cinta yang terselip.Alvian melepaskan ciumannya, menjauhkan wajahnya dari Chava. “Ca, boleh aku sentuh kamu lebih dari ini?”“Boleh. Aku milik kamu sekarang. Cinta aku, rasa sayang aku dan tubuh aku, milik kamu.”Mulut Alvian melengkung membentuk senyuman, “terima kasih, Chava.” Ujarnya.Alvian kembali mendekatkan wajahnya pada Chava, menyatukan kembali bibirnya dengan bibir Chava. Bahkan tangan Alvian mulai melepaskan tali yang berada di baju Chava dan membaringkan tubuh Chava secara perlahan.Perasaan cemas Chava untuk malam ini, mendadak hilang. Tergantikan oleh desahan – desahan yang kini mengalun indah. Chava berhasil menyatu dengan cintanya, yaitu Alvian.***Bersambung ...Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari
“Hallo, kakak ipar? Ada apa menelpon?”Suara Mario di seberang sana membuat Chava memutar bola matanya. Bahkan suara Mario terdengar biasa saja, padahal Mario adalah penyebab kekacauan ini — karena telepon dari Mario beberapa hari lalu, membuat alvian menjadi sibuk bekerja ketika berbulan madu.“Enggak usah so manis, deh!” ketus Chava. Tujuan Chava menelpon Mario untuk protes.“Aku ada salah apa sama kamu? Perasaan aku enggak buat salah apa – apa.” Jawab Mario binggung.“Enggak punya gimana? Jelas – jelas kamu udah bikin kesalahan fatal!” Chava meneriaki Mario.Napas Chava bahkan tersenggal – senggal sekarang, dia benar – benar sudah muak.“Hah? Kesalahan apa?”“Kalau kamu enggak telepon Alvian beberapa hari lalu, Alvian pasti gak akan sibuk sama kerjaannya. Mario, ini abang kamu tuh sama aku lagi honeymoon. Bisa – bisanya kamu hubungin dia!”“Loh?”Chava dapat mendengar suara tawa Mario di speaker ponselnya. Mario bukannya meminta maaf malah mentertawakan Chava.Chava mengepalkan ta
“Ca, kamu serius mau pulang?”Chava menghentikan kegiatan melipat pakaiannya ketika mendengar suara Alvian di belakang.“Iya.” Jawab Chava tanpa menoleh pada Alvian.Chava sudah malas berada disini, maka dari itu setelah berdebat dengan Alvian beberapa jam lalu, Chava memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Suaminya itu bahkan baru menyusul Chava setelah berjam – jam.Jika Alvian datang lebih awal, mungkin Chava akan memikirkan ulang untuk pulang sekarang. Namun Alvian datang disaat Chava sudah enggan untuk memikirkan ulang kepulangannya.Terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah Chava. “Ca, i’m really sorry. Please, forgive me. Kita masih bisa ada disini, untuk bulan madu kita, enggak perlu pulang.”“Enggak mau. Aku lebih baik pulang daripada disini terus sama kamu yang sibuk kerja. Toh, apa bedanya di Bali dan di Jakarta? Sama aja.”Chava mulai melanjutkan kegiatannya lagi, pakaian - pakaian yang sudah selesai dia lipat, dia masukan ke koper.Chava mulai menata pakaian yang
“Gimana Honeymoon kalian? Seru?”Chava menoleh pada ibunya yang kini memandang Chava dan Alvian dengan tatapan yang melebar, seakan tidak sabar mendengar jawaban dari mereka.Mulut Chava melengkung membentuk senyuman, matanya bahkan berbinar – binar.“Seru banget, Ma!” ucap Chava dengan nada yang seakan memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alvian tersenyum simpul.Ibunya kini tersenyum semakin lebar, merasakan kebahagiaan yang di ucapkan oleh anak perempuannya. Tidak sia – sia ibunya mengundang anak dan menantunya yang baru saja pulang dari honeymoon untuk makan malam bersama.“Kalau emang seru, kenapa kalian pulang lebih awal? Bukannya kalian seharusnya satu minggu ada disana ya?” Tanya Gara, yang membuat Chava dan Alvian meneguk ludahnya.Pasangan suami-istri itu terlihat kebingungan, namun keduanya berusaha menyembunyikan hal itu. Padahal tangan Chava yang berada di bawah meja mengepal dan Alvian yang tubuhnya mulai keringatan.Alvian melirik Chava, dia mengerti bahwa istrinya tidak
Chava tidak akan menyangka bahwa dia dan Alvian benar – benar bukan termasuk pasangan pengantin baru yang sedang di mabuk cinta. Pernikahannya baru saja berjalan satu minggu, namun Chava merasa tidak ada kehangatan seperti pasangan pengantin baru yang lain.Bahkan rumah yang tidak terlalu besar ini, Chava benar – benar merasakan kesepian. Padahal dia tinggal dengan Alvian. Dingin, sesak, suasana di rumah ini.“Aku pulang.” Suara Alvian kini terdengar memasuki telinga Chava.Chava yang sedang menonton sebuah film di Televisi nya, melirik Alvian yang kini sudah berdiri di hadapannya. Chava pikir Alvian akan mengatakan sesuatu, namun nyatanya setelah pandangan mata mereka bertemu, Alvian membawa langkahnya menuju kamar.Chava menggigit bibir bawahnya, pandangannya kini memburam akibat air yang berada di pelupuk matanya. Chava menengadahkan kepalanya ke atas, berusaha mencegah air tersebut untuk keluar dari matanya.“Enggak. Aku enggak boleh nangis.” Ujarnya yang kini mengibas – ibaskan
Lewat tengah malam, Alvian baru saja sampai ke rumah miliknya dan Chava. Pekerjaan Alvian semakin menumpuk, rasanya Alvian bisa – bisa sesak karena pekerjaan ini.Bahkan Alvian belum baikan dengan Chava. Dia memilih untuk memberikan Chava jarak, agar emosi Chava mereda dulu.Omong – omong mengingat Chava, Alvian baru sadar bahwa rumahnya gelap gulita seperti tidak berpenghuni. Alvian memasuki kamarnya, dahinya mengeryit saat melihat tidak ada siapa – siapa disana.“Ca?” ucapnya memanggil sang istri, dengan membuka pintu kamar mandi.Tetap saja Alvian tidak menemukan Chava. Alvian meraih ponselnya yang berada di saku celananya, bermaksud untuk menghubungi Chava.Namun sebelum Alvian menghubungi Chava, ponselnya terlebih dahulu menunjukan ada panggilan masuk dari Eros — suami Joya.“Hallo?” sapa Eros pada Alvian yang kini mengangkat teleponnya.“Ada apa?” ucap Alvian tanpa basa – basi, dia juga merasa bingung karena tiba – tiba saja Eros menghubunginya.“Bang Ian, ini Chava mabuk berat
Alvian memasuki kembali kerumunan orang – orang yang sedang menari. Musik yang keras, membuat kepala Alvian yang sudah pusing akibat pekerjaan, semakin pusing. Namun dia tidak berhenti mencari Chava.Rasa kekhawatirannya seakan mengalahkan semua rasa pusing dan lelah yang dia alami. Sepasang mata Alvian kini tertuju pada seorang perempuan yang sedang menari menikmati musik yang di mainkan.Tiba – tiba saja hati Alvian terasa panas, kepalanya menjadi mendidih melihat perempuan tersebut menari tidak sendirian, ada laki – laki lain yang menari di belakang perempuan itu.Alvian berjalan ke arah mereka dengan tangan yang mengepal. “Get away from my wife!” Alvian menyingkirkan tangan laki – laki itu dari pinggang Chava.Dia menarik Chava ke dalam pelukannya. Bau alkohol kini memasuki hidungnya.“Your wife? She’s my girl.” Ucap laki – laki itu, yang membuat hati Alvian semakin kepanasan. Bisa – bisanya laki – laki itu mengaku – ngaku.“Enggak usah ngaku – ngaku. Saya suaminya.” Alvian menunj
Alvian memarkirkan mobilnya di parkiran rumah. Dia melirik Chava yang duduk di sebelahnya, istrinya itu kini sedang tertidur.Alvian bersyukur Chava tertidur, karena di sepanjang perjalanan tadi, Chava terus memberontak dan mengoceh minta untuk tidak pulang.Menghembuskan napas dengan kasar, Alvian mengelap keringat yang kini membasahi pelipisnya. Mencari Chava dan mengendong Chava, cukup menguras energi.Setelahnya Alvian melepas Seat belt yang membelit tubuhnya, kemudian segera keluar dari mobil, memutarinya dan membuka pintu mobil sebelah kirinya.“Ca, kita udah sampai rumah.” Lirih Alvian dengan telapak tangan yang mengelus pipi Chava.Chava hanya merengek, tidak berniat membuka mata. Lagi – lagi Alvian merasa bersyukur, jika Chava sudah terlelap, itu artinya Chava tidak akan mabuk lagi.Namun jika Chava masih membuka mata, istrinya itu akan terus tidak sadarkan diri. Bahkan bisa saja memberontak terus.“Aku gendong ya … “ ijin Alvian pada Chava yang masih terlelap.Alvian melepas
Alvian menghela napas panjang sambil berbaring di sofa di ruang TV, menatap langit-langit dengan pikiran yang melayang-layang. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan pada Chava? Seharian ini, Chava menghindarinya, tak mau bicara sedikit pun. Ia bahkan melarang Alvian masuk ke kamar, membuatnya terpaksa tidur di ruang TV.Alvian sudah mencoba berbagai cara untuk meluluhkan hati Chava. Berkali-kali ia meminta maaf, meski ia sendiri tak merasa telah melakukan kesalahan yang cukup serius untuk membuat Chava marah. Namun, tetap saja Chava tak memberi respons.“Ting!”Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Ia meraih ponsel yang terletak di sampingnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Mata Alvian terbelalak. Pesan dari Chava itu langsung membuatnya bergegas.[ Cepat masuk ke kamar, kalau lima menit kamu enggak masuk, aku akan kunci lagi! ]Tanpa pikir panjang, Alvian segera melompat dari sofa dan berlari menuju kamar. Benar saja, pintu kamar yang tadinya terkunci kin
“Geli banget deh aku!” jerit Joya, begitu masuk ke dalam ruangan. Suaranya melengking, membuat Chava dan Binar langsung mengerutkan dahi. Joya baru tiba, tapi sudah menghebohkan suasana. Wajahnya menahan geli sekaligus ngeri, bahkan bahunya ikut bergidik.“Kenapa?” Binar bertanya, penasaran.Joya duduk di depan mereka, menarik napas sebelum mengeluarkan ponselnya. “Nih, lihat,” katanya sambil menunjuk layar ponselnya yang menampilkan foto Gavin, mantan pacar Chava, bersama seorang pria.Sekilas, foto itu terlihat biasa saja, hanya dua orang yang duduk bersama. Namun, ketika Chava dan Binar melihat caption foto itu, mereka langsung mengerti mengapa Joya sampai merinding. Tertulis dengan jelas: "My beloved, Gavin."Joya menarik kembali ponselnya, lalu menggeleng pelan sambil menghela napas. “Si Gavin, setelah putus dari kamu, jadi aneh banget kelakuannya. Masa pacaran sama sejenisnya, sih?”Faktanya, Chava memang sudah tahu soal ini sejak lama, bahkan kabar ini sempat membantunya untuk
Gavin melangkah keluar dari ruangan Alvian, berusaha tetap tenang meski hatinya bergolak. Situasi semakin tidak nyaman, dan yang lebih menghantam perasaannya adalah pengakuan mantan kekasihnya, Chava, bahwa ia telah menikah dengan Alvian. Meskipun Gavin sudah tahu hal ini lewat unggahan media sosial teman Chava, mendengarnya langsung dari mulut Chava menimbulkan rasa sakit yang mendalam.Sejenak, Gavin menyesali keputusannya di masa lalu. Seandainya saja ia bisa memperlakukan Chava dengan lebih baik, mungkin cincin yang melingkar di jari manis Chava adalah cincin dari dirinya, bukan dari Alvian. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan Chava dalam kondisi seperti ini.Saat Gavin mengetahui kerja sama yang datang dari perusahaan milik Alvian, Gavin langsung menyetujuinya. Gavin bahkan berani menunjukan wajahnya pada Alvian, padahal orang – orang yang pernah bekerja sama dengan dia tidak pernah ada yang tahu wajah Gavin. Gavin juga sengaja menyamarkan namanya.Hal tersebut dia lakuk
Hari ini hari pertama Alvian bekerja sama dengan Gavin, mereka akan bertemu. Pertemuan ini adalah awal dari rencana pembangunan kantor baru Alvian, namun rasa gelisah menguasai hatinya. Alvian merasa enggan, bahkan sedikit malas, untuk bertatap muka apalagi berbicara dengan Gavin.Namun, demi Chava, Alvian tahu ia harus melakukannya. Ia bertekad menyingkirkan perasaannya demi keprofesionalan dia.Saat pintu ruangannya terbuka, Alvian melihat Mario masuk lebih dulu, diikuti oleh Gavin di belakangnya. "Pak Alvian, ini Pak Gavin," kata Mario, mencoba mencairkan suasana dengan sapaan formal yang terdengar datar.Alvian bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan dengan sikap profesional meskipun hatinya terasa berat. Ia sadar, bagaimanapun, Gavin adalah tamunya, dan sebagai tuan rumah, ia harus menunjukkan sikap yang baik. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk—rasa tidak nyaman yang tak bisa ia abaikan.Gavin menyambut uluran tangan Alvian dengan senyuman lebar, membuat suasana seakan-ak
Sepulang dari kantor, Alvian sama sekali tidak membuka mulut, suaranya pun tidak Chava dengar. Wajah Alvian memang terlihat sudah biasa saja, tidak menunjukan ekspresi marah seperti saat di Kantor tadi. Maka dari itu Chava simpulkan, suaminya masih kesal padanya.Chava melingkarkan kedua tangannya dari arah belakang pada dada Alvian yang sedang menyesap rokok elektronik di Rooftop rumahnya. Dia juga menempelkan kepalanya pada punggung Alvian. Alvian yang tiba – tiba saja dipeluk, membuat Alvian terkejut, namun tidak membuat dia berbalik untuk melihat Chava.“Masuk, Ca. Aku lagi ngerokok.” Akhirnya Alvian mengeluarkan suara hanya untuk memperingatkan Chava.Alvian jika ingin merokok, dia akan merokok di Rooftop ataupun ditempat lain yang tidak ada Chava. Karena Alvian tidak ingin membuat Chava terbatuk – batuk menghirup asap rokok.“Enggak mau,” tolak Chava, dia memang sengaja menyusul Alvian ke Rooftop untuk membujuk Alvian. Dia bahkan menahan agar dia tidak batuk saat asap rokok itu
Alvian sudah menjalankan rutinitas harian seperti biasanya, setelah mengetahui kondisi Chava mulai membaik. Bahkan istrinya itu sudah pulang ke rumah dua hari lalu. Hanya saja Dokter memberikan pesan pada Alvian, agar tetap mengawasi Chava.Tadinya Alvian menolak untuk pergi bekerja, dia berencana akan mengambil cuti kembali karena kondisi Chava. Namun Chava menolak, dia menyuruh Alvian untuk pergi bekerja, karena Chava tahu Alvian sudah banyak sekali tidak hadir. Meski perusahaan itu milik Alvian, tapi Chava ingin Alvian pula menepati peraturan yang dia buat.“Bos, apa kamu tahu siapa arsitek yang akan mendesain pembangunan kantor baru, kamu?” Tanya Mario yang kini sedang duduk diseberang Alvian.“Tidak, saya hanya tahu bahwa nama dia Alend.” Ucap Alvian yang tidak mengalihkan perhatian matanya saat Mario bertanya.Memang Alvian berencana untuk membangun kantor baru yang lebih luas dari kantornya sekarang. Alvian akan lebih banyak merekrut karyawan, apalagi penjualan dari usaha pakai
Perlahan demi perlahan kelopak mata Chava mulai terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah langit – langit ruangan yang sama sekali dia tidak kenali. Chava mengeryitkan dahi, mencoba mengingat hal yang terjadi.Terakhir kali dirinya sedang berbelanja bersama Alvian, kemudian dia menyuruh Alvian untuk ke mobil terlebih dahulu karena dia akan membawa kue Red velvet yang sudah dia pesan, ketika dia selesai membawa kue dia tidak sengaja menabrak seseorang. Seseorang itu adalah Gavin, mantan kekasihnya.Mendadak rasa takut itu mulai muncul kembali, tubuh Chava kembali menegang akan tetapi kini dia merasakan punggung tangan sebelah kirinya hangat.“Tenang, Sayang.” Suara Alvian kini terdengar merdu di telinga Chava, bagai melodi indah yang menenangkan.Chava menolehkan kepalanya, kini dia dapat melihat Alvian yang sedang duduk disampingnya dan mengembangkan senyuman. Pakaian Suaminya itu bahkan masih sama seperti terakhir kali dia pakai. Meski Alvian tersenyum, Chava bisa melihat tatapan p
“Bang ian, Teh Ca kenapa? Kok bisa sampai masuk Rumah sakit?!”Alvian terperanjat kaget, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba – tiba saja dikejutkan oleh suara adik iparnya yang baru saja memasuki ruangan Chava dengan tergesa – gesa. Bahkan adik iparnya itu, tidak berbasa – basi mengetuk pintu terlebih dahulu.“Ssst, jangan berisik!” Peringat Alvian pada Dylan, Chava masih belum bangun, dia tidak ingin istrinya itu terbangun karena terpaksa. “Ayo kita ngobrol di luar?” Lanjut Alvian kemudian beranjak dari duduknya, menghampiri Dylan yang masih berdiri dengan napas yang tersenggal – senggal.“Yaudah, ayo!” Ucap Dylan menyetujui Alvian.Alvian mengikuti langkah Dylan yang keluar terlebih dahulu. Tidak ada Gara, maka ada Dylan yang sifatnya sangat sama dengan teman dekatnya itu. Bahkan ketika dia mengabari Dylan lewat sambungan telepon, adik iparnya itu terdengar sangat panik.Chava memang beruntung soal keluarga, dia memiliki tiga orang Pria yang melindunginya, ada Papanya, Gara dan D
Chava dan Alvian sudah beres melakukan belanja bulanan, mereka membeli beberapa kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Kegiatan ini sungguh menjadi kegiatan yang selama ini Chava inginkan, maka dari itu Chava sangat bersemangat. Alvian juga tidak banyak mendebat dan tidak banyak keinginan, dia lebih menurut apa yang Chava mau.Kini Chava sedang mengambil Kue red velvet di salah satu toko roti langganan dia, Chava juga sudah menyuruh Suaminya untuk menunggu di mobil, karena merasa kasihan jika Alvian harus membawa barang belanjaan di Mall sebesar ini.“Ini ya, Mbak, Cake red velvet ukuran mediumnya. Terima kasih telah berbelanja disini.” Ucap Sang kasir yang kemudian memberikan kue red velvet kesukaan Chava.Dengan antusias Chava menerima kue itu, mencium baunya saja sudah bisa membuat Chava merasa tidak sabar untuk memakan kue itu, “iya, Terima kasih kembali.” Jawab Chava.Chava mulai berjalan keluar dari Toko roti itu, bahkan Chava tidak melihat jalan dengan benar, pandangannya sibuk m