Chava tersenyum diam – diam melihat Alvian yang kini masih tidak menyadari kehadiran Chava di ruangan kerjanya. Chava sengaja datang ke kantor milik Alvian, tanpa memberitahunya. Tujuan dia melakukan itu untuk mengejutkan Alvian.Selain itu, dia ingin melihat Alvian yang sedang bekerja di kantor, karena jujur saja Chava sudah bosan jika melihat Alvian sibuk terus – menerus mengerjakan kerjaan di rumah. Setidaknya ada suasana baru menyaksikan Alvian yang bekerja.“Sibuk banget keliatannya?” Chava membuka mulutnya untuk menyadarkan Alvian.Alvian yang pandangannya hampir berjam – jam tertuju pada layar Komputer yang tertera pada meja kerja, kini mengalihkan pandangannya.Dahi yang sedari tadi mengeryit, sudut bibir yang menurun ke bawah, kini di gantikan dengan mata yang membulat serta senyum yang mulai mengembang pada bibirnya.“Loh? Chava, Hai.” Sapa Alvian yang sama sekali tidak melunturkan senyumnya, seakan melihat Chava seperti melihat berlian yang mahal. Bahkan kini Alvian berdiri
“Abang, kok gitu sih? Udah sekalian aja Mario makan sama kita. Jangan pelit gitu ah!” Ujar Chava meminta penjelasan pada Alvian.“Ca, aku udah bilang, Mario akan makan di luar, enggak bisa bareng kita.” Jawab Alvian yang masih tidak mau Mario makan bersama dengannya.Sedangkan Mario hanya menunduk, apalagi Alvian sedari tadi memandanginya dengan tatapan yang sinis, seperti sedang melihat musuh.“Abang … ““Aku bilang enggak, ya enggak, Ca.” Tolak Alvian lagi dan lagi.Dahi Chava mengeryit, merasa aneh dengan jawaban Alvian yang terus menerus menolak makan bersama Mario. Padahal Mario adalah adiknya.“Aduh, Ca, Aku lupa. Aku udah ada janji mau makan siang bareng teman aku.” Sela Mario di tengah perdebatan Alvian dan Chava.“Ah masa sih?” Tanya Chava yang tidak percaya karena Mario tiba – tiba berubah pikiran.“Iya, haha. Lupa aku. Sorry ya, Aku mau makan di luar sama teman ku.” Ucap Mario dengan tawanya.“Pergi sana.” Usir Alvian yang tidak sabar melihat Mario untuk pergi dari hadapann
Di perjalanan pulang, Alvian mampir ke Toko Kue yang biasanya Chava suka kunjungi. Dia ingin membeli Kue Red velvet yang sangat Chava sukai. Anggap saja ini adalah hadiah untuk Chava yang sudah membawakan Alvian makan siang tadi.Senyum Alvian mengembang saat melihat Kue Red velvet itu, otaknya jadi membayangkan bagaimana reaksi Chava nanti? Istrinya itu pasti akan melompat – lompat kegirangan dengan teriakan yang menandakan kegembiraan.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Alvian mendongakan kepalanya, dia melihat seorang pelayan yang kini sedang tersenyum padanya.“Iya, Mbak. Saya mau pesan Cake Red velvet satu, di take away ya.” Ucap Alvian kepada pelayan perempuan itu.“Baik,Pak. Atas nama siapa?” Jawab pelayan itu dengan ramah.“Alvian.”“Baik, Pak. Biar saya ulangi pesanannya ya, satu Cake Red velvet di take away atas nama Alvian. Totalnya menjadi dua ratus lima puluh ribu.” Jelas sang pelayan.Alvian mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang sejumlah yang di sebutkan pelayan itu. K
Alvian baru saja memasuki rumah, namun matanya kini membulat, tatkala melihat pemandangan di depannya. Alvian meneguk salivanya, badannya bahkan mulai memanas, disana ada Chava yang sedang bersender di tembok.Hal yang membuat kewarasan Alvian menghilang itu karena Chava memakai cardigan tipis yang memperlihatkan lekukan tubuh miliknya. Tak hanya itu, Chava bahkan memakai riasan yang tidak terlalu tebal.Bibirnya yang indah kini Chava poleskan perona bibir yang berwarna merah, hal itu memicu Alvian yang sangat ingin menggigit bibir itu.“Selamat datang, Suami ku.” Sambut Chava dengan nada bicara yang terdengar bersemangat.Sedangkan Alvian yang disambut, masih terdiam seperti patung. Dia benar – benar sudah terhipnotis oleh Chava.Chava menyeringai, dia kini berjalan dengan langkah yang menggoda Alvian. Bahkan rambutnya yang tergerai indah, dia kibaskan.“Hai, Suami? Kenapa malah bengong?” Tanya Chava yang kini berada di hadapan Alvian.Alvian merasa otaknya sangat kosong, hingga sang
Suasana hati Alvian tidak sama seperti pagi tadi saat dia sudah berada di kantornya. Apalagi melihat Mario yang wajahnya tidak memperlihatkan kecerahan sedikit pun. Biasanya adiknya itu selalu ceria dan riang di setiap harinya, diberi tugas yang banyak pun Mario masih ceria.Namun berbeda untuk hari ini. Dapat Alvian simpulkan, muka Mario cemberut seperti itu karena kehadiran Aluna di kantornya.“Coba kamu jelasin, kenapa ada perempuan itu disini?” Tanya Mario dengan tatapan yang sinis.“Singkatnya, dia korban kdrt. Dia kabur dari USA dan butuh pekerjaan.” Jelas Alvian dengan singkat.Mario yang mendengar penjelasan kakaknya itu, hanya memutar bola matanya. Bukan itu yang mau Mario dengar, penjelasan yang singkat.“Kamu percaya dia korban kdrt?” Mario bertanya lagi. Sungguh Mario tidak punya lagi kepercayaan pada mantan pacar kakaknya itu.“Sedikit percaya. Meski begitu, dia butuh kerjaan, demi kebutuhan anak – anaknya.” Jawab Alvian.Mario tersenyum remeh. Kakaknya itu terlihat dingi
Chava memandangi Alvian yang kini sedang mengendong anak kecil, di payungi oleh perempuan yang sangat Chava tidak sukai, yaitu Aluna. Meski raut wajah Alvian terlihat datar, tapi mereka tetap saja terlihat seperti satu keluarga.Hati Chava yang sedari kemarin terasa perih kini berubah menjadi sangat terluka, apalagi melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Istri mana yang tidak sakit saat melihat suaminya bersama mantan kekasihnya?Demi menahan rasa sakitnya, jari jemari Chava kini terkepal sangat kuat. Kini mereka benar – benar ada di hadapan Chava. Bahkan mata suaminya itu terlihat terbuka lebar.“Ca … “ lirih Alvian di tengah keterkejutannya.Chava tidak merespon Alvian, dia hanya diam memandangi mereka, tentu dengan mata yang memerah dan tatapan sangat tajam.“Hai, Chava. Udah lama kita enggak bertemu. Apa kabar?” Tanya Aluna, yang reaksinya sangat berbeda dengan Alvian.Sungguh Chava semakin tidak suka mendengar suara ini lagi. Aluna menyapa dirinya seperti Aluna tidak punya
Alvian meremas rambutnya, dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? Padahal Alvian mengenal Chava, bukan hanya satu atau dua tahun.“Maafin aku, Ca. Aku salah. Kamu enggak jahat, Ca. Kamu baik, aku minta maaf … “ Lirih Alvian.“Kamu tahu? kamu yang seperti ini tuh bikin aku sakit, Bang. Kamu bohongi aku. Itu artinya kamu enggak percaya sama aku.” Rintih Chava.“In this relantionship, hanya aku yang cinta sama kamu. Hanya aku yang terbuka sama kamu dan hanya aku yang percaya sama kamu. Untuk apa menikah, kalau kamu enggak bisa lakuin apa yang aku lakuin?” Lanjut Chava, yang benar – benar kecewa pada Alvian.Alvian tidak bisa menahan lagi air matanya, dia biarkan air itu turun ke pipinya. Mendengar Chava yang berbicara seperti itu, menarik kesadaran Alvian bahwa yang selama ini berusaha dalam pernikahan ini, hanya Chava.“Do you love me, Alvian?” Pertanyaan itu kini keluar dari mulut Chava. Pertanyaan yang selama ini dia tahan – tahan untuk tidak
“Lagipula kamu lancang sekali, Aluna. Kamu mendatangi istri dari bos kamu sendiri. Kamu enggak takut ya? Kalau aku laporan ke Alvian dan buat kamu kehilangan pekerjaan.” Lanjut Chava.Chava tidak pernah membiarkan lawannya menang, dia akan terus menerus berbicara sampai lawannya tidak bisa berbicara lagi. Apalagi ini Aluna, perempuan yang sangat tidak Chava sukai. Perempuan ini saat Alvian kenalkan kepada Chava terlihat sangat baik.Namun hal itu berubah, saat Chava mendengar curhatan Alvian tentang Aluna yang seenaknya. Chava juga melihat sendiri bagaimana perilaku Aluna. Puncaknya saat Aluna hamil oleh orang lain dan mengaku dia hamil anak Alvian.Chava benar – benar sangat muak dengan perempuan bernama Aluna ini.“Jangan pernah kamu coba – coba laporan ke Alvian.” Ancam Aluna dengan tatapan sinisnya.Chava menaikan satu alisnya, “loh kenapa? Alvian kan suami aku, sudah seharusnya Alvian tahu tentang semua yang terjadi sama aku.”Chava bahkan berbicara dengan mempertegas kata “Suami
Alvian menghela napas panjang sambil berbaring di sofa di ruang TV, menatap langit-langit dengan pikiran yang melayang-layang. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan pada Chava? Seharian ini, Chava menghindarinya, tak mau bicara sedikit pun. Ia bahkan melarang Alvian masuk ke kamar, membuatnya terpaksa tidur di ruang TV.Alvian sudah mencoba berbagai cara untuk meluluhkan hati Chava. Berkali-kali ia meminta maaf, meski ia sendiri tak merasa telah melakukan kesalahan yang cukup serius untuk membuat Chava marah. Namun, tetap saja Chava tak memberi respons.“Ting!”Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Ia meraih ponsel yang terletak di sampingnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Mata Alvian terbelalak. Pesan dari Chava itu langsung membuatnya bergegas.[ Cepat masuk ke kamar, kalau lima menit kamu enggak masuk, aku akan kunci lagi! ]Tanpa pikir panjang, Alvian segera melompat dari sofa dan berlari menuju kamar. Benar saja, pintu kamar yang tadinya terkunci kin
“Geli banget deh aku!” jerit Joya, begitu masuk ke dalam ruangan. Suaranya melengking, membuat Chava dan Binar langsung mengerutkan dahi. Joya baru tiba, tapi sudah menghebohkan suasana. Wajahnya menahan geli sekaligus ngeri, bahkan bahunya ikut bergidik.“Kenapa?” Binar bertanya, penasaran.Joya duduk di depan mereka, menarik napas sebelum mengeluarkan ponselnya. “Nih, lihat,” katanya sambil menunjuk layar ponselnya yang menampilkan foto Gavin, mantan pacar Chava, bersama seorang pria.Sekilas, foto itu terlihat biasa saja, hanya dua orang yang duduk bersama. Namun, ketika Chava dan Binar melihat caption foto itu, mereka langsung mengerti mengapa Joya sampai merinding. Tertulis dengan jelas: "My beloved, Gavin."Joya menarik kembali ponselnya, lalu menggeleng pelan sambil menghela napas. “Si Gavin, setelah putus dari kamu, jadi aneh banget kelakuannya. Masa pacaran sama sejenisnya, sih?”Faktanya, Chava memang sudah tahu soal ini sejak lama, bahkan kabar ini sempat membantunya untuk
Gavin melangkah keluar dari ruangan Alvian, berusaha tetap tenang meski hatinya bergolak. Situasi semakin tidak nyaman, dan yang lebih menghantam perasaannya adalah pengakuan mantan kekasihnya, Chava, bahwa ia telah menikah dengan Alvian. Meskipun Gavin sudah tahu hal ini lewat unggahan media sosial teman Chava, mendengarnya langsung dari mulut Chava menimbulkan rasa sakit yang mendalam.Sejenak, Gavin menyesali keputusannya di masa lalu. Seandainya saja ia bisa memperlakukan Chava dengan lebih baik, mungkin cincin yang melingkar di jari manis Chava adalah cincin dari dirinya, bukan dari Alvian. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan Chava dalam kondisi seperti ini.Saat Gavin mengetahui kerja sama yang datang dari perusahaan milik Alvian, Gavin langsung menyetujuinya. Gavin bahkan berani menunjukan wajahnya pada Alvian, padahal orang – orang yang pernah bekerja sama dengan dia tidak pernah ada yang tahu wajah Gavin. Gavin juga sengaja menyamarkan namanya.Hal tersebut dia lakuk
Hari ini hari pertama Alvian bekerja sama dengan Gavin, mereka akan bertemu. Pertemuan ini adalah awal dari rencana pembangunan kantor baru Alvian, namun rasa gelisah menguasai hatinya. Alvian merasa enggan, bahkan sedikit malas, untuk bertatap muka apalagi berbicara dengan Gavin.Namun, demi Chava, Alvian tahu ia harus melakukannya. Ia bertekad menyingkirkan perasaannya demi keprofesionalan dia.Saat pintu ruangannya terbuka, Alvian melihat Mario masuk lebih dulu, diikuti oleh Gavin di belakangnya. "Pak Alvian, ini Pak Gavin," kata Mario, mencoba mencairkan suasana dengan sapaan formal yang terdengar datar.Alvian bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan dengan sikap profesional meskipun hatinya terasa berat. Ia sadar, bagaimanapun, Gavin adalah tamunya, dan sebagai tuan rumah, ia harus menunjukkan sikap yang baik. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk—rasa tidak nyaman yang tak bisa ia abaikan.Gavin menyambut uluran tangan Alvian dengan senyuman lebar, membuat suasana seakan-ak
Sepulang dari kantor, Alvian sama sekali tidak membuka mulut, suaranya pun tidak Chava dengar. Wajah Alvian memang terlihat sudah biasa saja, tidak menunjukan ekspresi marah seperti saat di Kantor tadi. Maka dari itu Chava simpulkan, suaminya masih kesal padanya.Chava melingkarkan kedua tangannya dari arah belakang pada dada Alvian yang sedang menyesap rokok elektronik di Rooftop rumahnya. Dia juga menempelkan kepalanya pada punggung Alvian. Alvian yang tiba – tiba saja dipeluk, membuat Alvian terkejut, namun tidak membuat dia berbalik untuk melihat Chava.“Masuk, Ca. Aku lagi ngerokok.” Akhirnya Alvian mengeluarkan suara hanya untuk memperingatkan Chava.Alvian jika ingin merokok, dia akan merokok di Rooftop ataupun ditempat lain yang tidak ada Chava. Karena Alvian tidak ingin membuat Chava terbatuk – batuk menghirup asap rokok.“Enggak mau,” tolak Chava, dia memang sengaja menyusul Alvian ke Rooftop untuk membujuk Alvian. Dia bahkan menahan agar dia tidak batuk saat asap rokok itu
Alvian sudah menjalankan rutinitas harian seperti biasanya, setelah mengetahui kondisi Chava mulai membaik. Bahkan istrinya itu sudah pulang ke rumah dua hari lalu. Hanya saja Dokter memberikan pesan pada Alvian, agar tetap mengawasi Chava.Tadinya Alvian menolak untuk pergi bekerja, dia berencana akan mengambil cuti kembali karena kondisi Chava. Namun Chava menolak, dia menyuruh Alvian untuk pergi bekerja, karena Chava tahu Alvian sudah banyak sekali tidak hadir. Meski perusahaan itu milik Alvian, tapi Chava ingin Alvian pula menepati peraturan yang dia buat.“Bos, apa kamu tahu siapa arsitek yang akan mendesain pembangunan kantor baru, kamu?” Tanya Mario yang kini sedang duduk diseberang Alvian.“Tidak, saya hanya tahu bahwa nama dia Alend.” Ucap Alvian yang tidak mengalihkan perhatian matanya saat Mario bertanya.Memang Alvian berencana untuk membangun kantor baru yang lebih luas dari kantornya sekarang. Alvian akan lebih banyak merekrut karyawan, apalagi penjualan dari usaha pakai
Perlahan demi perlahan kelopak mata Chava mulai terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah langit – langit ruangan yang sama sekali dia tidak kenali. Chava mengeryitkan dahi, mencoba mengingat hal yang terjadi.Terakhir kali dirinya sedang berbelanja bersama Alvian, kemudian dia menyuruh Alvian untuk ke mobil terlebih dahulu karena dia akan membawa kue Red velvet yang sudah dia pesan, ketika dia selesai membawa kue dia tidak sengaja menabrak seseorang. Seseorang itu adalah Gavin, mantan kekasihnya.Mendadak rasa takut itu mulai muncul kembali, tubuh Chava kembali menegang akan tetapi kini dia merasakan punggung tangan sebelah kirinya hangat.“Tenang, Sayang.” Suara Alvian kini terdengar merdu di telinga Chava, bagai melodi indah yang menenangkan.Chava menolehkan kepalanya, kini dia dapat melihat Alvian yang sedang duduk disampingnya dan mengembangkan senyuman. Pakaian Suaminya itu bahkan masih sama seperti terakhir kali dia pakai. Meski Alvian tersenyum, Chava bisa melihat tatapan p
“Bang ian, Teh Ca kenapa? Kok bisa sampai masuk Rumah sakit?!”Alvian terperanjat kaget, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba – tiba saja dikejutkan oleh suara adik iparnya yang baru saja memasuki ruangan Chava dengan tergesa – gesa. Bahkan adik iparnya itu, tidak berbasa – basi mengetuk pintu terlebih dahulu.“Ssst, jangan berisik!” Peringat Alvian pada Dylan, Chava masih belum bangun, dia tidak ingin istrinya itu terbangun karena terpaksa. “Ayo kita ngobrol di luar?” Lanjut Alvian kemudian beranjak dari duduknya, menghampiri Dylan yang masih berdiri dengan napas yang tersenggal – senggal.“Yaudah, ayo!” Ucap Dylan menyetujui Alvian.Alvian mengikuti langkah Dylan yang keluar terlebih dahulu. Tidak ada Gara, maka ada Dylan yang sifatnya sangat sama dengan teman dekatnya itu. Bahkan ketika dia mengabari Dylan lewat sambungan telepon, adik iparnya itu terdengar sangat panik.Chava memang beruntung soal keluarga, dia memiliki tiga orang Pria yang melindunginya, ada Papanya, Gara dan D
Chava dan Alvian sudah beres melakukan belanja bulanan, mereka membeli beberapa kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Kegiatan ini sungguh menjadi kegiatan yang selama ini Chava inginkan, maka dari itu Chava sangat bersemangat. Alvian juga tidak banyak mendebat dan tidak banyak keinginan, dia lebih menurut apa yang Chava mau.Kini Chava sedang mengambil Kue red velvet di salah satu toko roti langganan dia, Chava juga sudah menyuruh Suaminya untuk menunggu di mobil, karena merasa kasihan jika Alvian harus membawa barang belanjaan di Mall sebesar ini.“Ini ya, Mbak, Cake red velvet ukuran mediumnya. Terima kasih telah berbelanja disini.” Ucap Sang kasir yang kemudian memberikan kue red velvet kesukaan Chava.Dengan antusias Chava menerima kue itu, mencium baunya saja sudah bisa membuat Chava merasa tidak sabar untuk memakan kue itu, “iya, Terima kasih kembali.” Jawab Chava.Chava mulai berjalan keluar dari Toko roti itu, bahkan Chava tidak melihat jalan dengan benar, pandangannya sibuk m