Dengan langkah berat, ia berbalik untuk pergi hanya untuk mendengar suara Jeremy yang tiba-tiba terdengar dengan keras di belakang. “Seorang wanita baru saja mendonasikan darahnya untuk anakku? Wanita yang mana?” “Hah? Oh, yang itu.” Mendengar jawaban perawat itu, Madeline menyembunyikan dirinya di pintu keluar darurat. Ia takut nanti Jeremy akan jijik kalau tahu bahwa itu adalah darahnya, namun menyelamatkan Jackson menjadi prioritasnya. Madeline bersembunyi di sudut, mengencangkan dagunya dan berjongkok saat melihat Jeremy lewat di depannya. Sekujur tubuhnya sakit dan pendonasian darah tadi membuatnya menggigil karena kedinginan. Menekuk tubuhnya di pojokan, ia melihat sosok Jeremy pergi dan menghilang dari pandangan, sama seperti kesadaran Madeline mulai memberi. Hari sudah berganti saat ia terbangun. Kedua kakinya kram oleh posisinya karena ia berdiri dengan tangan tertahan di tembok. Rasa sakit di tubuhnya masih ada dan luka di keningnya membakarnya. Sambil menyokong bera
Meredith melemparkan dirinya ke pelukan Jeremy dalam teror, dengan jelas menciptakan imaji seorang korban.Dia sudah pernah memainkan trik yang sama namun masih saja, Jeremy percaya tanpa ada rasa curiga sedikitpun.Semua orang mengeluarkan tatapan hina dan tidak percaya pada Madeline. Madeline sendiri sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu, namun ia masih belum bisa terbiasa dengan tatapan ingin membunuh dan dingin yang Jeremy berikan padanya.Dalam otaknya, wajah itu tetap wajah yang ia cintai. Namun, wajah itu tidak lagi mempunyai kelembutan yang sebelumnya dipunyainya.Saat ini, sembari memeluk Meredith, mata dingin dan tajamnya menusuk Madeline."Ma. De. Line!"Dia menggertakkan gigi-giginya sembari meludahkan tiga suku kata itu, masing-masing dengan kekuatan yang seakan-akan bisa menelannya!Madeline merasakan hawa dingin merayap dari telapak kakinya melewati sekujur tubuhnya. Sangat menakutkan.Meredith yang masih bersandar di lengan Jeremy menangis tiada henti. “Jeremy, bagai
Madeline dipaksa menutup mulutnya. Ia menatap sekilas ke arah luar jendela. Di luar langit mendung seakan-akan sebentar lagi akan turun hujan.Menatap bagian dari jalan yang sepertinya familier, saraf Madeline perlahan mengencang.Mobil berhenti. Jeremy dengan bebas keluar dari mobil sementara Madeline diseret keluar.Melihat lingkungan di sekitarnya, mata Madeline melebar dalam ketidakpercayaan."Jeremy, kenapa kau membawaku ke sini!"Ia bertanya menghadap punggung Jeremy, namun pria itu mengabaikannya.Madeline diseret ke makam yang ia bangun untuk kakek dan anaknya. Ia tidak lagi punya kekuatan untuk berdiri, dan pengawal itu mendorongnya ke arah makam.Madeline jatuh ke tanah, meremas area di mana tumornya berada. Ia mengambil nafas dalam-dalam, menahan rasa sakit, dan membuka matanya.Jeremy berdiri di hadapannya, terlihat seperti bangsawan dan dingin, aura pria itu tidak bisa diganggu gugat dan dingin."Kenapa, di sini?" Madeline bertanya, menggertakkan gigi-giginya, pandangannya
Madeline seketika patah bagaikan boneka kayu tanpa tali, kehilangan semua kesadaran.Dunianya seperti menggelap dengan tiba-tiba dan rasa sakit yang intens seakan-akan kulit tangannya dikupas menelan seluruh kesadarannya."Tidaaak!"Dengan putus asa ia menerjang maju ke arah abu yang perlahan dimusnahkan oleh salju dan hujan.Madeline menangis memilukan, tangannya yang bergetar dengan putus asa mengusap-usap batuan yang tidak rata sembari berusaha mengumpulkan abu yang tersisa.Namun, abu itu perlahan memerah oleh darah yang keluar dari telapak tangannya, dan kemudian meleleh dalam hujan dan salju.Hanya seperti itu, seberkas cahaya redup harapannya benar-benar musnah.Ia menangis dan tertawa memilukan, mata merah dan basahnya menatap Jeremy.Ia tidak lagi mengenali pria ini.Tidak, ia tidak pernah mengenalnya.Madeline menggertakkan gigi-giginya dan menatap ke pria yang berdiri tegak itu, kedua matanya benar-benar tajam."Jeremy, kau akan menyesali ini!"Melihat tatapan benci Madeline
Mendengar semua kata yang keluar dari bibir Madeline, Jeremy mengerutkan keningnya, detak jantungnya tiba-tiba menjadi tak beraturan."Jeremy, kalau kau tidak membunuhku hari ini, aku pasti akan membunuhmu dan membalaskan dendam anakku."Kedua mata terangnya seteguh sebelumnya.Jeremy tersenyum acuh tak acuh. "Aku akan menunggu."Pria itu berdiri sembari mengatakan itu dan pergi begitu saja.Setelah memandang sosok hitam yang perlahan menghilang dari pandangannya, seketika Madeline serasa sudah dikuras semua kekuatan dan darahnya ketika dengan lemas memeluk guci abu kakeknya.Air mata hangat sekali lagi deras mengalir namun hatinya sudah mati rasa oleh rasa sakit.Akan tetapi, semua itu ternyata belum selesai saat Meredith muncul dengan tiba-tiba.Meredith menggenggam pisau buah saat melihat Madeline terbaring di tanah sambil memeluk sebuah guci. Meredith berjalan mendekat dan berjongkok, mengulurkan tangannya untuk menarik rambut pendek Madeline."Tsk tsk, aku sudah bilang padamu untu
Saat mengatakan itu, ekspresi rekan-rekan kerjanya, termasuk Elizabeth, berubah. Mereka menatap Madeline seolah-olah mereka menatap sesuatu yang tidak wajar."Wanita ini, bukankah kau terlalu keji!" Beberapa karyawan wanita berkata dengan nada menghina."Nasib buruk apa yang Meredith punya hingga harus berurusan dengan orang gila seperti ini. Wanita ini selalu mengincarnya di mana-mana.""Tepat sekali. Tidak hanya merebut kekasih orang lain, kau masih membuat masalah dengan Meredith, bahkan bilang kalau mau membunuh gadis itu. Benar-benar sakit jiwa!""Kita harus jauh-jauh dari dia, jaga-jaga kalau dia mendadak gila dan melibatkan kita."Madeline duduk di mejanya tanpa bersuara, hanya mendengarkan semua kata yang dengan sengaja ditujukan padanya.Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya bangkit dari kursinya.Melihat gadis itu bergerak, beberapa karyawan wanita yang sudah sejak tadi mengatakan kebenaran dan kebohongan tentangnya bergegas berlari menjauh, ketakutan oleh apa yang
Tubuh Madeline gemetaran di tengah dinginnya angin dan darahnya serasa membeku.Bergegas ia masuk ke dalam rumah, mengemas beberapa pakaian dan keperluan sehari-hari, kemudian langsung pergi saat itu juga.Ia tidak lagi punya kekuatan untuk menghadapi pria ini, yang lebih menyeramkan daripada iblis. Ia tidak takut pada kematian, namun ia benar-benar takut pada semua tindakan kejam yang pria ini sudah tunjukkan dari waktu ke waktu. Ia tidak mau lagi melihat Jeremy mengancam semua orang yang ia cintai dengan kejam di depan matanya.Melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin, Madeline menyentuh luka yang samar-samar terlihat dan terasa agak menyengat di wajahnya, dan menutup matanya.Jeremy, bagaimana bisa mencintaimu akan begini hasilnya.........Menjelang tahun baru, banyak perusahaan akan mengadakan rapat tahunan.Meskipun Felipe sudah berkeras untuk mengajak Madeline menjadi pendampingnya menghadiri rapat tahunan perusahaan mereka, pada akhirnya Madeline tetap menolak ajakan
Tangan Madeline bergetar hebat dan kunci di tangannya jatuh di atas kakinya dengan suara keras.Semua luka yang datang dan pergi dari tubuhnya tiba-tiba seperti ‘dibangunkan’ di saat ini dan rasa sakit dari luka sayatan di wajahnya sekali lagi menginvasi sekujur tubuhnya. Teramat sakit hingga ia kehilangan pegangan pada akal sehatnya dan hanya imaji berisi pria ini menghancurkan guci dengan abu anak mereka di dalamnya, dengan kedua tangannya, di hari itu yang tertinggal di benaknya.Lampu yang teraktifasi dengan suara itu padam dan dunia Madeline juga tiba-tiba serasa menggelap."Madeline, aku bicara padamu,” suara penuh dominasi Jeremy terdengar dingin.Tanpa disadari, Madeline menggigil. Saat Jeremy merengkuh pinggangnya, ia terlihat bagaikan landak mini yang sudah dilucuti dari tulang belakangnya. Setelah terpental ke dalam kengerian, tiba-tiba ia bersimpuh, dengan putus asa menggeleng-gelengkan kepalanya."Mr. Whitman, ini salahku! Semua ini salahku! Aku seharusnya tidak jatuh cint