"Papa bercanda?" Suara sendok dan garpu yang di banting ke piring, memecah keheningan ruang makan. Keira rasanya seperti baru saja mendengarkan guntur di siang hari. Apa itu— ia akan menikah? Di usia semuda ini? Dan atas pilihan Mak comblang?
Ini sudah abad ke berapa, tapi kenapa papanya masih berpikir se-kuno itu?
"Malam" Ratna baru saja pulang lembur, dengan pakaian kerjanya ia mendatangi ruang makan dan mendapati suasana terlihat tegang, "Ada apa ini?"
Hana menoleh sekilas pada kakak tertuanya yang tampak kebingungan. Tidak berkata apa-apa, ia hanya mendesah pelan.
"Harusnya kak Ratna dulu dong yang menikah. Umurnya yang sudah hampir kepala tiga itu masih saja lajang dan hanya tau bekerja. Tapi kenapa malah aku yang mau dinikahkan?" Bebel Keira, dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya.
"Lagian papa hidup di abad apa sih hari gini masih pake Mak comblang? Pokoknya Keira gak setuju" Tentang Keira tegas, "Keira itu masih muda pa, baru dua puluh empat tahun dan yang terpenting— Keira belum siap nikah pa"
Hana menatap kakak keduanya dengan perasaan prihatin. Untuk masa sekarang seperti ini, jelas apa yang dikatakan kakak keduanya itu benar. Perempuan berumur dua puluhan itu masih terlalu muda untuk membangun rumah tangga.
Arya mengambil gelas air putih dan meneguknya sedikit, "Papa sudah atur pertemuan kamu dengan calon suami kamu" Arya meletakkan gelas ke meja, mengacuhkan pelototan tajam Keira yang menatapnya setengah tak percaya, "Itu besok malam, di restoran diamond milik kita"
"Papaa.." Pekik Keira histeris, "Masa ia aku langkahi kak Ratna sih pa? Mending papa pikir lagi.." Keira masih berharap papanya yang keras kepala itu mengubah keputusannya.
"Keira benar pa. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Sikapnya pun masih cenderung labil. Jikapun pernikahan ini untuk memperluas variabel bisnis, itu hanya tidak akan bekerja jika salah satu pihak yang menjalaninya belum matang" Terang Ratna bijak. Sebagai kakak tertua, ia berpikir untuk turun tangan dalam hal ini, "karena itu hanya akan merusak rasionalitas yang ada.."
Hana sejak tadi hanya diam dan memperhatikan. Dalam keluarga, ia cenderung pendiam dan tidak banyak bicara. Tapi melihat kerutan frustasi di wajah kakak keduanya, Hana merasa tak tahan untuk tidak berkata, "Aku sependapat dengan kak Ratna"
Keira tersenyum penuh haru, mendapatkan dukungan dari kedua saudaranya. Mereka memang sering berjarak dan tak terlalu dekat karena kesibukan masing-masing. Hana yang sibuk menyelesaikan studi, kerapkali menghabiskan seharian penuh di perpustakaan pribadi untuk belajar. Kakak tertuanya yang workaholic, tidak pernah jauh dari kata lembur.
Hanya dia yang paling luang dalam keluarga ini. Meskipun sudah merintis bisnis sendiri, tapi sebagai pionir, ia hanya perlu mengatur beberapa pengelolaan penting dan selebihnya ia hanya perlu duduk santai dan memeriksa lapangan sesekali.
"Kau tau calon suamimu siapa?" Arya memasang tampilan serius.
Keira hanya menggeleng lemas.
"Anak konglomerat dari keluarga El Murad dan sekaligus pemilik dari PT Angkasa— perusahaan yang menaungi industri teknologi tercanggih di kota X. El-Murad Pasha"
"Apaaa?" Jerit Keira histeris. Siapa yang tidak kenal dengan El-Murad Pasha, putra tunggal dari konglomerat ternama di kota X? Pria yang lebih dikenal dengan sebutan 'Pangeran malam' karena sifatnya yang dingin menusuk seperti angin malam yang mencekam.
Bukan hal baik untuk keluar di malam hari yang dingin. Jika tanpa persiapan kau bisa saja masuk angin dan jika berlama-lama kau bisa saja sakit. Begitupun dengan 'pangeran malam' yang satu itu.
Orang-orang yang berada di dekatnya harus tahan banting dan penuh persiapan atau jika tidak, mereka akan drop dan jatuh sakit. Singkatnya, berada di sekitarnya itu benar-benar seperti suasana di malam hari, di mana karbondioksida dilepaskan.
Berada di dekatnya itu seperti toxic, hanya membentuk hubungan yang tidak sehat. Jadi sebutan 'pangeran malam' benar-benar pantas untuk pria itu.
Dan ayahnya berniat menikahkannya dengan tipikal pria seperti itu?
"Papa gila? Papa ingin menikahkan aku dengan si pangeran malam yang dikenal toxic itu? Apa hanya demi keuntungan bisnis papa rela mengorbankan putri papa menderita?" Keira bernafas terengah-engah, wajahnya memerah menahan kesal dan amarah.
Hana yang mendapati itu tak tahan untuk tidak merinding. Meskipun tak tau seperti apa sosok pangeran malam yang akan di nikahkan dengan kakak keduanya itu, tapi ia kurang lebih pernah mendengar sedikit rumor mengenai sosok itu yang orang bilang—
Salah seorang bos besar yang toxic!
"Mau kamu atau bisnis, itu sama-sama pentingnya bagi papa. Lagi pula kata Mak comblang yang mencocokkan kalian— kamu dan dia itu seperti sinar matahari di kutub selatan. Ada kebekuan dan secercah kehangatan, kombinasi ini dapat membuat pernikahan kalian menjadi sempurna" Arya masih mengingat jelas apa yang dikatakan Mak comblang itu, "Jadi papa dapat yakin menikahkan kamu dengan pria itu"
"Pa, kita hidup di era apa sih hari gini masih berpedoman ke Mak Comblang?" Keira yang sudah tak mampu menahan emosinya, tanpa sengaja menggebrak meja makan membuat piring dan sendok berdentingan.
"Pokoknya Keira gak setuju. Titik" Keira terus bangun dan bersiap pergi meninggalkan ruang makan hanya...
"Papa tidak mau tau, pokoknya besok malam kamu harus mendatangi pertemuan itu"
Keira dengan kesal berbalik, "Aku gak mau"
"Boleh saja, tapi jangan salahkan papa kalau seluruh aset mu papa sita"
"Papa lupa kalau aku sudah merintis bisnis sendiri?"
"Kamu tidak ingat toko roti yang kamu rintis itu ada berkat siapa?"
Keira membeku.
"Papa bisa saja loh membekukan dana dan membuat usaha mu itu berhenti di tengah jalan"
Detik itu tenggorokan Keira tercekat, tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sepasang matanya memanas dan pangkal hidungnya terasa pekat. Ia tidak akan mengira papanya akan sekejam itu padanya. Segera Keira berlari pergi meninggalkan ruang makan dengan perasaan kecewa.
"Papa, apa yang papa lakukan tadi itu keterlaluan. Semua orang di kancah bisnis tau jelas kalau si Pasha itu tipikal bos besar yang toxic. Banyak para karyawan di perusahaannya yang kerapkali stres bahkan drop karena frustasi menghadapi kinerjanya yang sama sekali tidak sehat untuk mental. Dan papa ingin menikahkan Keira dengan tipikal pria seperti itu?" Ratna membanting sendok dan garpu ke piring. Seleranya untuk makan benar-benar sudah hilang.
"Pokoknya Ratna gak setuju kalau papa menikahkan Keira dengan pria toxic seperti Pasha" Ratna tidak dapat membayangkan adik keduanya yang periang dan cenderung ceria itu terjerat dengan pangeran malam yang toxic itu!
"Papa tidak butuh persetujuan darimu"
"Hah.." Ratna membuang nafas kasar, menatap papanya dengan perasaan kecewa. Mendorong kursi, ia terus bangun dan pergi meninggalkan ruang makan tanpa sepatah katapun.
Yang tertinggal hanya Chana seorang di meja, menatap papanya dengan ragu berkata, "Lebih baik papa pikirkan lagi mengenai pernikahan itu"
Menatap putri bungsunya yang pendiam itu, Arya menghela nafas berat. Hana tidak tau saja kalau yang sesungguhnya yang diinginkan pangeran malam itu..
Adalah dia.
—••—"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan."Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi."Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur denga
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada
Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian
"Kamu gak bawa mobil, Han?" Tepat setelah mata kuliah berakhir, siang itu Hana dan kedua temannya bergegas pergi meninggalkan gedung fakultas dan pergi ke kantin kampus."Engga, Cha" Jawab Hana lemas, karena pertanyaan Chaca itu berhasil membuatnya kembali terkenang betapa memalukannya awal pagi yang ia hadapi hari ini."Kok kamu lemes gitu sih Han?" Miftah menyenggol lengan Hana. Sejak tadi di dalam ruang Hana tampak tidak bersemangat."Sebenarnya aku males banget cerita"Miftah dan Chaca bertukar pandang. Mereka saling berkirim sinyal, pasti ada sesuatu yang baru saja terjadi pada Hana."Memangnya kenapa sih Han? Ayo dong cerita!" Chaca meletakkan tangannya di pundak Hana, matanya berkedip penuh keingintahuan. Hana yang melihatnya mendesah panjang. Di antara kedua temannya, Chaca lah yang paling besar jiwa keingintahuannya. Dalam tanda kutip 'bukan mengenai pembelajaran'."Engga ah, males!""Jangan gitu dong Han, kami kepo ni"
Hana terdiam. Jelas ia mengenal kakak lelakinya Chaca yang baru saja mendapatkan gelar dokter muda itu. Pria berkulit putih yang memiliki senyum meneduhkan. Pribadi yang tidak banyak omong, tapi perhatian. Perawakannya sopan dan lembut. Sosok yang relijius dan jauh dari kata arogan. Tak lupa dengan aura medisnya yang telah menarik perhatian banyak wanita.Tanpa sepengetahuan kedua sahabatnya itu. Kakak lelakinya Chaca...Adalah cinta pertamanya Hana."Ah, udah ah!" Hana langsung menyeruput jus alpukat nya yang tanpa gula itu dan melanjutkan, "Kita fokus belajar aja dulu ya!""Bener!" Seru Miftah dan Chaca serempak."Pokoknya, kalo kamu di jodohin bilang sama aku" Chaca baru saja mengambil sesuap siomay kedalam mulutnya, terus kembali berbicara, "Biar aku paksa kakak aku buat datang ke rumah""Untuk?" Hana menautkan sepasang alisnya."Ya untuk lamar kamu lah!"Serentak Miftah dan Hana bertukar pandang, sama-sama terperangah!
Esok harinya, Hana sarapan seorang diri di meja makan yang sunyi. Ratna yang terbiasa sarapan di jalan, itu sudah pergi meninggalkan kediaman untuk bergegas ke perusahaan. Keira yang masih sensitif karena kejadian semalam, sudah pergi di awal pagi buta entah kemana. Sedang ayahnya selalu jarang sarapan pagi, karena terburu-buru bekerja.Biasanya Hana melewati sarapan pagi dengan kakak keduanya. Karena hanya Keira lah yang paling luang di antara para anggota lainnya yang terjerat dalam kesibukan. Tapi pagi ini, Hana menyelesaikan aktivitasnya melahap sepotong roti dan menghabiskan segelas susu hangat itu seorang diri.Hana mengambil tasnya dan beranjak pergi meninggalkan ruang makan yang sunyi. Berjalan ke ruang tamu, beberapa maid muda menyapanya dengan ramah."Pagi, non Hana""Pagi" Hana membalas sapaan mereka dengan tersenyum simpul.Mereka adalah sekelompok maid yang di pekerjakan seminggu tiga kali, untuk membersihkan kediaman keluarga Hana yan
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny