"Kamu tidak keberatan, kalau kita membuat surat perjanjian pra nikah?" Amberly bertanya pada Golda saat mau pergi ke rumah Ethan."Lakukan apa yang kamu inginkan." jawab Golda.Jawaban Golda membuat Amberly termenung. Sepertinya asal bisa melaksanakan wasiat dari kakaknya, dia mau melakukan apa saja. Tidak ada jalan lain bagi Amberly untuk menolaknya.Mereka mengunjungi makam Ethan, kemudian ke rumahnya. Di sana sudah hadir Maya dan Frank Sander. Semua sudah siap demi persiapan pernikahan besok harinya."Bagaimana ibumu, Amber? Apakah kali ini bisa hadir?" tanya Maya. Setelah mencium menantunya itu."Akan dibawa besok oleh asistennya Golda, Mi." jawab Amberly."Lalu bapakmu?" tanya Maya lagi."Tidak bisa diharapkan, karena sedang dalam pengobatan di Singapura.""Berarti kita-kita saja. Tidak jadi soal." Maya tampak pasrah, pernikahan anaknya masih tertutup dari umum. Mungkin suatu saat, resepsi itu bisa dilaksanakan secara terbuka.Besoknya, acara berlangsung secara Hidmat, lancar tid
"Aku akan berganti pakaian." ucap Amberly agak kikuk."Mataku hanya melihat, tapi niatku tidak bermaksud lain. Lakukan, tanpa merasa terganggu oleh kehadiranku." kata Golda, sambil membalikkan badannya.Hati Amberly merasa bersalah. Dirinyalah yang terlalu banyak menuntut pada suaminya, dan Golda terlalu banyak sabarnya.Dengan cepat Amberly mengambil pakaian yang akan dipakai, lalu masuk ke kamar mandi lagi untuk bergati.Ia harus berani melawan ketakutannya sendiri. Kalau Golda adalah lelaki yang normal, tentu berharap Amberly datang padanya sebagai istri. Menyerahkan dirinya secara total, tanpa keraguan.Amberly ke luar kamar mandi, melihat Golda duduk di sofa menunggunya."Kamu mau duduk bersama suamimu ini?" undangnya, sambil menepuk sofa sebelahnya.Amberly mengangguk sambil duduk seperti yang diminta Golda."Kita berlaku sebagaimana pada umumnya, tidak harus orang lain tahu dalam-dalamnya. Kamu bisa?" tatapnya pada Amberly yang sedang merapikan rambutnya yang masih agak basah k
Meja makan sudah ada Ange yang sedang disuapi Golda. "Ayah yang sangat baik." puji Amberly pada Golda."Aku sangat menyayanginya. Kalau tidak disuapi, cara makannya belum benar." jawab Golda."Anye sudah bisa maka cendili, Ayah." sangkal Angel."Ange harus berusaha lebih baik lagi." bujuk Golda sambil mencium pipi gadis kecil itu.Sebenarnya, membuat malu hati Amberly. Golda begitu baik sikapnya pada Angel juga pada dirinya. Sementara ia sebagai istri, belum bisa memberinya apa-apa.Amberly tersenyum kecil ketika Golda menatapnya. Menyembunyikan rasa gelisah di hatinya.Almira yang ikut duduk di antara mereka, berkata, "Ange sangat dekat dengan Golda. Bukankah itu lebih baik, Am?""Tentu saja, Bu." jawab Amberly, memulai sarapannya."Semoga Ange tidak minta adik cepet-cepet." ucap Golda tanpa dipikir, membuat mata Amberly melotot.Golda tertawa melihat itu. "Tidak masalah kan, Sayang?" goda Golda di depan mertuanya.Meski dengan wajah memerah. Amberly mengangguk. "Iya." jawabnya pend
Tangan Golda berganti jadi mengelus punggung Amberly. Menatapnya dengan seksama."Terus beranikan dirimu untuk menyentuhku. Aku akan memberikan kebebasan padamu, di mana saja." Golda mengucapkannya.Tubuh Amberly bukan patung batu, saat dielus merasakan merindingnya. Begitu juga saat di cium, Golda benar-benar menuntunnya supaya apa yang dilakukan dapat dinikmati oleh Amberly. Namun, tidak semudah itu Amberly dapat menggerakkan hatinya. Dengan konsentrasi untuk dapat mengendalikan ketakutannya saja, tidak bisa fokus dengan apa yang dilakukan Golda.Alhasil, Amberly hanya bisa terdiam, memandangi wajah Golda. "Apa yang kamu lihat dariku.""Kamu tampan." ceplos Amberly."Selain itu?""A–ku … tidak terlalu panik lagi saat berdekatan dan disentuh olehmu."Golda tersenyum, menyibak rambut di kening Amberly.. "Berjuanglah terus, sampai kamu tidak lagi merasakan kepanikan itu. Aku Masih merasakan getaran di tubuhmu. Tapi, setidaknya tidak ada ketakutan yang sangat.""Aku pasti akan melawa
Golda maupun bi Lasih tentu saja terkejut. "Non!" teriak bi Lasih. Sementara Golda yang baru membaca sebagian suratnya, malah tertegun. Jantungnya seakan ditimpa segunung beban. Namun begitu mendengar jeritan bi Lasih, ia jadi terjaga kembali.Segera dia mengangkat tubuh Amberly dan meletakkannya di tempat tidur. Tidak banyak yang bisa dilakukan Golda, hanya menyaksikan bi Lasih yang panik, berusaha menyadarkan Amberly.Surat yang dibacanya tadi, merupakan surat hasil identifikasi DNA dari Golda dan Angel. Yang menyatakan kalau ada kecocokan (positif) sebagai ayah dan anak. Bagaimana Amberly tidak pingsan? Dirinya sendiri merasa shock.Apakah itu hanya lelucon yang iseng dibuat Ethan, sebelum kematiannya? Sungguh! Golda rasa tidak pernah menyentuh perempuan, bahkan yang pernah jadi pacarnya. Dia merasa sangat menjaga kelakuannya selama ini.'Aku pernah meragukan Angel bukan anak Ethan. Karena mengingat kondisinya. Tetapi sekarang ada tes DNA, seperti ini?' Golda terus berbicara ke di
Golda menuju ke rumahnya. Sesampai di sana, dia langsung mencari keberadaan Amberly. Sayangnya wanita itu tidak ada."Amberly, mana Gold?" tanya Almira, heran. Karena pergi bertiga, pulang sendirian.Golda agak gelagapan. Merasa bingung, bagaimana cara menyampaikan yang terjadi pada mertuanya."Ada kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan Amber, Bu." terus terangnya. "Tapi, ibu jangan khawatir. Aku akan menyelesaikannya dan mengenai Ange aku titipkan dulu pada bi Lasih." "Mengapa Ange dititipkan, kan, ada Ibu?""Maafkan aku, Bu. Tadi Amber pergi duluan tanpa setahuku. Karena terburu-buru aku titipkan, untuk mengejar Aber. Tetapi di sini pun tidak ada. Kira-kira ia ke mana ya, Bu?"Yang ditanya tampak kebingungan. "Amber selalu pulang ke rumah. Ibu tidak tahu kalau ia lagi berbeda paham denganmu, akan pergi ke mana?" Almira berkata apa adanya.Golda semakin khawatir, dia mengajak mertuanya untuk duduk di sofa. "Bu …" panggil Golda agak ragu-ragu. "Ibu tahu apa yang menimpa Amberly
Yang pertama didatangi Golda, adalah rumah sakit, di mana Ethan terakhir di rawat. Menemui dr Givary Ardeon. Dari keterangan dr Givary, memang lewat dr Ben yang memintanya untuk melakukan tes DNA itu. "Itu data yang sebenarnya, bukan rekayasa.""Dr Ben?" "Ya, Ethan memang pegangan dr Ben."Golda mengerti, lalu berterima kasih pada keterangan yang disampaikan dr Givary.Golda lanjut memacu mobilnya menuju klinik di mana dr Ben, tinggal di sekitarnya.Dengan sikap mendesak, Golda meminta penjelasan dari dr Ben."Saya tahu, dokter selama ini tidak sepenuhnya jujur pada saya mengenai Abang. Tetapi kali ini, saya benar-benar butuh yang sejujur-jujurnya. Katakanlah, Dok!" Dr Ben agak memicingkan matanya. "Ada apa, yang membuatmu ingin tahu? Setelah setahun berlalu.""Dokter yang melakukan tes DNA Angel, kan? Mungkin abang sebelum meninggal menjelaskan sesuatu pada dokter?" tanya Golda."Ethan hanya meminta bantuan padaku, tetapi mengetahui hasilnya, aku tidak tahu. Yang jelas, setelahnya
Segala penyesalan karena rasa bersalahnya, telah meluluhlantakkan segala kebanggan yang ada pada diri Golda.Sepanjang perjalanan menuju Jakarta kembali, Golda jadi mengingat ketika dia diam-diam ingin memergoki Amberly dalam keadaan sendirian.Flashback OnMata bulat itu terbelalak dengan sempurna, begitu sore harinya dalam hari yang sama, Golda memergoki Amberly sedang menyiram tanaman di depan rumah. "Amberly …. Namamu Amberly, bukan?" tatap Golda. Anehnya, mata Amberly langsung dilarikan ke arah lain. Tidak mau menatap balik padanya.Tangannya gemetar hingga alat siram tanaman, terlepas jatuh menimpa kakinya. Amberly terkesiap merasakan sakit, tetapi yang paling utama dipikirkan, adalah bersiap mengambil langkah seribu. Dengan cepat Golda menarik pergelangan tangannya. "Aku adiknya bang Ethan, mengapa kamu harus merasa takut padaku? Apakah karena aku hampir menabrakmu tadi?"Amberly sekuat tenaga menarik sebelah tangannya, tanpa mengeluarkan suara, masih dengan ekspresi ketakutan
Seperti biasa Golda memandikannya dengan cara dilap. Sekarang tangannya lebih nakal dan menggoda Amberly.Kadang mereka berciuman dengan asiknya, tetapi tidak bisa lebih lagi. Karena Amberly masih sakit.“Sabar, belum waktunya.” Amberly mendorong tubuh Golda dengan lembut.Napas Golda yang sudah sedikit memburu, jadi melemah. Hasratnya tidak bisa terus lanjut, merasa terhalangi oleh fisik istrinya.Golda menatapnya penuh kabut, merapatkan dahi ke istrinya dengan mengatur napas lebih teratur. Beberapa lama dia bersikap begitu, Amberly hanya bisa menahan senyumnya. Lalu mengusap-usap dadanya dengan lembut.“Aku sudah ada di tanganmu, jangan terburu-buru.” ucapnya.“Kau godaan terbesarku, bisa disentuh, tapi tidak bisa diapa-apakan. Kamu curang ….” Golda berkata dengan menelan ludahnya.Amberly terkikik, kemudian menjauhkan wajahnya. “Kita belajar lebih mengakrabkan diri, apa kamu tidak ambil manfaatnya?”“Ya, kamu benar.” Golda akhirnya menyetujui, kemudian mengambil air minum dan meneg
“Kamu mau berbulan madu sama aku?” tanya Golda, setelah Gathan dan Lilian berpamitan.“Sama siapa lagi, sama kucing?” Amberly memalingkan wajahnya ke arah lain.“Kamu tahu, kan? Arti dari bulan madu? Kamu dan aku bersatu saling memadu kasih? Layaknya suami istri seperti pada umumnya.” Golda bertanya tidak percaya.“Aku ingin Ange punya adik, tidak jadi anak tunggal.” ujar Amberly ringan.Membuat Golda semakin ternganga, dibuatnya.“Tutup mulutnya, jangan malah bengong.” peringati Amberly. Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Golda seperti menerima durian runtuh. Hanya bisa terbengong-bengong.“Apakah kamu waras? Diam saja.” Amberly menegurnya.“Hampir tidak percaya kamu mengatakannya.” Tiba-tiba air mata merebak di pelupuk mata Golda. Dia duduk disamping ranjang Amberly. Dengan lembut, Amberly menatapnya. “Kita mulai hidup baru dan lupakan semuanya.” Amberly meengambil sejumput rambut bagia depan Golda dan memainkannya. “Aku hampir tidak percaya, mendapatkan anugerah yang tidak ter
Tangan kanan yang di infus, mulai membuka baju tangan yg di gips. Terasa sulitnya membuka pakaian dari rumah sakit itu hanya ada tali yang tidak diikatkan. Mata Amberly melihat pada Golda yang malah bengong."Bisa bantu aku?" tanyanya.Tentu saja Golda tampak terkejut. Dia agak terbata-bata menjawabnya. "A --- aku ...?""Siapa lagi? Kamu suamiku, bukan?" kembali tanya AmberlyDengan agak tertegun sejenak, Golda tergagap. "Ka ---kamu yakin aku yang harus membuka bajumu?""Siapa lagi?" Sambil memutar matanya, tangan kanan Amberly berusaha terus membuka bajunya. Hingga sebagian dadanya terlihat.Dengan menahan napas, Golda membantu Amberly melepas pakaiannya dari tangan yang di gips.Jantung Golda bergemuruh dengan detak tidak keruan. Dia melihat kulit dadanya yang seputih susu dan membusung, tanpa baju yang menghalangi lagi.Namun, dia harus meneruskan apa yang sudah dilakukan.Sebenarnya sudah tidak tahan, melihat keindahan tubuh Amberly. Dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan dir
Dalam keadaan oleng itu, Amberly merasa terdesak harus kembali membanting setir. Karena posisi mobil kecil semakin terpepet, mobil besar mau menggilasnya.Itu jelas perbuatan yang disengaja, akhirnya Amberly menabrak gundukan di depannya. Tidak terhindarkan.Ia merasa ini akhir hidupnya, dadanya merasa sesak. Gelap gulita, tidak sadarkan diri.Bangun dari pingsan, tahu-tahu Amberly sudah berada di rumah sakit. Kaki dan tangannya di bebat, sepertinya kena patah tulang.Menyadari bahwa ada seseorang di sisi tempat tidurnya. “Sully … “ usapnya pada rambut Sully.“Am! Kau sudah sadar? Syukurlah ….” ucap Sully penuh rasa lega, jadi menatapnya.Amberly tersenyum sebelum menjawab. “Aku selamat.”“Maafkan aku tidak bisa menolongmu.”“Kaukah yang dalam penyanderaan Rojak?” tanya Sully.“Makanya aku tidak bisa berbuat apa-apa.”“Tidak juga, kamu berani memberi perlawanan meski beresiko membahayakan keselamatanmu juga.”“Aku hanya bisa memperhatikan bendera, jadi kadang aku rebut setirnya, dan b
Alangkah kagetnya Amberly, secara cepat ingin mengangkat tubuh Golda supaya ke atas.“Beri ampun padaku atas apa yang kulakukan, Amberly ….” kata Golda dengan nada penuh penyesalan.Tubuhnya sudah terguncang-guncang karena isak tangisnya. Dia tetap bertahan dalam posisi bersujud di depan Amberly.“Jangan begini Gold, bangkitlah! Aku memaafkanmu.” jawab Amberly yang langsung direspons oleh Golda.“Mengapa kamu begitu mudah memaafkan?” tanya Golda sambil menengadahkan wajahnya.“Seperti yang diutarakan ibuku sebelumnya, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, kenapa aku harus mengingat terus kesalahan yang tidak tersimpan di ingatanmu?” Pandangan mereka bertemu.“Amber … Lelaki bejat ini tahu akibat perbuatannya, kamu sangat menderita.” Suara serak Golda menjelaskan perasaannya.“Jangan ingat lagi, mari kita lupakan kejadian yang tidak menguntungkan ini. Aku sudah sembuh, jiwaku merasa bebas sekarang. Karena aku sudah berhasil mengampunimu.”“Amber, sebenarnya aku tidak layak mendap
Hari-hari selanjutnya, Amberly tetap sabar dalam menghadapi sikap Angel yang belum reda dari ngambeknya. Tidak mau memaksa, dirinya yang memang salah. Ia juga sambil menunggu hasil perkembangan kasus akibat perbuatan Rojak.Amberly terkejut dengan kedatangan Gathan dan Lilian ke rumah sakit. Mereka berpelukan dan saling menyatakan kerinduan. “Kemana saja, Am? Menghilang begitu saja?” tanya Gathan, menatap Amberly sangat dalam.“Aku membantu bapak di pertambangan.” jawab Amberly tenang sambil menyunggingkan senyumnya.“Tidak mungkin kamu jauh-jauh datang ke sana, tanpa tujuan.” Kini Lilianlah yg berbicara. Amberly mengalihkan tatapannya pada Lilian. “Ya! Kak Lilian pasti sudah tahu, ibu Ranti dijemput paksa sama polisi.”“Kita tidak mempermasalahkannya, kalau itu benar mama ada keterkaitan di penculikanmu beberapa tahun lalu. Aku tidak berpihak pada mama atas kejahatan yang telah diperbuatnya. Biar pihak pengadilan yang membuktikan.” kata Gathan, menepuk-nepuk bahunya.“Kamu sudah me
Begitu membuka pintu, Amberly melihat bapaknya datang.“Bapak langsung kemari?” tanya Amberly. “Tentu saja, Bapak ingin tahu yang terjadi padamu. Bagaimana keadaan menantu Bapak?” “Sudah tertolong, Pak.” Amberly menerima pelukan Berly Hanan.“Syukurlah ….” Berly Hanan bernapas lega, kemudian melepas pelukannya. “Kamu tidak apa-apa?” Terlihat khawatir, hingga melihat wajah Amberly dan seluruh tubuhnya. “Am, hanya kena pukulan beberapa kali, tapi tidak apa-apa. Benjut sedikit masih bisa Am tahan” Ia terkekeh, mengikuti langkah bapaknya.“Kamu jadi wanita kuat.” ujar Berly tersenyum, menggusak puncak rambut anaknya.Berly Hanan melihat Golda, lalu bertanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”“Sudah membaik, tinggal pemulihan.” jawab Golda.“Sabar, pelakunya akan segera ditindak.” Berly menatapnya.“Mungkin sebentar lagi, polisi akan kemari untuk menanyakan kronologinya.”“Semoga polisi jeli hingga dapat mengungkap kasusnya. Kenapa sangat pas ada di tempat kejadian?”“Saya ingin bertemu Am
Golda meringis menahan sakit, Amberly segera memangku kepalanya tanpa ragu.Ia mengusap wajah tampan itu dengan tangan gemetar. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Amberly."Maafkan aku, Amberly." Golda memejamkan mata, tidak sanggup bicara lagi. "Golda!" teriak Amberly panik, saat melihat kepala Golda terkulai di pangkuannya."Pak, tolong segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dapat pertolongan." pinta Amberly ke supir."Iya … iya …" Pak supir segera bergerak memangku tubuh Golda, kemudian dibantu mengangkatnya ke mobil oleh Amberly.Amberly duduk terlebih dahulu, lalu meletakkan kepala Golda di atas pangkuannya kembali.Amberly menepuk-nepuk pipi Golda secara pelan. Tetapi Golda tetap tidak bereaksi."Mengapa kamu datang, saat aku dalam bahaya? Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Amberly.Tentu saja pertanyaannya tidak terjawab. Untuk menghilangkan kecemasannya, Amberly menangis."Dia siapa, Am?" tanya Sully yang duduk di depannya, samping pak supir.Amberly melihatnya. "
Untuk beberapa minggu, Sully merasa aman karena Rojak berhenti untuk mengganggunya. Pikir Amberly pun, Rojak merasa kapok sudah dihajar olehnya. Namun, kewaspadaan tetap ia jalankan, mengingat peringatan dari pak Hadi.Waktu libur yang lebih panjang, Amberly bersama Sully kedaerahnya, bertemu dengan kedua anaknya. Yang satunya sudah remaja berumur 14 tahun, cantik seperti ibunya. Yang kedua baru berumur sembilan tahun, seorang anak laki-laki."Inilah alasanku bekerja, Am. Kinara sudah mau masuk SMA. Ia mengincar sekolah favorit yang cukup besar biayanya." terang Sully."Kamu pasti bisa dengan gajimu sekarang, dipertambangan.""Aku juga harus berbagi dengan ibuku yang merawat kedua anakku. Aku menabung juga untuk membeli rumah sendiri." ungkap Sully."Ibuku juga menganggap, pendidikan hal yang terpenting. Meski dengan warung kecilnya, beliau mampu menjadikan aku sarjana." Ceritakan tentang hidupmu, Am. Sejauh aku kenal dirimu, tidak pernah menceritakan keluargamu." pinta Sully."Aku l