"Kau membodohiku yah?" Pekik Niela. Dia mulai sadar ketika Kindly tertawa saat di pukul bantal. Sepertinya dia dan bantal akan jadi 1 kubu jika dalam mode menyerang."Eh, tidak. Penyakit itu sungguhan ada." Sahut Kindly belum menyerah. Dia menangkap ke-2 tangan sang istri agar berhenti gerak liar."Aku tidak percaya." Seru Niela jengkel. "Kau pergi saja ke kamarmu! Sana, sana!!" Usirnya persis anak kecil merajuk."Oke oke. Aku tidak akan bicara lagi." Ucap Kindly mengangkat ke-2 tangan. "Kita damai yah?" Katanya. Lalu merebahkan diri dan mengatur nafas.Niela pun ikut berbaring. Dada mereka kembang kempis sesuai kecepatan nafas. Hening sejenak sembari menatap langit-langit kamar."Oh yah Kin, satpam di depan bertambah orang yah?" Tanya Niela mengingat orang asing yang dilihatnya sedari pulang dari rumah sakit."Hm. Supaya tidak ada perampokan lagi. Kalau yang lain berpatroli atau aku suruh sesuatu, maka yang lainnya bisa tetap tinggal di tempat untuk berjaga. Sekaligus bisa gantian tu
Kindly bangun hati-hati agar tidak membangunkan Niela. Di menuju balkon lalu mengangkat panggilan itu."Hallo Niel?" Sapa Harell dengan suara seraknya."..."Kindly diam. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan Harell selama mengira Niela yang menjawab pangilannya."Sayang?" Ucap Harell lagi.Tangan Kindly terkepal mendengar suara pria itu. Setiap urat menonjol di balik kulit menunjukkan seberapa tinggi amarahnya. Wajahnya datar bermata tajam. "Untuk apa kau menghubungi istriku?"Tut..tut..tutPanggilan di putus sepihak. Kindly menatap geram layar posel yang berganti wallpaper kelinci tidur. Dia mengurung niat menghancurkan benda itu dan mulai mengutak-atik dengan jari-jari lihainya. Tak ada pesan dan panggilan dari nomor Harell. Berarti pria itu baru menghubungi Niela hari ini setelah perkelahian mereka kapan hari. Kindly merasa ada yang aneh. 'Apa aku melewatkan sesuatu?'"Kin" panggil Niela yang berdiri di belakang punggung Kindly. Badan kekar itu pun segera berbalik. Mata Niela jat
Nyatanya Kindly tidak pulang malam itu. Tak ada berita apa pun. Kini, warna hitam membentuk setengah lingkaran di bawah mata Niela. Wanita itu sulit tidur setelah terbangun tengah malam. Dia masih betah berbaring di sofa dekat jendela dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Segala pertanyaan muncul dalam benakanya. Apa Kindly baik-baik saja? Dia tidak kecelakaan kan? Apa ada masalah di kantor mendadak? Atau... dia tidak sedang selingkuh kan?Tok..tok..tok.."Niel, ini ada telepon dari tuan Kindly." Ucap seorang pelayan di balik pintu.Seketika Niela berdiri tegap. Terlalu senang karena akhirnya Kindly memberi kabar juga pagi ini. Hal yang ditunggu semalaman. Dia berpikiran positif, mungkin saja sang suami sangat sibuk jadi terlambat mengabari. Wanita itu berlari kecil persis balita riang yang merindukan kepulangan orangtuanya.Ceklek"Ini katanya tuan mau bicara." Pelayan itu menyerahkan ponselnya."Iya, terimakasih."Setelah mengangguk sopan, si pelayan menjauh untuk memberikan ruang ba
Jeri melirik kaca depan mobil untuk melihat keadaan tuannya di belakang. Sebab pria itu belum turun meski mereka sudah sampai depan pintu utama. Kegusaran terlihat jelas di balik wajah kerasnya. Tampak masih mempertimbangkan sesuatu sebelum membuka pintu. Masalah perusahaan yang datang bertubi-tubi membuatnya lelah fisik dan batin. Mau tak mau Kindly memilih bermalam di kantor agar bisa menuntaskan masalah secepatnya. Belum lagi bayang-bayang orang ke-3 yang cukup menganggu. Ini sungguh menyebalkan.Setelah menenangkan diri, Kindly keluar dari mobil langsung menuju ke kamarnya. Badan yang gerah menghipnotisnya untuk segera mandi membersihkan diri. Dia berendam cukup lama sembari menikmati alunan musik yang menenangkan pikiran dan menyejukkan suasana, meski ada saja hal yang mengganggu kedamaian hatinya. Dia fokus melakukan aktifitas hingga lupa satu hal. Pria itu turun untuk mengisi perutnya yang lapar. Wajar saja, ini memang sudah waktunya makan malam. Tak mendapati Niela di sana, di
Pertanyaan Harell memutar otak Kindly berpikir keras. Musuh mana? Saingan bisnis Kindly? Rasanya mustahil mereka bisa tahu nomor Niela. Apa lagi Kindly melarang istrinya kemana-mana kecuali keluar bersamanya. Bukan karena serakah atau ingin mengekang, namun mengingat kecelakaan yang pernah dialami sang istri, Kindly tidak mau kejadian itu terulang lagi. Setidaknya jika keluar bersama, dia bisa melindungi Niela kalau-kalau ada hal buruk terjadi. Tapi ada yang tidak beres di sini. Terlalu banyak teka-teki aneh yang sulit dijawab.Kalau memang si pengganggu bukan Harell lalu kenapa nomor itu diberi namanya? Apa Niela yang melakukannya? Tidak mungkin, sebab nomor Harell asli saja di hapus, kenapa dia harus membuat yang palsu?Jika benar orang luar, sudah pasti tujuannya adalah menghancurkan rumah tangga mereka dengan jalan memancing kecemburuan Kindly. Artinya orang ini tahu bahwa Kindly mudah terbakar. Dia mengenal baik Kindly dan Niela. Dari caranya memilih Harell sebagai target jeba
3 jam sebelum kebakaran.Sehabis makan, Niela duduk termenung di jendela ruang depan. Wajahnya bertumpu pada lengan yang terlipat di tepi jendela. Pipi tembemnya menggembung saat di tindih miring sebelah. Bibirnya pun mengerucut lucu. Pemandangan halaman depan tampak asrih di sela-sela tenggelamnya matahari yang membiaskan cahaya oranye. Indah dan tenang. Namun ingatan tentang sang suami membuyarkan ketenangan Niela. Entah kenapa dia tiba-tiba gelisah. Ada rasa ingin kembali tapi mengingat sikap Kindly yang kasar tanpa alasan jelas membuatnya enggan pulang."Aku tidak merasa salah." Gumamnya. Seberapa keraspun dia berpikir, tak ada kesalahan pada dirinya yang ditemukan. Kecuali mengenai perdebatan kecil mereka. Tapi bukankah itu hanya candaan? Niela juga tidak pernah sungguhan marah saat merajuk. Dia hanya mengikuti permainan sang suami yang suka menggodanya. Dan ketika malam mereka akan bicara baik-baik lalu tidur berpelukan. Tak ada masalah selama ini. Jadi Niela rasa bukan itu int
Kindly diikuti rombongannya dalam perjalanan menjemput Niela. Pria itu memanggil bodyguard sewaan sekaligus untuk mengantisipasi segala hal buruk."Nama aslinya Prili, dia hanya anak angkat tidak resmi. Itu sebabnya namanya tidak terdaftar dalam kartu keluarga mereka." Ucap seorang hacker yang duduk di sebelah Kindly.Kindly mendengus kesal. Pantas saja dia tidak mencium hubungan si pencuri dengan pelayan sialannya itu. Kindly bersumpah akan menguliti Lili jika sampai menyakiti Niela. Dia berharap wanita terbakar itu adalah orang lain. Meski degub jantung mengetuk keras di balik dada. Tapi Kindly menolak menerima berita tak jelas itu.'Niel masih hidup, istriku pasti baik-baik saja.' Batinnya menutupi rasa takut kehilangan.Sesampainya di sana, api sudah padam. Para petugas damkar berhasil menghentikan kobaran si jago merah. Kerumunan warga juga bubar. Kini sepi, tidak seperti saat terekam di layar televisi. Apa lagi mereka tiba lewat tengah malam, jadi banyak yang sudah terlelap. Sel
Kindly memutuskan kembali bersama sebagian orangnya. Mobil mereka di kawal ketat sebagai antisipasi dari serangan dadakan. Dia mendekap erat tubuh Niela sambil mendengar racauannya yang belum puas mengadu. Tapi Kindly lebih suka Niela seperti ini. Dulu wanita itu hanya akan diam dan jarang mengeluh kalau punya masalah pribadi. Ini sebuah kemajuan dalam hubungan mereka, dimana dia menganggap suaminya sebagai tempat aman. Lebih dari pada itu, Niela tampak baik-baik saja dari segi fisik maupun mental. Dia memang menangis, tapi masih sanggup bicara normal dan mampu menanggapi sekitar.Sampai di rumah, Niela memaksa mandi untuk menghilangkan rasa jijik lagi pada tubuhnya. Sentuhan-sentuhan geli dari pria asing itu merupakan bayangan terburuk. Dia buru-buru menggunakan piama setelah selesai bersih-bersih, lalu lari menabrak peluk sang suami yang siaga di dalam kamar.BrughPelukan tiba-tiba itu membuat Kindly mundur beberapa langkah. Dia tidak marah, justru balas memeluk dan mengemong sang
Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b