Kindly memutuskan kembali bersama sebagian orangnya. Mobil mereka di kawal ketat sebagai antisipasi dari serangan dadakan. Dia mendekap erat tubuh Niela sambil mendengar racauannya yang belum puas mengadu. Tapi Kindly lebih suka Niela seperti ini. Dulu wanita itu hanya akan diam dan jarang mengeluh kalau punya masalah pribadi. Ini sebuah kemajuan dalam hubungan mereka, dimana dia menganggap suaminya sebagai tempat aman. Lebih dari pada itu, Niela tampak baik-baik saja dari segi fisik maupun mental. Dia memang menangis, tapi masih sanggup bicara normal dan mampu menanggapi sekitar.Sampai di rumah, Niela memaksa mandi untuk menghilangkan rasa jijik lagi pada tubuhnya. Sentuhan-sentuhan geli dari pria asing itu merupakan bayangan terburuk. Dia buru-buru menggunakan piama setelah selesai bersih-bersih, lalu lari menabrak peluk sang suami yang siaga di dalam kamar.BrughPelukan tiba-tiba itu membuat Kindly mundur beberapa langkah. Dia tidak marah, justru balas memeluk dan mengemong sang
"Mau ke mana lagi? Aku sudah puas belanjanya kok. Lemarinya mungkin juga sudah tidak muat." Oceh Niela saat Kindly menggandengnya lagi keluar toko ke sekian kalinya. Wanita itu senang dibelanjakan tapi dia tidak terbiasa hidup boros. Jadi pemberian Kindly ini dinilai membuang-buang uang."Cari dessert. Kau suka yang manis-manis kan?" Kindly berhenti di sebuah tempat resto. Harum roti yang sedap menusuk indera penciuman. Menghipnotis siapa saja yang lewat untuk mampir membeli. "Kata sekertarisku roti di sini enak, tapi ada juga dessert yang lain kalau mau. Bagaimana, mau mencoba?"Jiwa penikmat cemilan Niela terlalu payah menolak. Perutnya mengamuk ingin di isi menu tersebut. "Iya mau." Angguknya tersenyum manis.Mereka pun duduk dan memesan di sana. Banyak nama makanan asing bagi Niela di buku menu. Selain ice cream, dia meminta Kindly memilihkan untuknya. Tak lama hidangan croissant, muffin, choux paste, cream pie, dan ice cream di antarkan pelayan ke meja mereka. Senyuman Niela sema
"Gunakan pakaian tebal, cuacanya cukup dingin." Ucap Kindly ketika Niela melewatinya saat berjalan ke walk in closet. Wanita itu baru selesai mandi dan masih menggunakan bathrobe."Iya." Sahut Niela sembari berlari kecil memegang kuat ke-2 sisi bathrobe yang tak terikat karena buru-buru."Hati-hati!" Seru Kindly melihat telapak kaki sang istri basah bahkan tidak memakai alas kaki.Hujan kembali jatuh hari ini dan cukup berangin. Padahal pagi tadi tampak cerah disinari matahari. Niela pun memaki diri sendiri sebab bangun telat. Dia sadar akan kesalahannya jadi sudah siap kena marah. Namun Kindly justru membantunya mengambilkan mantel hangat untuk menghemat waktu. Jika sudah begini, Niela ingin melakukan suatu hal yang sama untuk sang suami meski dalam kategori berbeda.Di dalam mobil, Niela hanya diam demi menghormati percakapan Kindly bersama koleganya lewat ponsel. Selesai satu di ganti yang lain lagi. Pria itu juga sangat fokus pada layar tabletnya mengamati tulisan-tulisan word dan
"Selamat sore tuan Kin." Sapa semua orang di sana. Wanita yang menyerang Niela tak bisa menyembunyikan ekspresi kaget campur takut. Mendengar lembutnya Kin memanggil Niela, sudah pasti hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya."Kin kakiku sakit." Keluh Niela memanfaatkan situasi. Kakinya memang sakit tapi biasanya dia malu untuk berlaku manja hanya karena ingin diperhatikan. Apa lagi mereka ada di tempat umum. Namun beda dengan hari ini, Niela sengaja memancing amarah Kindly untuk memanasi wanita sialan itu. Kindly menggendong tubuh Niela ke kursi yang tersedia. Lalu melipat 3 kali ujung bawah celana panjang Niela untuk di periksa. Tak ada yang berani bersuara ataupun bergerak lebih."Kenapa sampai merah begini? Apa kau jatuh?" Tanya Kindly khawatir. Niela pun diam hanya menunduk. Dia memang ingin menghukum wanita itu tapi dia tidak mau terkesan anak kecil yang langsung mangadu. "Niela? Hey aku tidak marah, hanya bertanya." Kindly meraih wajah Niela mengusapnya lembut lalu m
Tak mau menunjukkan perasaan malunya, Niela berusaha bertingkah biasa saja. "Cih, kau pikir aku percaya?""Mau bukti? Aku bisa melakukannya di sini." Kindly bangun dan menggeser bokongnya mendekati sang istri. "Kemari." Tangan nakalnya menarik pinggang ramping itu lalu mendaratkan kecupan kilat di pipi Niela.Niela refleks menahan wajah sang suami seolah takut diperkosa orang asing. "Hey, bukan begini Kin, aduh. Kenapa jadi mesum sih?" Ketusnya. Kindly menarik tangan Niela ketika wanita itu berdiri untuk menghindar. Kemudian sang suami melingkari pinggangnya dengan pelukan."Kenapa? Apa kau lupa aku suamimu? Justru kau durhaka jika tidak membiarkanku mengambil hak, dan sekarang aku memintanya." Kindly melayangkan kecupan bertubi-tubi di pipi, dahi, dan hidung sang istri."Ha ha ha." Niela pasrah. Mau sekuat apa pun dia melawan tidak akan mampu menandingi kekuatan sang suami. "Sudah, sudah Kin ku mohon."Teriakan Niela tak di gubris. Kindly semakin bernapsu tak tertahan. Dia lantas men
Malam itu, keinginan Niela untuk melihat bintang dan pemandangan malam bersama sang suami terpenuhi. Meskipun harus memberikan pelayan sekali lagi sesuai permintaan Kindly. Sofa bed pun ditarik mendekati dinding kaca agar mereka bisa menikmati waktu sambil tidur. Setidaknya mereka berhasil terlelap meski butuh waktu sejam lebih. Keesokan harinya Niela bangun seorang diri di ruangan itu. Dia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Artinya Kindly sudah mulai kerja. Saat berdiri, dia melihat sepasang baju miliknya yang sudah tersedia di atas kasur. "Wah, harusnya aku yang melakukan ini padanya." Kagum Niela sembari meraba baju yang di tertata rapi di sana. Dia tersanjung dimanja sebegitunya. Bahkan tidur nyenyaknya tidak di ganggu sama sekali. Dia pun berpikir harus melakukan apa untuk membalas. Rasanya malu sekali kalah telak melakukan tugas tersebut sebagai seorang istri, apa lagi jika sampai ketahuan Sena.Setelah mandi, Niela minta ijin pulang pada sang suami agar bisa mas
Sampai Kindly selesai makan, pikiran Niela tidak bisa jernih. Dia bingung mengahadapi sang suami. Respon yang diberikan ketika Kindly sesekali bertanya pun cuma dijawab sekenanya saja tanpa embel-embel tambahan. Padahal biasanya dia akan lanjut cerita pengalaman jika yang dibahas ada sangkut paut dengan dirinya.Namun perlakukan Kindly tadi menciptakan tembok baru di antara mereka. Niela tidak mudah bergaul. Dia sangat selektif memilah orang untuk sekedar berceloteh sedikit tentang masalahnya termasuk hal yang tergolong kecil sekali pun. Namun jika keluhannya dianggap sepele oleh siapapun maka dia akan menyortir sikap supaya lebih tetutup lagi."Niel?""Huh?" Kaget Niela saat Kindly menepuk pahanya. "Aku tanya apa kau yang buat dessert ini?" Ulang Kindly mengangkat mangkuk mini yang berisi dessert yang di maksud."Iya. Aku." Jawab Niela kaku.Kindly menyadarinya. Tapi memutuskan tidak di bahas sebab peka kalau sang istri sedang sensitif. Jadi dari pada lanjut memperbesar masalah, dia
Kindly tersentak mendengar keributan sang istri. Panik melanda dirinya. Dia buru-buru membilas tubuh yang baru terkena sabun setengah bagian. Detakan jantungnya tak karuan kala menyambar bathrobe lalu berlari secepat mungkin ke sumber suara."Niel, Niel kenapa?" Serunya dari sebelum buka pintu kamar mandi sampai di hadapan orang yang di khawatirkannya."Aku menang, aku menang undian. Yuhuuu." Katanya dengan raut wajah penuh kegembiraan. "Ini, aku dapat bukunya. Hebat sekali." Sebuah buku bercover gelap di angkat ke dada dan dia peluk layaknya sebuah piala.Kindly tak berkutik di tempatnya. Jadi teriakan tadi hanya respon wujud senangnya? Bukan sesuatu yang berbahaya? Sungguh baru kali ini Kindly merasa di prank. Jeleknya itu terjadi saat mandi. Untung saja dia masih berpikir jernih untuk mengunakan bathrobe sebelum keluar. Badannya bahkan masih licin karena tidak dibilas betul."Kau berteriak karena buku itu?"Seperti bayi tak berdosa, Niela tersenyum senang mengiyakan pertanyaan sang
Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b