Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
Kantin kampus sangat ramai. Di meja tengah, beberapa mahasiswa berkumpul sedang bercakap-cakap tentang mata kuliah yang baru saja selesai. Ada komentar baik dan ada juga yang tidak menyukai mata kuliah itu, entah isi mata kuliahnya yang membosankan atau dosennya yang tidak memiliki metode mengajar yang menarik. Beberapa menit kemudian, kantin mulai ditinggalkan oleh para mahasiswa yang menuju ke ruang kelas masing-masing, hendak melanjutkan ke mata kuliah berikutnya. Tapi, meja tengah masih ramai. “Kenyang nih, pengen tidur aja.” ucap seorang gadis berambut kuning kecokelatan panjang. “Iya, bawaannya ngantuk. Kebanyakan makan aku nih.” Seorang gadis lagi berujar sambil mengelus perutnya yang mengembung. Ocehan-ocehan kemalasan terus mengumbar dari mulut gadis-gadis itu. Tengah hari setelah makan memang menuntun pada rasa kantuk. “Udah jam 1 lebih. Yuk!” ajak seorang gadis berpakaian dress putih panjang. Ia pun berdiri dan melangkah ke pintu kantin, diikuti oleh dua gadis lainnya.
Mentari duduk memandangi anak-anak yang saling melemparkan bola di trotoar depan. Mereka masih memakai seragam putih merah, lengkap dengan tas di punggung berbeda warna. Tiap anak berteriak meminta bola dioper ke arahnya. Mobil merah memasuki area parkir restoran cepat saji dan parkir di samping pintu masuk. Seorang pria turun dengan percaya diri. Kepalanya terangkat, dengan kacamata hitam besar, dia melirik kanan-kiri mencari tukang parkir yang tidak bisa ditemukannya. Pria itu melangkah masuk ke dalam restoran sambil menekan kunci mobil di tangan kanannya. Bunyi mobil terkunci terdengar. “Argan!” suara panggilan Gempita menarik pandangan pria itu ke arah kiri restoran. Ia melihat dua wanita sedang duduk berdampingan menghadap ke arahnya. Wanita satunya dia kenal tentu saja, itu saudara sepupu jauhnya. Wanita satunya lagi tidak bisa dikatakan dikenalnya, ia hanya melihat fotonya dan mendengar berbagai cerita tentangnya dari Gempita. ‘Itu pasti Mentari. Hmm....’ batin Argan. ‘Cant
“Gimana semalam?” Kartu mahasiswa di tangan Mentari terjatuh ke ubin putih dekat sepasang sepatu kets hitam saat ia mendengar suara Gempita berbisik tepat di telinganya. “Dasar kamu, nih. Untung aja bukan gelas yang kupegang.” ucapnyamelangkah hendak mengambil kartu mahasiswa yang terjatuh di lantai. Terdengar suara Gempita berujar, “Kalau gelas yang jatuh, kamu bakal menjadi OB(Office Boy) dadakan.” Mentari mengulurkan tangannya hendak memungut kartu mahasiswanya, tapi didahului oleh pemilik sepatu kets hitam. Diulurkannya kartu mahasiswa itu pada Mentari tanpa berkata-kata. “Terima kasih.” Ucap Mentari tulus sambil tersenyum dan kembali ke tempat Gempita berdiri. “Siapa ‘tuh? Imut juga.” Mata Gempita membesar memperhatikan pria bersepatu kets hitam yang sekarang tengah berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya. “Mau aku kenalin?” canda Mentari. “Kamu juga ga kenal gimana mau kenalin?” ia kembali menatap Mentari. “Ke mana kalian semalam?” kali ini matanya dipicingk
Mentari dan Argan menikmati waktu bersama mereka di pantai. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, saat yang tepat untuk menikmati indahnya pantai, hanya mereka berdua. Tidak banyak pengunjung di pantai berpasir putih berjarak dua jam perjalanan dari rumah Mentari. Lokasinya berada di dekat perkampungan kecil, namun tidak banyak yang datang berkunjung ke pantai ini, karena pantai ini belum dikomersilkan.Argan mendapat rekomendasi dari Gempita. ‘Pantainya cantik, bersih juga. Terlebih lagi sepi. Jarang yang tahu pantai itu. Kalian bisa menikmati waktu romantis berdua. Jangan lupa bawa bekal, di sana tidak ada yang jualan. Beli aja nasi kuning, Mentari suka itu. Ga perlu yang mahal-mahal, Mentari ga pemilih kok.’Argan mengikuti setiap saran yang dianjurkan Gempita. Kantong plastik yang dibawanya berisi dua nasi kuning yang terbungkus kertas makan, beberapa cemilan dan beberapa minuman kemasan yang dibelinya di minimarket dalam perjalanan ke rumah Mentari tadi. ‘Persiapan yang matang, s
Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”Kegaduhan itu mengundang