Jingga sama sekali tak menyangka, bahwa dia akan duduk semeja di ruang makan dengan pria yang dulu pernah menyelamatkannya dari para pemuda berandalan. Ditatapnya raut wajah yang tidak banyak berubah sejak beberapa tahun lalu itu, kecuali uban yang tumbuh semakin lebat. Bahkan rambut Atmawirya seluruhnya berwarna putih keabu-abuan. Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi ketampanan pria paruh baya tersebut. "Ayo, dimakan steak-nya, Ngga. Nanti dingin nggak enak, lho," tutur Atmawirya, membuyarkan angan Jingga. Untuk sejenak, gadis itu lupa akan Ganendra yang sedang berduaan bersama Sandra. "I-iya, Pak," ucap Jingga gugup. "Jangan panggil 'Pak', dong. Papa saja. Kan kamu sudah sah menjadi istri Gaga, itu artinya kamu putri papa juga," tutur Atmawirya. "Oh, iya, Pak. Ehm, maksud saya, Pa ...." Lidah Jingga masih belum terbiasa menyebut nama pria yang duduk penuh wibawa di hadapannya itu. Atmawirya terkekeh pelan. Sambil mengiris potongan daging, dia melirik Jingga yang tampak s
Ganendra merasakan tubuhnya begitu ringan, seperti terbang. Sekelilingnya gelap gulita. Dia bahkan tak dapat melihat jari-jemarinya sendiri. Sayup-sayup, terdengar suara seorang gadis memanggil namanya. Makin lama, makin jelas. "Jingga," ucap Ganendra lemah. "Jingga? Kamu di mana? Aku di sini!" Rasa hati ingin berteriak, tapi apa daya, membuka mulut saja dia berat. "Pak Ganendra," panggil suara merdu itu lagi, seiring dengan kegelapan di sekitarnya yang mulai memudar. Kini semuanya jelas, Ganendra mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menggerakkan kepala ke samping. Sesosok wanita cantik berbalut gaun tidur berbahan tipis dan transparan, tengah tertidur pulas, tepat di sebelah Ganendra. "Sandra!" Ganendra refleks beringsut menjauh, sampai-sampai dia hampir terjatuh dari ranjang. "Apa-apaan ini!" sentaknya nyaring. Wanita yang tak lain adalah Sandra itu langsung terbangun. Dia mengusap dada karena terkejut oleh teriakan Ganendra. "Ga! Jangan bikin kaget!" seru Sandra. "Apa yang kamu lak
"Papa hendak mengusirku?" Ganendra tertawa meremehkan. "Apa Papa lupa? Aku satu-satunya penerus nama Wiratmaja! Atau memang itu yang Papa inginkan? Jangan-jangan Papa sengaja melemparkan bisnis kita yang sudah berlangsung turun temurun ke adik-adik Papa yang belum tentu mereka sanggup mengurusnya?" "Lebih baik bisnisku hancur dan jatuh miskin daripada melihat hidupmu yang hancur, Ga," desis Atmawirya. "Aku sudah tua. Keinginanku hanya satu, melihatmu hidup tenang dan damai bersama wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Sudah cukup kamu berpetualang dengan banyak perempuan tidak jelas di luar sana!" "Ya, ampun." Ganendra memijit pangkal hidung seraya terkekeh pelan. "Kamu boleh menganggap enteng perkataanku, tapi ingatlah satu hal, Nak. Kamu tidak akan selamanya muda. Di saat, tulang-tulangmu sudah tak mampu menyangga tubuhmu, saat itulah kamu akan sadar," tutur Atmawirya. "Sadar tentang apa, Pa? Selama ini aku selalu sadar. Lebih baik hidup sendiri daripada harus dikecewaka
"Memulai apa?" tanya Jingga polos. Ganendra yang gemas, segera mengurai pelukan, dan mendorong tubuh Jingga sedikit menjauh, agar dia dapat melihat dengan jelas wajah cantik yang tengah kebingungan itu. "Kuakui, kita bertemu dengan cara yang salah. Alasan kita menikah juga salah. Jadi ...." Ganendra diam dan berpikir. Baru kali ini dirinya kebingungan merangkai kata-kata. "Jadi?" desak Jingga penasaran. "Apa kamu mau menjalani pernikahan yang sebenarnya bersamaku?" tanya Ganendra. "Pak?" Jingga langsung bangkit dan menjauh. Dia menatap Ganendra sambil memasang raut tak percaya. "Anda tidak sedang bercanda, kan?" tanyanya memastikan. Ganendra menggeleng seraya tersenyum. "Aku ingin mencobanya bersamamu. Kamu mau, kan?" tawarnya lembut. "Ta-tapi ... Kak Sandra ...." Jingga menggigit bibir bawahnya. "Kenapa dia?" Ganendra menautkan alis. "Anda dan Kak Sandra ...." Mimik muka Jingga mendadak sedih. Dia lalu menunduk dalam-dalam saat Ganendra menatapnya lekat-lekat. "Sebenarnya, a
Bagi Ganendra, lari pagi hari itu adalah lari pagi yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Dia bisa berolahraga sekaligus menggoda Jingga yang berlari terengah-engah. Tiap seratus meter, gadis itu berhenti dan membungkuk sambil memegangi perutnya. "Pak, berhenti dulu. Aku tidak kuat," keluh Jingga untuk kesekian kali. "Lemah," ejek Ganendra seraya tertawa. "Ayo, Jingga. Kamu baru berusia dua puluhan. Masa kalah denganku yang sudah kepala tiga!" "Ya, itu karena anda sudah terbiasa." Jingga meringis, lalu menegakkan tubuh dan berkacak pinggang. "Makanya, kamu juga harus terbiasa." Ganendra yang sudah beberapa meter di depan Jingga, langsung menghampiri istrinya itu. Dia langsung memanggul tubuh ramping Jingga ke pundaknya. "Aw, Pak! Turunkan aku!" pekik Jingga sembari memukul-mukul punggung Ganendra. "Gerakmu terlalu lamban. Bisa-bisa aku terlambat ke kantor," ujar pria tinggi dan tegap itu sambil berlari kecil menuju kediamannya. Ganendra baru menurunkan Jingga saat mereka tiba
"Astaga!" Jingga terkikik geli. "Seperti panggilanku ke tukang sayur yang biasa lewat depan rumah.""Lama-lama kamu makin kurang ajar, ya! Masa aku disamakan dengan tukang sayur!" omel Ganendra. "Biasanya orang-orang kaya memiliki nama panggilan khusus yang terdengar mewah dan elegan. Seperti yang biasa kutonton di film-film barat," celoteh Jingga, seiring langkah mereka yang beriringan menyusuri koridor menuju kamar Ganendra."Seperti apa contohnya? Darling? Honey? Love?" cetus Ganendra."Honey juga bagus." Jingga menjentikkan jari. "Ah, seperti anak remaja yang baru saja jatuh cinta saja kita ini, Ngga," elak Ganendra keberatan."Aku memang baru kali ini jatuh cinta," sahut Jingga sambil tersenyum malu-malu. "Oh, ya?" Ganendra menatap istrinya dengan sorot takjub. "Gadis secantik kamu, mana mungkin tidak ada yang naksir?" celetuknya tak percaya."Yang naksir banyak, tapi ...." Jingga terdiam sejenak. "Aku t
"Pak! Anda mau apa?" Jingga berusaha meraih lengan Ganendra yang berjalan cepat di depannya. "Pria brengsek itu harus diberi pelajaran! Apa dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Di mana sopan santunnya!" geram Ganendra dengan muka merah padam menahan amarah. "Pak, sudahlah! Biar aku yang menjelaskan padanya!" Jingga memohon. Ditangkupkannya kedua tangan di depan dada. Ganendra sontak berhenti dan melotot tajam pada Jingga. "Kamu membelanya?" tanyanya tak suka. "Bukan! Aku hanya tidak ingin ada keributan. Kumohon." Jingga langsung menghambur dan mendekap tubuh Ganendra erat-erat. "Lepas, Ngga," desis Ganendra. "Jangan sampai aku mengira kalau kamu sedang berusaha untuk melindungi Anggada." "Bukan!" Jingga menggeleng kencang. Kedua tangannya masih melingkar di tubuh tegap Ganendra. Pria rupawan itu mulai risi dengan sikap Jingga. Dia berusaha mengurai pelukan sang istri, bersamaan dengan datangnya sosok yang hendak dicari oleh Ganendra. Pria yang tak lain adalah Anggada
Entah apa tujuan Atmawirya mengunci Jingga di dalam kamar pribadinya. Gadis itu sama sekali tak memahami jalan pikiran sang mertua.Untuk membunuh waktu, Jingga hanya mondar-mandir antara kamar dengan balkon Sementara Atmawirya dan Ganendra berada di ruang kerja sejak beberapa jam yang lalu. Di sana, mereka menginterogasi Anggada sampai selesai.Merasa lelah dan bosan, Jingga akhirnya mengempaskan tubuh, duduk di sebuah bangku kayu yang terletak di dekat pagar balkon.Saat itu, pandangannya tak sengaja menangkap sosok Anggada yang berjalan gagah melintasi halaman depan. Spontan Jingga berdiri dan memperhatikan sosok tegap itu.Saat melewati air mancur, Anggada tiba-tiba menghentikan langkah, lalu mendongak ke arah lantai dua. Dia melihat Jingga di sana. Seulas senyuman manis dan hangat tersungging dari bibirnya. Sebuah senyuman terakhir untuk Jingga. Anggada mengangguk sebagai isyarat pamit. Ragu, Jingga membalasnya dengan lambaian tangan pelan. Hanya gerakan sederhana seperti itu, m
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b