"Benarkah? Dia berkata begitu?" tanya Brianna skeptis sambil memutar bola matanya.
Gadis itu membalikkan badannya lagi. Mencoba menghindar dari pertanyaan Matthew dan berniat melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sambil masih memikirkan Grey."Apa yang dilakukan Grey? Ia bahkan tak menghubungiku sejak putus," gumam Brianna sambil mencuci tangannya tanda pekerjaannya pagi itu usai."Kau bilang apa?"Matthew begitu mengejutkan. Pria itu tiba-tiba muncul di sebelah Brianna."Nona Westbrook.""Kau suka sekali memanggilku dengan sebutan Westbrook. Panggil saja aku Brianna," ucap Brianna."Dengarkan aku, Brianna." Matthew berusaha untuk berbicara serius sambil menyandarkan tubuhnya di meja dapur. "Kau masih ingat tentang surat kontrakmu, bukan? Kau dibayar dan tidak gratis. Aku tak mau dibilang akan menikah dengan seorang wanita yang masih punya kekasih. Selesaikan masalahmu dengan pria bernama Grey dengan lambang hati itu. Aku cemburu, Nona Westbrook."Brianna melirik langkah kaki Matthew yang pergi meninggalkan dirinya."Untuk apa kau cemburu?" gumam Brianna. "Seperti benar-benar sedang mencintaiku saja.""Selesaikan pekerjaanmu. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat," ucap Matthew sambil menoleh sebentar pada Brianna."Apa pria itu mendengar gumamanku?"Brianna menghela napasnya kasar.Ia juga tak punya bayangan apapun tentang ke mana Tuan MacMillan yang tampan dan kaya raya itu akan membawa Brianna.Bodohnya gadis itu harus menurut demi surat kontrak yang ia tanda tangani semalam.Matthew pati sudah cukup lama sedang menunggu Brianna bersiap untuk pergi sekarang."Kau sudah selesai berdandan?" Matthew tanpa sungkan menerobos masuk kamar Brianna.Brianna yang sedang akan mengancing kemejanya itu buru-buru menutup dadanya.Lagi-lagi. Pria itu seperti sedang membobol tembok tinggi di antara mereka berdua."Sekali lagi kau masuk tanpa izin, aku tak mau menjalankan surat kontrak, Tuan MacMillan.""Oh, ayolah. Kau butuh pekerjaan ini, bukan? Kau tak punya pekerjaan setelah dipecat dari teater."Brianna bergidik ngeri. Pria ini seolah sudah tahu kehidupannya."Mengerikan. Kau menguntitku, huh?"Matthew dengan percaya dirinya mengangguk yakin. Ia memang mengamati gerak-gerik Brianna sejak hari pertama pementasan."Sungguh menakutkan," gumam Brianna.Matthew mengambil jaket berbulu milik Brianna yang ada di atas ranjang dan menyelimutkannya di pundak calon istrinya itu."Brianna Westbrook." Tanpa sungkan, Matthew memeluk Brianna dari belakang. Membuat rambut-rambut halus yang ada di sekitar leher Brianna menegang."K-Kau bisa melepaskan pelukanmu, Tuan Matthew?" tanya Brianna ragu. Ia tak nyaman sekarang. Harusnya tak begini jika Matthew tak setampan ini. Tapi, wajah rupawan Matthew benar-benar membuat Brianna gelagapan."Jangan. Aku tak mau melepasnya sekarang. Aku harus mencontohkan kepadamu tentang bagaimana bermain peran di muka umum. Aku mau kau begini saat ada di luar."Matthew meletakkan kepalanya di bahu Brianna. Menyandarkannya di sana sampai membuat tubuhnya agak menunduk.Sumpah, Brianna agak tak nyaman berada di posisi sekarang ini. Matthew benar-benar bertingkah seperti sedang tak bermain peran. Ia seperti sedang bertingkah di hadapan calon istrinya yang sungguhan."Tuan MacMillan, tolong. Aku tak nyaman.""Sungguh? Kau tak nyaman? Padahal kau bekerja untuk jadi istriku selama 16 bulan, Nona Westbrook."Matthew membalikkan tubuh Brianna dan meatap mata gadis itu dalam-dalam."Sudah kubilang. Aku tak membayarmu untuk tidur denganku. Aku membayarmu untuk menjadi istriku. Jadi lakukan dengan benar. Paham?"Brianna berlari dari Matthew. Ia segera pergi ke lantai bawah mencoba menghindar dari pria yang selalu saja mengintimidasinya dengan tatapan matanya yang tajam itu."Apa yang kalian lakukan?" tanya Brianna pada Eddy yang membawa banyak orang ke dalam rumahnya."Kau diam saja, Nona Westbrook," ucap Matthew pada Brianna. "Kami akan pergi ke suatu tempat, Ed. Kau awasi para pekerja, sementara aku akan pergi bersama putrimu."Brianna membuka mulutnya lebar. Melongo. Ia tak percaya bahwa Matthew sudah seakrab ini dengan ayahnya."Hei, Tuan MacMillan," panggil Brianna pada Matthew sambil membuka pintu rumahnya. Langkah kakinya yang kecil mengejar Matthew ke arah mobilnya. "Siapa orang-orang tadi?""Kau selalu saja mengeluh tentang pemanas, kan? Aku sudah membawa pekerja untuk memperbaikinya. Kau jangan mengeluh lagi. Okey? Sekarang kau ikut aku.""Ke mana?" tanya Brianna penasaran.Ujung mata Matthew menatap kilatan cahaya lensa dari kejauhan. Ia buru-buru memasang kaca mata hitamnya. Dengan begini, ia bisa melirik ke arah yang ia curigai sebagai tempat bersembunyi paparazi yang menguntitnya. Hubungannya dengan Brianna sudah tercium oleh media. Sempurna."Tepat," gumam Matthew."Huh?""Arah jam 9, Nona Westbrook.""Huh?"Matthew menepuk keningnya. Ah, sial. Ia seharusnya tak memberitahu apapun pada Brianna. Gadis ini terlalu lugu untuk hal seperti itu.Pria itu kemudian mengalungkan lengannya pada Brianna.Secara tiba-tiba, Matthew mencium pipi Brianna dengan mesra lalu tersenyum puas."Sepertinya wartawan itu sudah mendapatkan foto terbaik kita pagi ini," ucap Matthew lirih di telinga Brianna.Tentu saja adegan yang kali ini juga tak luput dari jepretan kamera wartawan."Huh?"Brianna masih tak mengerti tentang apa yang Matthew maksud."Berbahagialah sekarang. Ada wartawan yang sedang memotret gerak gerik kita. Sebentar lagi, foto kita akan terpampang di media online," ucap Matthew lagi."Huh? Di sebelah mana? Di mana?"Brianna masih saja tak menemukan di mana wartawan yang sedang Matthew bicarakan."Cium aku, Bri," perintah Matthew."Huh?""Cepat cium aku. Di bibir.""Huh? Banyak orang di sini."Pagi itu, jalanan sekitar rumah Brianna banyak sekali orang lalu lalang. Bahkan anak-anak kecil sedang sibuk membuat boneka salju di pinggir jalan."Aku tak peduli. Ini waktu yang tepat untuk melakukan itu, Bri. Cepat cium aku.""Huh? Aku tak mau. Kemarin saat aku menciummu di depan keluargamu, itu dilakukan saat aku berada di-"Brianna tak berkutik.Matthew sudah mendaratkan ciumannya pada Brianna. Di bibirnya.Brianna menutup mulutnya. Wajahnya memerah setelah mendapatkan ciuman sesaat dari Matthew. Ia tak percaya harus melakukan ini di depan banyak orang. Entah berapa pasang mata yang melihat kejadian ini."Ada wartawan. Kau tak boleh marah padaku. Ini memang pekerjaanmu. Kita berdua bersama untuk bersandiwara, Nona Westbrook.""Bri, kau sedang mengencani pria kaya raya?" Si tua John melangkah melewati Brianna dan Matthew. Ia terkikik bangga ada seorang tetangga yang berpacaran dengan seorang konglomerat."Sebaiknya kita pergi dari sini sekarang," Matthew menarik lengan Brianna dan menuntunnya masuk ke dalam mobil."Kau tak menjawabku kita akan pergi ke mana, Tuan."Matthew tak mempedulikan ucapan Brianna.Ia harus segera mengemudikan mobilnya sebelum ia terlambat untuk janji temu mereka dengan seseorang.Hari ini adalah saat di mana Brianna seperti sedang mendeklarasikan kisah cintanya pada semua orang di dunia."Benarkah? Dia berkata begitu?" tanya Brianna skeptis sambil memutar bola matanya.Gadis itu membalikkan badannya lagi. Mencoba menghindar dari pertanyaan Matthew dan berniat melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda sambil masih memikirkan Grey."Apa yang dilakukan Grey? Ia bahkan tak menghubungiku sejak putus," gumam Brianna sambil mencuci tangannya tanda pekerjaannya pagi itu usai."Kau bilang apa?"Matthew begitu mengejutkan. Pria itu tiba-tiba muncul di sebelah Brianna."Nona Westbrook.""Kau suka sekali memanggilku dengan sebutan Westbrook. Panggil saja aku Brianna," ucap Brianna."Dengarkan aku, Brianna." Matthew berusaha untuk berbicara serius sambil menyandarkan tubuhnya di meja dapur. "Kau masih ingat tentang surat kontrakmu, bukan? Kau dibayar dan tidak gratis. Aku tak mau dibilang akan menikah dengan s
Gaun Pernikahan. Sesuatu yang tak pernah Brianna bayangkan sebelumnya. Ia pikir, pernikahan adalah salah satu hal yang tidak bisa ia dapatkan di dunia ini mengingat keluarganya yang berantakan. Tapi, berakhir dengan seorang pria yang membayarnya untuk bermain peran dan menjalankan pernikahan palsu adalah di luar nalar setiap orang."Dia pengantin tercantik yang pernah memakai gaun dari tempat ini, Tuan," bisik pelayan butik pada Matthew.Brianna menoleh pada kaca yang ada di samping tubuhnya.Ucapan pelayan toko itu seolah membenarkan apa yang Brianna lihat sekarang. Ia begitu cantik dalam balutan gaun putih ini. Aksen bebatuan kecil membuat gaun ini tampak berkilau. Apalagi rambut pirang Brianna tengah dicepol seperti sekarang. Bagian bahunya yang terbuka membuat dirinya tampak anggun."Kau sedang berbohong, bukan?" Matthew terkikik. Ia paham ini adalah sebuah teknik pemasaran. Pelayan m
Brianna menunggu steak-nya dipotongkan oleh Matthew. Entah berapa pasang mata yang menyaksikan perhatian Matt pada Bri."Silakan," ucap Matthew dengan mesra pada Brianna.Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.Harusnya yang bermain peran kan dirinya. Bukan Matthew.Laura MacMillan, ibu tiri Matthew yang sedang menyuap steak yang masih berdarah itu hampir tersedak dengan perlakuan anak tirinya itu pada calon istrinya."Kau ingin minum, Bu?" tanya Aaron pada ibunya.Laura menggeleng. Ia menolak untuk minum air putih. Matanya yang kecil dan tajam itu memperhatikan gerak-gerik Matthew dan Brianna."Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Laura memulai pembicaraan setelah ia mengusap mulutnya dengan kain lap."Cukup lama," ucap Matthew. "Namun, benih-benih cinta
"Kita berdua tidur satu ranjang?"Matthew menganggukkan kepalanya."Kenapa? Kau keberatan? Bukankah itu tertulis di surat kontrak? Kau tak membacanya?" Matthew melepas dua kancing kemejanya. "Kau sudah membersihkan tubuhmu, bukan? Pakailah pakaian tidur yang pelayan siapkan untukmu dan naiklah ke ranjang."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi dan berniat membersihkan dirinya.Tak butuh waktu lama untuk menggosok gigi. Cukup dua menit. Ia kemudian membersihkan wajah yang sudah rupawan itu. Hanya sebulir sabun cuci muka dan beberapa kali cipratan air di wajahnya.Bayangan wanita berambut pirang sekilas melintas di pikiran Matthew. Pria itu berusaha menepisnya. Wanita yang pernah ada di kehidupannya itu kini sudah menikah. Tak ada yang perlu dipikirkan sekarang. Ia harus berpikir tentang pernikahan sandiwaranya dan juga calon istri pura-puranya, Brianna."
"Bangunlah. Cepat." Suara serak di pagi hari.Wanita setengah telanjang itu berbisik di telinga Grey Jordan yang masih tertidur tengkurap."Kau sudah bangun?" tanya wanita itu lagi.Grey mengerjapkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering sekali mabuk dan pulang pagi."Apa yang kau lakukan? Kau mau pergi?" tanya Grey pada wanita yang baru saja ia kenal semalam. Grey bahkan tak tahu siapa nama wanita yang umurnya jauh lebih tua itu."Ya, aku harus pergi."Sambil berlari, wanita itu pergi ke kamar mandi hanya dengan memakai pakaian dalam.'Kau mau pergi sekarang? Secepat itu?""Suamiku meneleponku semalaman dan aku tak mengangkat teleponnya. Dia pasti marah padaku. Maaf aku harus pergi sekarang," pekik wanita itu dari kamar mandi.Ia membersihkan badannya seadanya. Hanya mencu
Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki
"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
"Kau seperti anak kecil, Brianna," ucap Matthew saat pria itu keluar dari kamar mandi."Apa maksudmu?""Kemarin kau bilang bahwa kau tak ingin membicarakan ayahmu. Lalu kau tiba-tiba ingin menemuinya saat malam natal."Brianna melihat bagaimana Matthew seolah sedang mengoloknya."Kau keberatan karena aku ingin menemui ayahku, Matt?" tebak Brianna. "Kau bahkan tak mengizinkan ayahku untuk pergi ke pesta pernikahan kita."Matthew tak menggubris ucapan Brianna. Ia tak peduli. Ia punya alasan khusus untuk tak ikut mengundang ayah Brianna ke pesta pernikahan."Lagipula itu hanya pernikahan sandiwara, Bri. Pernikahan sandiwara. Kau ingin mengundang ayahmu di acara seperti itu? Ayolah, Bri. Aku tahu kau tak akan melakukan hal itu."Ucapan Matthew ada benarnya. Lusa adalah sebuah acara pernikahan sandiwara, bukan pernikahan s
Eddy Westbrook memicingkan matanya. Mengamati mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Ia meletakkan sekop pembersih saljunya yang ia gunakan untuk menyingkirkan salju yang ada di tangga depan rumahnya."Kau di sini?" tanya Eddy pada Brianna yang baru saja keluar dari sana. Anak perempuannya itu membawa sebotol anggur di tangannya."Untuk apa kau berlelah membersihkan salju di depan rumah? Tak akan ada yang mengunjungimu untuk merayakan natal," ucap Brianna sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuklah. Kau pasti sudah ingin mabuk sejak tadi."Eddy tak menjawab perkataan putrinya.Tampak Matthew mengikuti langkah Brianna masuk ke dalam rumahnya.Tentu saja Eddy harus bergabung dengan mereka yang sudah datang di malam natal ini.Brianna menuangkan anggurnya ke dalam masing-masing gelas."Dia ingin sekal
Grey terkesima dengan apa yang baru saja Matthew bicarakan. Pria itu masih saja mengingat perkataan Grey saat di telepon."Kau mengingatnya?" tanya Grey. "Oh, ayolah, Tuan. Saat itu aku sedang mabuk. Semua pria tak sadar apa yang sedang ia katakan saat sedang mabuk.""Kau mengenalnya, Grey?" tanya Zack sambil berbisik di telinga Grey."Tentu," jawab Grey dengan lantang. "Dia adalah kekasihku saat masa sekolah menengah atas. Brianna Westbrook.""Grey namamu? Sebaiknya kau mematikan nomor teleponmu saat sedang minum. Karena dengan mulutmu itu, kau bisa saja menghancurkan hubungan seseorang," ucap Matthew memperingatkan."By the way, Bri. Tadi pagi aku meneleponmu dan calon suamimu yang mengangkatnya."Perkataan Grey membuat Matthew salah tingkah.Tentu saja ia tak memberi tahu Brianna tentang hal itu. Bahkan Matthew s
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki
"Bangunlah. Cepat." Suara serak di pagi hari.Wanita setengah telanjang itu berbisik di telinga Grey Jordan yang masih tertidur tengkurap."Kau sudah bangun?" tanya wanita itu lagi.Grey mengerjapkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering sekali mabuk dan pulang pagi."Apa yang kau lakukan? Kau mau pergi?" tanya Grey pada wanita yang baru saja ia kenal semalam. Grey bahkan tak tahu siapa nama wanita yang umurnya jauh lebih tua itu."Ya, aku harus pergi."Sambil berlari, wanita itu pergi ke kamar mandi hanya dengan memakai pakaian dalam.'Kau mau pergi sekarang? Secepat itu?""Suamiku meneleponku semalaman dan aku tak mengangkat teleponnya. Dia pasti marah padaku. Maaf aku harus pergi sekarang," pekik wanita itu dari kamar mandi.Ia membersihkan badannya seadanya. Hanya mencu
"Kita berdua tidur satu ranjang?"Matthew menganggukkan kepalanya."Kenapa? Kau keberatan? Bukankah itu tertulis di surat kontrak? Kau tak membacanya?" Matthew melepas dua kancing kemejanya. "Kau sudah membersihkan tubuhmu, bukan? Pakailah pakaian tidur yang pelayan siapkan untukmu dan naiklah ke ranjang."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi dan berniat membersihkan dirinya.Tak butuh waktu lama untuk menggosok gigi. Cukup dua menit. Ia kemudian membersihkan wajah yang sudah rupawan itu. Hanya sebulir sabun cuci muka dan beberapa kali cipratan air di wajahnya.Bayangan wanita berambut pirang sekilas melintas di pikiran Matthew. Pria itu berusaha menepisnya. Wanita yang pernah ada di kehidupannya itu kini sudah menikah. Tak ada yang perlu dipikirkan sekarang. Ia harus berpikir tentang pernikahan sandiwaranya dan juga calon istri pura-puranya, Brianna."
Brianna menunggu steak-nya dipotongkan oleh Matthew. Entah berapa pasang mata yang menyaksikan perhatian Matt pada Bri."Silakan," ucap Matthew dengan mesra pada Brianna.Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.Harusnya yang bermain peran kan dirinya. Bukan Matthew.Laura MacMillan, ibu tiri Matthew yang sedang menyuap steak yang masih berdarah itu hampir tersedak dengan perlakuan anak tirinya itu pada calon istrinya."Kau ingin minum, Bu?" tanya Aaron pada ibunya.Laura menggeleng. Ia menolak untuk minum air putih. Matanya yang kecil dan tajam itu memperhatikan gerak-gerik Matthew dan Brianna."Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Laura memulai pembicaraan setelah ia mengusap mulutnya dengan kain lap."Cukup lama," ucap Matthew. "Namun, benih-benih cinta