Alfan melemparkan segala yang dilihat dengan kasar. Semua yang ada di hadapannya menjadi sasaran emosi. Benda-benda yang ada di ruang tamu terlempar dan menimbulkan bunyi keras sebelum akhirnya hancur berkeping-keping.
Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Bibi yang ada di dapur segera mendekati ruang tamu ketika mendengar suara keributan. Perempuan paruh baya itu melihat Alfan seperti orang kesetanan. Langkah kakinya mendekat dengan hati-hati takut terkena serpihan tajam dari benda-benda berharga yang kini sudah tidak berbentuk. Disusul dua perempuan lainnya di belakang bibi yang baru saja masuk ke ruang tamu setelah mendengar suara keributan.“Ada apa dengan Den Alfan, Bi?” Bibi hanya menggeleng karena tidak tahu apa pun.“Den Alfan,” panggil Bibi lirih.“Tinggalkan aku sendiri, Bi.” Alfan menoleh dan menjawab lirih kemudian menyuruh mereka semua pergi.“Jangan bicara dengan Bulan,” sambungnya lagi.Alfan jatuh ke lantai setelah menghancurkan seisi ruanJangan lupa yang belum kasih ulasan. Please bantu author dengan memberikan ulasan untuk cerita ini ya 🤗
Alfan merasakan air mata, amarah, kesedihan dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Madu yang selama ini terasa manis, kali ini seperti racun yang bisa langsung membunuhnya.Kedua tangannya mengepal dengan kuat dan penuh amarah. Bayangan tubuh polos Zahra menari-nari di kepalanya bagaikan kaset rusak yang terus berputar berulang.Matanya menerawang jauh di saat pertama kali pertemuan mereka. Alfan terpikat dengan senyum manis perempuan itu. Selama mengenalnya, Alfan hanya disuguhkan hal-hal manis yang ternyata semuanya hanya sandiwara.Jika masa lalunya memang buruk, Alfan memang tak bisa menghapusnya karena itu telah terjadi. Tapi seharusnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan, setidaknya perempuan nakal sekali pun akan berubah jika menemukan seseorang yang tepat. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Zahra.Selama hidup bersamanya, Alfan selalu memastikan bahwa mereka tidak akan kekurangan apa pun. Sebisa mungkin ia selalu memberikan kehidupan yan
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Matahari yang sudah terbit sebentar kini bersembunyi di gelapnya langit yang sepertinya siap menumpahkan tetesan air hujan.Setelah tiga hari Alfan meratapi nasibnya dengan duka dan lara, kini laki-laki itu sudah mulai membaik dan siap kembali pada rutinitas yang dijalani.Bayang-bayang sosok Zahra masih sering terlintas di benak, namun Alfan selalu berusaha untuk mengenyahkan pikiran tersebut dari kepalanya. Selama itu pula tidak ada kabar dari Zahra, pun sebaliknya.Bulan sudah menunggu di meja makan. Perempuan itu sudah jarang ke butik semenjak diketahui hamil. Saat sedang menikmati sarapan, Mbak Yuli datang dan mengatakan bahwa ada tamu. Saat ditanya siapa yang datang, Mbak Yuli tidak pernah melihat tamu tersebut sebelumnya.“Siapa ya?” Bulan bergumam sambil bangkit dari kursi.Alfan menggeleng dan meminta Bulan kembali duduk dan meneruskan sarapan saja. Ia yang akan menemuinya.Walau
Sudah dua minggu kehidupan Alfan dan Bulan tenang tanpa ada gangguan. Hubungan mereka semakin harmonis dengan berbagai sikap yang terlihat apa adanya. Selama itu pula Bulan dengan setia menemani dan memberikan dukungan terbaik untuk Alfan melewati masa-masa sulit. Melupakan memang sulit, namun lebih sulit lagi untuk merelakan.Belum ada kabar di mana Zahra berada. Beberapa kali Zea datang untuk mencari keberadaan kakaknya. Namun baik Bulan atau Alfan memang tidak mengetahui posisi pasti perempuan itu. Ponselnya mati dan tidak bisa dilacak karena terakhir kali lokasinya terlihat di hotel yang sama. Walaupun Zahra telah menyakitinya namun Alfan tidak akan mungkin tega mengabaikan kedua adik iparnya.Suatu sore, Bulan datang ke rumah Zahra untuk melihat keadaan kedua remaja tersebut. Zea tidak bicara apa pun, namun tetap mempersilakan Bulan masuk. Perempuan yang selalu dikatakan buruk oleh Zea tersebut dengan tulus memberikan bantuan, bahkan Bulan tak segan untuk memberik
“Itu Zahra.”Alfan mengangguk. “Aku perlu bicara dengannya. Ayo temui dia.”Bulan mengikuti langkah Alfan yang berjalan lebih dulu. Langkahnya begitu lebar dan sedikit tergesa, mungkin saja dia takut akan kehilangan jejak Zahra lagi.Benar saja setelah mereka sampai di bawah, Zahra sudah hampir beranjak dari kursinya. Namun panggilan Alfan membuatnya berhenti dan mematung beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum dan langsung berhamburan memeluknya.“Mas Alfan, kenapa tidak mencariku? Kenapa tega sekali melakukan hal ini padaku.” Zahra terisak di pelukan Alfan.Bulan yang melihat pemandangan di depannya hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali.“Zahra, Mas Alfan.” Bulan menyela di antara mereka berdua.Melihat Bulan ada di antara mereka. Zahra kembali terisak semakin keras dan tentunya menarik perhatian semua pengunjung.“Karena Mbak Bulan, Mas Alfan tidak mencariku dan
Zahra kembali ke rumahnya dengan penuh kemarahan. Seharusnya bukan seperti ini, seharusnya Alfan akan memohon dan meminta Zahra tetap tinggal, bukan sebaliknya.Kata seharusnya dan seandainya terus terucap berulang kali. Zahra memang sengaja ingin bermain-main dengan Alfan karena merasa di atas angin bahwa laki-laki itu tetap akan menerima dan memaafkannya setelah apa yang dilakukanBelum sempat dia meredakan kemarahan, Pertanyaan Zea kembali menyulut emosinya. Gadis belia itu benar-benar kecewa dengan sikap kakaknya yang selama ini dijadikan panutan“Diam dan tutup mulutmu, Zea! Tidak perlu ikut campur urusanku,” bentak Zahra dengan wajah merah padamMasuk kamar Zahra menghempaskan apa pun yang dilihat. Suara benda jatuh beradu dengan teriakannya yang memekik telingaDi dalam kamar, Zahra mulai merencanakan sesuatu untuk membuat Alfan kembali padanya. Alfan tidak boleh meninggalkannya karena ia tidak mau kembali dalam kemiskinan dan hi
Seperti kata R.A Kartini, habis gelap terbitlah terang. Ujian adalah suatu pendewasaan diri untuk kita melangkah lebih baik. —Queena Bulan Latief— Sesampainya di kantor, Alfan sudah melihat segerombol media yang telah menanti. Berita yang viral di media sudah hilang bahkan tidak ada satu pun jejaknya. Namun tetap saja, berita yang sudah terlanjur tersebar tidak akan mungkin dilupakan begitu saja. Saat Alfan baru turun, media mulai meringsek ingin mendekat, namun dengan sikap keamanan di sana langsung menghalangi. “Tuan Alfan, Nona Bulan, tolong sedikit konfirmasi tentang berita yang terlanjur tersebar.” “Tolong sedikit saja, apa benar pernikahan kalian hanya karena kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan?” “Nona Bulan, apa benar Anda adalah orang ketiga di antara hubungan Tuan Alfan dan perempuan yang mengaku sebagai istrinya tersebut?” Lontaran pertanyaan demi pertanyaan memberondong Bulan da
Artikel tentang pernyataan Bulan dan Alfan kembali dimuat di media dan diunggah beberapa akun dan kembali viral. Bulan melihat ponselnya dan membaca beberapa komentar di sana. Masih ada yang berkomentar buruk, ada pula yang masih mempertanyakan tentang siapa sebenarnya sosok perempuan berhijab tersebut.Bulan menghela napas panjang. Apa pun yang akan dikatakan, ia akan terlihat tetap bersalah dan terlihat seperti perempuan paling jahat yang merebut kebahagiaan perempuan lain. Mereka yang hanya tahu dari sepenggal cerita akan tetap menjudge dirinya, tapi andai mereka tahu apa yang sebenarnya, mungkinkah komentar negatif itu tetap akan diterima?Tidak peduli bagaimana latar belakangnya, mereka yang sudah kadung membenci akan tetap jadi pembenci. Dijelaskan seperti apa pun, mereka mungkin hanya akan menganggap itu sebagai pembelaan diri.Bulan mendekati Alfan yang baru saja masuk kamar. Setelah itu meringsek ke dalam pelukan dada bidang suaminya sampai laki-laki it
Puncak kebahagiaan adalah saat kita benar-benar mengikhlaskan apa yang telah terjadi dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan. —Queena Bulan Latief— Setelah berperang dengan rasa cemas, akhirnya kabar bahwa operasi berjalan dengan lancar membuat Bulan dan Alfan akhirnya bisa bernapas dengan lega. Pasien masih berada di ruangan insentif untuk memantau kondisinya lebih lanjut sebelum bisa dipindahkan ke ruang rawat. Setelah memastikan bahwa kondisi Zea dan Zain juga sudah membaik. Alfan pamit untuk mengantarkan Bulan pulang. Bulan sebenarnya meminta kedua remaja itu untuk pulang bersamanya selagi Zahra masih berada di ruang insentif. Namun keduanya menolak dan memilih tetap menunggu di sana. Sebelum pulang Bulan kembali berpesan untuk mengabari apa pun yang terjadi. Masih ada perasaan tidak tega meninggalkan kedua remaja itu sendirian tanpa pendamping. “Mas tahu siapa laki-laki yang bersama dengan Zahra?” tanya Bulan di saat mereka sudah ma
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it