Pukul sembilan pagi, mobil yang dikendarai Alfan berhenti di halaman rumah setelah satpam membiarkannya masuk.
Alfan mengetuk pintu dengan perasaan gugup. Jantungnya langsung berpacu dengan cepat ketika yang membuka pintu adalah ibu mertuanya, di belakangnya ayah mertuanya langsung melemparkan tatapan tajam seperti mau mengulitinya.
Alfan maju dan memberanikan diri mencium tangan mertuanya. Mama Tari tidak banyak bereaksi, berbeda dengan Papi Jacob yang menolak tangannya.
“Ayo, Alfan. Silakan masuk. Jangan berdiri di luar.”
“Iya, Mam.”
“Mau apa kamu ke sini? Aku tidak akan mengizinkanmu membawa Bulan pulang bersamamu.”
Mami Tari menyenggol bahu suaminya dengan lembut untuk menghentikan kemarahan dan membiarkan menantunya untuk masuk lebih dulu.
Setelah duduk, Mami Tari meminta bibi untuk mengambilkan beberapa minuman. Papi Jacob benar-benar menunjukkan wajah tidak sukanya tanpa ditutupi.
&ldq
Matahari baru saja terbit, namun kedatangan seorang perempuan dengan penampilan yang berbeda sungguh membuat penghuni rumah mewah Bulan terkejut. Pasalnya yang diketahui adalah istri pertama Alfan adalah sosok perempuan dengan penampilan yang selalu tertutup. Tiba-tiba datang dengan dress yang hanya sebatas paha dan rambut yang tergerai dengan riasan yang begitu mencolok.Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi perempuan itu sudah membuat keributan dengan memaksa untuk mendatangi kamar utama melihat suaminya. Tanpa peduli bahwa dia hanya tamu yang seharusnya bersikap sopan.Kamar utama tidak dikunci, itu memudahkan Zahra masuk tanpa harus mengetuk pintu. Beberapa saat memandang kamar dan seluruh isinya, ada rasa kagum dengan interior dan segala jenis perabot yang ada di dalamnya. Begitu mewah dan sangat indah, sangat berbeda dengan rumah miliknya. Namun bibirnya menyeringai sinis ketika menatap potret pernikahan yang tergantung dengan ukuran yang besar.&
“Aku tahu kamu berbohong,” sahut Alfan kemudian terkekeh pelan. “Kamu tahu, dan aku juga sudah tahu ... semuanya!” Bulan diam mencerna perkataan Alfan. Jika sudah tahu memangnya apa yang akan terjadi. Toh semuanya tidak akan berubah. “Bagaimana perasaanmu?” “Apa yang harus aku katakan, Bulan.” Alfan menghapus cairan bening yang penuh di pelupuk mata. Perlahan tangan Bulan mengusap bahu Alfan dengan lembut. Walau tidak dalam posisi Alfan, ia dapat merasakan kekecewaan yang begitu jelas. “Aku mengorbankan segalanya demi dia. Tapi di belakangku dia mempermainkan aku. Membuat aku menjadi laki-laki bodoh yang tidak tahu apa pun. Apa perasaan kecewa saja tidak boleh aku rasakan?” “Itu manusiawi, Mas. Saat kenyataan itu menampar dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, rasa itu muncul dan itu memang wajar. Tidak ada yang salah,” sahut Bulan dengan suara rendah. “Dia selama ini hanya bisa menyalahkan aku. Menganggap apa yang aku
Alfan masih memikirkan ucapan Papa Andre dan juga laki-laki yang berniat merebut Bulan darinya. Marvin Ian Adiprama, aku tidak akan membiarkanmu mengambil Bulan dariku, batin Alfan penuh tekad. Sekitar pukul tujuh malam, Alfan mengendarai mobilnya untuk pulang, namun sebelum itu ia akan datang menemui Bulan sesuai janjinya. Saat mengetuk pintu ternyata mertuanya yang membuka. Perempuan paruh baya tersebut menatapnya dengan heran. Tentu saja melihat wajahnya lebam kebiruan pasti menimbulkan banyak pertanyaan. “Alfan, ada apa dengan wajahmu? Kamu berkelahi,” tanya Mami Tari dengan penuh selidik. Belum sempat Alfan menjawab, Bulan dari dalam berteriak untuk membiarkan Alfan masuk. “Mami lupa. Ayo masuk.” Alfan tersenyum dan masuk ke dalam rumah. Setidaknya ia masih bersyukur karena masih diterima baik setelah apa yang dilakukan. “Loh, Mas Alfan kenapa dengan wajahmu ini?” Bulan yang melihat Alfan terlihat kacau langsung bang
Akhirnya kedua orang tuanya melepaskan Bulan untuk kembali bersama dengan Alfan. Walau ada sesuatu yang masih membuat mereka mengganjal, namun karena ini pilihan putrinya sendiri, maka dengan berat hati mereka mengalah dan membiarkan putrinya menentukan keputusan.Bulan menatap rumah yang beberapa minggu telah ditinggalkan. Masih sama, tidak ada yang berubah. Setelah puas mengamati seisi rumah, Bulan naik ke kamar dan dikejutkan dengan kehadiran sosok perempuan yang memakai lingerie tembus pandang yang jelas mempertontonkan bentuk tubuhnya. Bulan tidak bisa melihat wajahnya karena perempuan itu memunggungi pintu. Tidak mau menduga-duga, kakinya melangkah mendekat dan bola matanya terbelalak melihat siapa perempuan itu.“Zahra. Apa yang kamu lakukan di kamarku?” Bulan menggoyangkan tubuh perempuan itu dengan pelan supaya segera bangun.Terdengar suara erangan pelan sebelum perempuan itu bangun dan duduk dengan wajah yang masih menahan kantuk.&
Jantung Zahra berdebar dengan tidak beraturan mendengar suara ketukan pintu yang lumayan keras dan cepat seperti ingin segera menyerbu untuk masuk, ia menatap pintu dan menatap laki-laki yang masih sibuk mengenakan celana tersebut bergantian. Entah mengapa dadanya bergemuruh dan perasaannya tidak tenang. “Tutupi tubuhmu dengan selimut. Aku akan membuka pintu,” ucapnya lembut memberikan kecupan di kening Zahra dan segera melangkah menjauh. Zahra memejamkan mata dan mencengkeram selimut dengan erat. Namun ketika pintu terbuka, suara yang sangat dikenali membuat tubuhnya menegang. Belum sempat berpikir jauh, suara keributan membuatnya mau tak mau menengok. Bola matanya hampir saja keluar melihat apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Alfan ... Alfan ada di sini dan saat ini posisinya sedang mengungkung tubuh Galih dengan kepalan tangan yang siap melayang. “Hentikan!” teriak Zahra yang langsung saja bangkit sampai lupa bahwa saat ini tubuhnya polos tanp
Alfan melemparkan segala yang dilihat dengan kasar. Semua yang ada di hadapannya menjadi sasaran emosi. Benda-benda yang ada di ruang tamu terlempar dan menimbulkan bunyi keras sebelum akhirnya hancur berkeping-keping.Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Bibi yang ada di dapur segera mendekati ruang tamu ketika mendengar suara keributan. Perempuan paruh baya itu melihat Alfan seperti orang kesetanan. Langkah kakinya mendekat dengan hati-hati takut terkena serpihan tajam dari benda-benda berharga yang kini sudah tidak berbentuk. Disusul dua perempuan lainnya di belakang bibi yang baru saja masuk ke ruang tamu setelah mendengar suara keributan.“Ada apa dengan Den Alfan, Bi?” Bibi hanya menggeleng karena tidak tahu apa pun.“Den Alfan,” panggil Bibi lirih.“Tinggalkan aku sendiri, Bi.” Alfan menoleh dan menjawab lirih kemudian menyuruh mereka semua pergi.“Jangan bicara dengan Bulan,” sambungnya lagi.Alfan jatuh ke lantai setelah menghancurkan seisi ruan
Alfan merasakan air mata, amarah, kesedihan dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Madu yang selama ini terasa manis, kali ini seperti racun yang bisa langsung membunuhnya.Kedua tangannya mengepal dengan kuat dan penuh amarah. Bayangan tubuh polos Zahra menari-nari di kepalanya bagaikan kaset rusak yang terus berputar berulang.Matanya menerawang jauh di saat pertama kali pertemuan mereka. Alfan terpikat dengan senyum manis perempuan itu. Selama mengenalnya, Alfan hanya disuguhkan hal-hal manis yang ternyata semuanya hanya sandiwara.Jika masa lalunya memang buruk, Alfan memang tak bisa menghapusnya karena itu telah terjadi. Tapi seharusnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan, setidaknya perempuan nakal sekali pun akan berubah jika menemukan seseorang yang tepat. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Zahra.Selama hidup bersamanya, Alfan selalu memastikan bahwa mereka tidak akan kekurangan apa pun. Sebisa mungkin ia selalu memberikan kehidupan yan
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Matahari yang sudah terbit sebentar kini bersembunyi di gelapnya langit yang sepertinya siap menumpahkan tetesan air hujan.Setelah tiga hari Alfan meratapi nasibnya dengan duka dan lara, kini laki-laki itu sudah mulai membaik dan siap kembali pada rutinitas yang dijalani.Bayang-bayang sosok Zahra masih sering terlintas di benak, namun Alfan selalu berusaha untuk mengenyahkan pikiran tersebut dari kepalanya. Selama itu pula tidak ada kabar dari Zahra, pun sebaliknya.Bulan sudah menunggu di meja makan. Perempuan itu sudah jarang ke butik semenjak diketahui hamil. Saat sedang menikmati sarapan, Mbak Yuli datang dan mengatakan bahwa ada tamu. Saat ditanya siapa yang datang, Mbak Yuli tidak pernah melihat tamu tersebut sebelumnya.“Siapa ya?” Bulan bergumam sambil bangkit dari kursi.Alfan menggeleng dan meminta Bulan kembali duduk dan meneruskan sarapan saja. Ia yang akan menemuinya.Walau
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it