Begitu mendengar suara Adelia, Ayah Adelia segera membuka pintu dengan penasaran.
"Eh, siapa pria itu? Kenapa bukan afgan? Mengapa kamu pulang dengan seorang pria lain? Eh, mobilnya bagus sekali!"
Belum ada pertanyaan sang ayah yang sempat dijawab Adelia, pria tua itu sudah langsung memandang dengan takjub mobil sport berwarna hitam milik Edward.
Edward hanya tersenyum dengan hangat lalu memperkenalkan diri kepada Ayah Adelia dengan sopan.
"Perkenalkan, nama saya Edward Ofel."
"Edward Ofel? Kamu anak kaya dari Kerajaan Ofel?" Ayah Adelia tersenyum ramah meskipun masih terlihat sedikit curiga.
"Salam kenal, Edward. Maaf jika saya terlihat agak kaget. Kami tidak terbiasa melihat Adelia pulang dengan teman laki-laki, apalagi dengan mobil sekeren ini." Ayah Adelia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Edward.
Adelia segera memperkenalkan Edward kepada ayahnya dengan senyum manis. "Ayah, ini Edward. Dia berbaik hati dan menganta
Afgan membalas tatapan Adelia dengan penuh perasaan yang dia sendiri tidak mengerti."Maaf, aku tidak bermaksud ... " Adelia merasa canggung dan kesusahan untuk melanjutkan kalimatnya."Saya suka kok tidur di lantai," ucap Afgan lalu membaringkan dirinya di lantai.Namun, pria kaya itu tidak tahan dingin. Dengan segera, dia bersin beberapa kali dan mengigil.Adelia merasa simpati dengan keadaan Afgan. Semua kemarahaan dan kekecewaannya dia simpan baik-baik.Hatchyii! Hatcyiiii!Terdengar Afgan bersin sekali lagi.Adelia segera menarik tangan Afgan sehingga pria itu berdiri dan ikut duduk di tepi ranjang. "Kamu jangan bandel. Tidur di sini. Ranjangku memang kecil, tapi masih muat untuk kita berdua."Afgan menatap Adelia dengan mata berbinar-binar lalu memeluk Adelia dengan erat dan mereka pun tidur dalam sempitnya sebuah ranjang kecil milik Adelia.Afgan sangat menyukai aroma dari Adelia yang membuatnya nyaman, sehingga dengan cepat, pria yang kelelahan itu pun langsung tertidur.***
Bam!Pintu ditutup dengan kasar oleh Ayah Adelia sambil terkekeh."Jangan keluar bila belum berhasil!" teriaknya dari luar pintu.Sementara di dalam kamar, Afgan melihat Adelia dengan pandangan serius. Wajah Adelia yang merah padam memancing Afgan untuk mengejeknya."Kamu merah sekali, jangan katakan bahwa kamu sedang membayangkan sesuatu yang tidak benar?"Adelia mendongkkan kepalanya dan melihat ke dalam mata Afgan. "Tidak, ini semua salah paham. Aku tidak tahu harus menjawab apa."Adelia hendak melangkah menuju ke kamar mandi, tetapi Afgan segera menariknya dan mendorongnya sampai ke ranjang."Bukankah kita mempunyai tugas?" tanya Afgan sambil menindih tubuh mungil Adelia, mengukungnya dengan kedua tangan sehingga wajah mereka sangat dekat."Ini ... ini semua hanya salah paham," kata Adelia dengan wajah merah padam.Afgan mendekat dan jelas sekali, dari tindakannya, pria itu hendak mencium Adelia. Di luar dugaan, Adel
Begitu sampai di hotel, Afgan segera mencari Melinda. Pria arogan itu tidak dapat mencegah hasratnya sendiri saat ini.Afgan segera menarik tangan Melinda yang masih memakai pakaian seragam kerja. Mereka melangkah dengan terburu-buru menuju ke kamar 1808."Afgan, ada apa ini? Mengapa kamu muncul tiba-tiba dan seperti ini?" Melinda mengomel sepanjang perjalanan menuju ke kamar tersebut. Tubuhnya yang kelelahan karena baru sampai ke hotel dari perjalanan selama 5 jam dari desa pariwisata akibat macet total.Dengan kasar, Melinda dihempaskan di ranjang. Afgan segera membuka kemeja sendiri dan menindih Melinda dibawahnya. "Diam!" teriaknya dengan kasar pada saat Melinda berusaha meronta.Sebuah ketakutan dala diri Melinda menjadi nyata, membayangkan pria kasar itu merengut kehormatan Adelia di malam naas yang dia rebut seolah-olah dia adalah korban."Inikah perlakuan kasar yang Adelia alami?" tanya Melinda dengan tubuh yang kesakitan karena
Dua pria dewasa yang sama tinggi dan memiliki tingkat ketampanan hampir seimbang, dibarengi dengan kemampuan berkelahi yang patur diacungi jempol.Namun, sebelum pertarungan semakin intens, suara sirene polisi mulai terdengar semakin dekat. Pintu live bar terbuka lebar, dan dua petugas polisi memasuki tempat itu dengan tegas. Mereka memisahkan Afgan dan Edward yang masih berusaha saling serang."Berhenti! Polisi!" teriak salah satu petugas dengan keras, mencoba meredakan pertarungan yang memanas.Afgan dan Edward, terengah-engah dan terlihat terluka, akhirnya dihadapkan dengan kenyataan bahwa pertarungan mereka telah berakhir. Petugas polisi segera memborgol keduanya dan menempatkan mereka dalam mobil polisi.Dalam perjalanan ke kantor polisi, suasana dalam mobil polisi terasa hening. Afgan dan Edward duduk di belakang dengan tatapan marah, merenungkan konsekuensi dari pertarungan yang terjadi di live bar mewah Jakarta. Mereka sadar bahwa malam yang penuh
Adelia ingin sekali bertanya, tetapi tidak memiliki keberanian yang cukup berarti sehingga dia hanya menelan salivanya dengan kasar dan melanjutkan tugasnya untuk mengoles luka akibat terhantam ke lantai yang penuh puing botol pada saat berkelahi dengan Edward tadi."Saya tertimpa balok kayu yang terbakar pada saat kecil," ucap Afgan dengan suara datar, seolah-olah mengerti akan apa yang ada dalam hati Adelia.Adelia mengelus pelan luka bakar yang terdiri dari daging yang tumbuh tidak beraturan selayaknya kulit asli."Sakit?"Afgan menggelengkan kepalanya pelan. Di luar dugaan, Adelia memeluk tubuh Afgan dari belakang. "Maafkan aku."Afgan terkejut dengan tindakan Adelia yang tiba-tiba merangkul pinggangnya. Tiba-tiba terlintas bayangan Adelia disentuh oleh pria lain sekali lagi."Apa-apa ini!" bentak Afgan tiba-tiba dan menepis tangan Adelia dengan jijik."Kamu jangan memanfaatkan situasi! Keluar dari kamarku sekarang! Pergi!"
Hanya butuh sepuluh menit, Adelia sudah kembali ke kamar Afgan dengan sebuah bantal dan selimut di tangannya. Adelia juga sudah memakai pakaian tidur di atas lutut yang terdapat dua tali tipis.Adelia bergerak menuju ke sofa di ruangan tamu untuk membentangkan selimutnya di sofa yang dibatasi dengan sekat kaca mewah di dalam kamar Afgan."Hei, mengapa pakaianmu setipis itu? Jangan katakan kau mau menggodaku," ejek Afgan yang masih bahkan belum bisa memakai pakaian karena lukanya belum kering.Dia hanya menyembunyikan dirinya di dalam selimut karena pendingin ruangan yang sudah mulai bekerja dengan baik.Adelia melirik pakaiannya sendiri lalu tersenyum sinis mendengar ejekan Afgan. "Ini hanya pakaian tidur, Afgan. Tidak usah dibesar-besarkan."Afgan memandang Adelia dengan tatapan tajam. "Pakaian setipis itu, Adelia? Apa, kau berpikir kita sedang berlibur di pantai atau apa? Seperti itukah caramu memancing lirikan pria yang menjadi calon pembeli jas
Keheningan malam membuat suasana mencekam dalam kamar Adelia. Wanita itu menangis sampai tertidur.Namun, Adelia merasa tidak nyenyak dalam tidurnya, samar-samar terdengar erangan dari kamar sebelah. Adelia mengucek matanya dan melihat ke jam dinding."Pukul tiga, apakah dia belum tidur juga?" tanya Adelia kepada dirinya sendiri, menyadari erangan dari Afgan terdengar semakin keras.Dengan malas, Adelia melangkah mendekati dinding untuk mendenagr lebih jelas dan menebak apa yang terjadi pada Afgan."To .. long, aku takut ... Ibu!" teriak Afgan.Adelia mengercapkan matanya berkali-kali. Sepertinya Afgan mengigau dalam tidurnya. Dengan gelisah, Adelia berjalan mengelilingi kamarnya sendiri. Dia ingin masuk ke dalam kamar Afgan, tetapi dia takut pria itu akan memarahinya sekali lagi.Suara erangan yang lebih jelas dan keras membuat Adelia tidak tahan lagi. Adelia segera membuka pintu kamar dan terkejut karena Kepala Pelayan juga sedang berada d
Adelia memegang wajahnya sendiri dengan menahan rasa malu dan kesal bercampur aduk."Mengapa gampang sekali tertidur di pelukannya? Bodoh sekali!" pekik Adelia sambil menepuk kepalanya sendiri.Agar kondisinya tidak canggung, Adelia memutuskan segera mandi dan pergi bekerja seolah-olah tidak terjadi hal besar.Sementara di kamar sebelah, Afgan memutuskan untuk tidak pergi bekerja karena merasa tubuhnya masih sakit.Terdengar suara pintu diketuk pelan dari luar."Siapa?" tanya Afgan dengan ketus sambil bermain game online di ponselnya."Tuan, sarapan sudah siap. Apakah Tuan mau kami membawanya ke dalam kamar atau Tuan mau sarapan di ruang makan?" tanya pelayan kecil di depan pintu yang masih tertutup."Di mana istri yang tidak becus itu? Suruh dia mengantarkan makanan kepadaku. Saya sedang sakit dan sudah merupakan tugasnya untuk merawatku," balas Afgan setengah berteriak agar terdengar sampai ke ruangan sebelah di mana kamar Ade
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek