Hari masih pagi dan Afgan sudah bersiap - siap berangkat ke kantor. Selama dua minggu sejak pernikahannya, pekerjaannya cukup terbengkalai. Belum lagi waktu yang dihabiskan terlalu banyak untuk Melinda.
Afgan berniat menyelesaikan pekerjaannya hari ini dan menemui Melinda yang sudah pasti merajuk karena ditinggalkan semalam.
Afgan menatap Adelia yang sedang tertidur dengan tatapan hangat sambil mengikat dasinya.
Sejujurnya, Afgan merasa apabila wanita ini bukan wanita murahan, maka dia adalah orang yang akan mampu memiliki hati Afgan. Memikirkan pertemuannya di depan apotik dan obat kontrasepsi yang berjatuhan, membuat Afgan tersadar bahwa wanita ini tidak pantas.
Raut wajahnya kembali berubah dingin lalu mendengkus. Afgan mengertakkan gerahamnya kemudian pergi dari kamar Adelia.
"Tuan, apakah Tuan akan sarapan terlebih dahulu?" tanya Kepala Pelayan pada saat Afgan melewatinya.
"Tidak, saya akan langsung ke kantor saja. Kamu siapkan sarapan
Hatinya berdebar lebih kencang saat Adelia mendekatinya, Edward menatap Adelia dengan mata penuh perasaan, hanya dia yang tahu."Adelia," panggil Edward dengan lembut. Adelia tersenyum hangat walau sedikit pucat, wajahnya memancarkan kejutan saat dia melihat buket bunga yang dibawa oleh Edward."Ini untukmu," kata Edward dengan senyuman hangat, menyerahkan buket lily putih kepadanya. "Mereka indah seperti dirimu, Adelia. Aku ingin kamu tahu betapa istimewanya kamu."Adelia merasa terkejut dan terharu oleh gestur Edward. Lebih terkejut lagi dengan perkataan yang disampaikan Edward. Dia menerima buket bunga itu dengan gemetar, matanya bersinar dengan rasa bahagia. "Terima kasih, Edward. Mereka sangat cantik," ucapnya dengan suara lembut, penuh dengan rasa terima kasih.Edward mengangguk, mata mereka bertemu dalam pandangan yang penuh arti."Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sudah sehat?" tanya Edward sambil melirik tiang infus yang selangnya bersambu
Kepala pelayan dipanggil menghadap ke ruangan kerja Afgan. Pelayan tua itu segera berlutut ketakutan.Adelia yang mendengar laporan ini segera berjalan tertatih menuju ke ruangan yang sama. Dia harus membela Kepala Pelayan tua!"Siapa yang mengizinkan pria masuk ke dalam rumah?" tanya Afgan, memandang tajam kepada Kepala Pelayan tua yang sedang berlutut dan menangis ketakutan.Karena tidak mendapat jawaban, Afgan melemparkan sebuah gelas dan pecahannya mengenai sebagian wajah Kepala Pelayan Tua.Pada saat yang sama, Adelia sudah tiba di ruangan kerja Afgan. Dengan segera, Adelia memeluk tubuh Kepala Pelayan Tua."Afgan!" teriak Adelia dengan membalas tatapan tajam."Kamu kehilangan nuranimu!""Apa maksudmu?" Afgan berdiri dan emosinya semakin naik sampai ke ubun-ubun."Dia sudah tua, tidak seharusnya kamu yang masih muda berlaku kasar seperti itu! Walau pun dia adalah seorang pelayan!"Afgan melihat tajam ke arah Adelia,
Perawat yang memang ditugaskan untuk menjaga Adelia, segera membuka jarum infus pada tangan Adelia dan membetulkan letaknya. "Dia tidak apa-apa?" tanya Afgan dengan panik, sementara ponsel di kantongnya berbunyi terus menerus. Adelia menggeleng pelan menahan sakit, matanya malah melirik Kepala Pelayan yang menyeka wajah tua miliknya. Dar*h masih mengalir akibat pecahan kaca yang mengenainya. "Sus, tolong rawat wajah Kepala Pelayan. Aku baik-baik saja," kata Adelia dengan nada lirih menahan nyeri. Perawat itu menoleh ke arah Kepala Pelayan lalu mengangguk. "Sebentar ya, saya selesaikan ini dulu." Sementara Afgan hanya duduk di sisi ranjang yang lain dan menatap Adelia dengan tatapan penuh perhatian. Ponsel di kantongnya berbunyi terus, walau kecil suaranya, tetapi itu cukup menganggu. "Kenapa enggak di angkat dulu ponselnya?" Adelia melihat Afgan dengan tatapan aneh. Dengan kesal Afgan mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Layar ponsel menunjukkan nama "Melinda" dan 19 pan
Bab 39.Pada malam harinya, Adelia menunggu cukup lama, tetapi Afgan tidak pulang seperti yang dijanjikannya.Dengan perasaan hancur, Adelia menatap ke luar jendela. Hujan turun semakin lebat dan ruangan kamar terasa semakin dingin.Adelia mengetatkan selimutnya lalu mencoba untuk tidur, berharap besok pagi, tubuhnya sudah pulih dan dia bisa kembali bekerja.Masa kontraknya masih berumur dua tahun. Adelia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain setelah kontrak selesai. Dia tidak tahan bila harus bertemu dengan Melinda dan Afgan setiap saat. Hotel itu juga menyebabkan malam naas yang harus dia hadapi sebagai trauma buruk sampai akhir hidupnya.Adelia sungguh ingin melupakan semuanya, mengumpulkan uang untuk membayar hutang judi sang ayah lalu membayar kembali mahar yang sudah dipakai untuk membayar hutang ayahnya. Satu-satunya jalan agar terlepas dari pernikahan ini adalah kesanggupan untuk membayar mahar tersebut.Sambil menatap kosong ke je
"Nah, sudah selesai," ujar perawat sambil menempelkan pletser kecil di bekas jarum suntik."Terima kasih.""Saya akan pamit karena Anda sudah sembuh, pastikan Anda beristirahat dengan baik dan makan makanan yang bergizi," ucap perawat lalu berdiri dan membawa kotak peralatan medisnya keluar dari kamar, menyisakan Adelia dan Kepala Pelayan."Aku akan pergi bekerja hari ini," ujar Adelia sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku."... tapi, bukankah Tuan menginginkan Anda untuk beristirahat saja di rumah?" tanya Kepala Pelayan mulai gelisah."Aku harus bekerja, tidak boleh manja. Hanya demam sehari, tidak apa-apa," sahut Adelia sambil menarik tangan Kepala Pelayan lalu mengenggamnya seperti anak kecil yang sedang bermanja kepada ibunya."Aku akan makan dengan tertatur. Bagaimana bila Ibu menyiapkan bekal makanan yang enak untukku? Aku akan membawanya dan makan di hotel nanti."Perkataan Adelia membuat kedua mata Kepala Pelayan berb
"Adelia?" sapa Edward sambil mengetuk pintu yang tidak terkunci di ruang istirahat karyawan.Adelia terkejut dari lamunannya. "eh, Edward... uhm, aku sedang sarapan, masuklah.""Kamu melupakan bungamu," ucap Edward sambil melangkah masuk."Eh, ini kelihatan enak sekali, kamu membuatnya sendiri?" tanya Edward dengan mata melihat ke arah kotak makan yang terlihat lezat."Ini benaran enak, nah, coba ... " Adelia menjepit sebuah telur gulung dan menyuap Edward.Tepat di saat yang sama, Afgan melewati ruangan istirahat karyawan tersebut tanpa sengaja.Adelia mematung saat melihat keberadaan Afgan yang sedang membulatkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah dia yang sedang menyuap Edward.Bagaimana Afgan bisa berada di sini? Adelia tidak bisa tidak bertanya, lalu dengan sikap canggung, menelan salivanya dengan susah payah."Afgan, " sapa Adelia dengan suara bergetar.Afgan masuk ke dalam ruangan istirahat karyawan itu denga
Adelia tidak sempat berkata apa pun untuk membela dirinya. Padahal, makanan itu bukan diberikan oleh Edward seperti yang dituduhkan kepadanya dan jam kerjanya belum dimulai.Tuduhan Afgan sangat menghancurkan sisi terdalam dari Adelia sehingga wanita itu sangat membencinya saat ini.Adelia menangis sambil memungut makanan yang terjatuh di lantai dengan air mata yang menetes terus.Wanita itu merasa sungguh bersalah karena selain ketulusan dari yang membuat makanan, rasa dari makanan ini sungguh enak sekali. Dengan pandangan sayang, Adelia membuang semuanya ke tong sampah, berserta bunga segar yang sudah hancur.Sementara itu, Afgan berjalan untuk mencari Mrs. Smule di kantornya.Wanita gendut berkacamata itu terkejut dan buru-buru mempersilakan Afgan masuk ke kantornya begitu tahu pemilik hotel datang berkunjung."Apa yang ingin Anda sampaikan, Tuan Afgan? Apakah ada sesuatu yang dapat saya selesaikan?"Afgan menarik napas dengan kasa
"Apa!!!" Afgan membulatkan kedua matanya mendengar laporan dari Mrs. Smule mengenai pengangkatan Adelia menjadi asisten pribadinya.Mrs. Smule menjauhkan ponselnya karena teriakkan Afgan begitu memekakkan telinganya."Iya, Tuan. Bukankah saya sudah memenuhi semua tugas yang Tuan berikan?" sahut Mrs. Smule seolah-olah tidak bersalah."Apa maksudmu?"Mrs. Smule memperbaiki duduknya lalu menjawab, "Pertama, Tuan katakan dia tidak boleh dipecat, bukan?""Iya! Terus?""Kedua, dia harus bekerja di belakang meja dan tidak boleh ke gudang lagi!"Afgan menautkan kedua alisnya kemudian menjawab, "Iya, betul. Lalu?""Nah, yang ketiga, dia tidak boleh kemana-mana sedirian termasuk ke toilet!"Afgan menelan salivanya dengan cepat dan kehilangan kata-kata."Tuan Afgan?""Iya, saya masih di sini, teruskan!""Ehem, nah ... saya wanita tulen. Dia jadi asisten saya, jadi otomatis memenuhi semua persyaratan yang Tuan berikan tadi."Afgan belum menjawab apa-apa, tiba-tiba terdengar pintu diketuk."Masuk!
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek