"Afgan," panggil Adelia dengan suara parau. Pria itu masih belum memiliki respon yang diharapkan.
Kedua mata Adelia berkaca-kaca menatap sang kekasih yang terbaring tak berdaya.
Sementara di apartemen sewa milik Bob. Pria itu baru saja bermesraan dengan Dokter Amelia yang cantik dan menawan hatinya.
Sebuah deringkan pada ponsel Amelia membuat Bob terbangun dari tidurnya.
Bob melirik Dokter cantik yang kelelahan karena mereka bermain di atas ranjang cukup lama sebelum keduanya tidur dengan saling merangkul.
"Sayang, ponselmu di mana? Aku mendengar deringanya terus, apakah itu sesuatu yang penting?"
Dokter Amelia terbangun dan duduk di atas ranjang dengan malas.
"Di mana ponselmu? Biar aku yang menjawabnya?"
Dokter Amelia menggeleng pelan, lalu segera menuju ke tas jinjing yang dibawanya. Meraih ponselnya lalu melihat panggilan yang tidak terjawab sebanyak 12 kali.
Dengan gelisah, Dokter Amelia segera melangkah menuju ke k
"Amelia, apa yang kamu lakukan itu sama seperti wanita murahan yang tidak layak kuterima sebagai calon istriku, padahal ... "Bob menghentikan kalimatnya lalu memutar tubuh dan melihat ke arah Amelia.Bob mendengkus lalu membuang muka dan kembali memakai celananya. "Padahal aku berniat melamarmu ... "Perkataan Bob ibarat petir mengelegar di telinga Amelia. Wanita langsung tersungkur di lantai dan merasa kakinya lemas.Dokter Amelia menangis sejadi-jadinya. Bob juga merasakan kehancuran yang sama saat menyaksikan wanita yang dicintainya merasa terpuruk dengan kesalahan yang diperbuatnya."Bagaimana semua ini bisa terjadi, Amelia ... aku begitu mencintaimu, tetapi kamu hanya ... ""Aku tidak bermain-main, Bob. Aku juga sangat mencintaimu," sela Amelia dengan mata basah.Bob segera berjongkok di depan Amelia dan memegang kedua bahunya. "Maka ceritakanlah! Mengapa kamu melakukan hal sekeji ini?"Suara Bob terdengar keras dan marah
Adelia segera mengambil ponselnya dan menekan nomor Edward. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya Edward mengangkat panggilan yang masuk pada ponselnya."Edward, aku butuh kamu segera," ucap Adelia dengan suara serius begitu telepon diangkat."Apa yang terjadi?" tanya Edward, suaranya penuh perhatian."Kamu harus mengecek kondisi Achmed. Ada kemungkinan Melinda sudah memulai langkahnya di sana," jelaskan Adelia dengan cepat."Achmed? Apa yang akan dia lakukan terhadap pria tua itu?" tanya Edward dengan penasaran."Aku tidak tahu, Bob mengatakan bahwa mungkin Melinda akan memberikan sesuatu yang jahat dalam makanannya atau obat-obatan yang dia konsumsi setiap hari.""Apa yang menjadi tujuan wanita jahat itu?" Edward merasa kemarahan mulai menutupi dirinya."Dia ingin menguasai kekayaan Al-Futtaim. Tolonglah, kunjungi mertuaku dan lihatlah apakah mereka baik-baik saja.""Tentu, aku akan pergi segera," jawab Edward tanpa ragu.
Sementara itu, Bob dan Amelia sudah tiba di Rumah Sakit.Bob dan Dokter Amelia duduk di ruang tunggu rumah sakit, tatapan mereka terpaku ke lantai dengan keheningan yang tegang di antara mereka. Mereka berdua terpisah oleh dinding emosional yang tak terlihat, diisi dengan penyesalan dan pertanyaan tanpa jawaban.Mereka tidak diizinkan untuk menjengguk Afgan. Adelia juga tidak berada di sana karena wanita itu masuk ke ruang icu, menemani suaminya tanpa sedetik pun meninggalkannya. Menyadari bahaya yang mungkin terjadi bila dia pergi.Setelah beberapa saat berada dalam keheningan, Dokter Amelia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengatasi kecanggungannya. "Bob... Aku sungguh menyesal atas apa yang telah aku lakukan," ucapnya dengan suara gemetar.Bob menoleh ke arahnya, matanya masih memendam luka dan kekecewaan yang mendalam. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, Amelia. Semuanya terlalu rumit, terlalu menyakitkan," ujarnya dengan suara bergetar.
Dalam perjalanan yang terus berlanjut, suasana di dalam mobil mulai terasa lebih rileks. Bob dan Nancy saling bertukar pertanyaan sederhana untuk lebih mengenal satu sama lain.Bob tersenyum ramah. "Jadi, Nancy, apa hobi atau kesukaanmu di luar pekerjaan sebagai perawat?"Nancy tersenyum kembali. "Saya suka membaca dan berkebun. Bagaimana dengan Anda, Bob? Apa yang Anda lakukan di luar pekerjaan?"Bob mengangguk. "Saya juga suka membaca, terutama novel detektif. Dan saya senang menjelajahi alam, mendaki gunung dan berpetualang."Nancy menunjukkan minat. "Menarik! Saya suka petualangan juga, meskipun saya tidak terlalu berani dengan kegiatan ekstrem. Tapi, saya bisa menemani Anda membaca novel detektif."Bob tertawa. "Suatu hari nanti, mungkin kita bisa membaca bersama. Siapa tahu, mungkin itu akan menjadi salah satu petualangan kita."Pertukaran sederhana seperti ini membuat keduanya semakin akrab satu sama lain, membangun hubungan yang lebi
Dokter Amelia berlari ke kamar mandi, usai menuntaskan kebutuhan alaminya, saat keluar dan menatap dirinya di depan cermin. Dia terkejut karena Melinda sedang berada di belakangnyaPantulan sosok Melinda di cermin membuat jantungnya berdegup dengan kencang.Tatapan dingin Melinda membuatnya merasa tidak nyaman."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dokter Amelia dengan nada tajam, mencoba menyembunyikan ketakutannya.Melinda tersenyum sinis. "Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kamu bicarakan dengan Bob."Dokter Amelia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangannya. "Itu tidak ada urusanmu," jawabnya dengan tegas.Namun, Melinda mendekat, menciptakan jarak yang semakin sempit di antara mereka. "Oh, tapi itu semua berhubungan dengan urusan saya," bisiknya dengan dingin dekat ke telinga Amelia."Jangan pernah lupakan, Amelia, bahwa aku bisa menghancurkan hidupmu dalam sekejap mata."Dokter Amelia menelan ludah,
Setelah beberapa saat, Amelia keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat sayu. Dia mendekati Bob dengan langkah gemetar, tubuhnya terasa lemah.Bob langsung menghampirinya dengan ekspresi khawatir. "Amelia, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada cemas.Amelia mengangguk lemah, bibirnya sedikit gemetar. "Saya ... Saya tidak tahu apa yang terjadi," gumamnya dengan suara yang lemah.Bob segera menggandeng tangannya, mencoba memberinya dukungan. "Tenanglah, saya akan membawamu ke Ruang Dokter. Kita akan memastikan bahwa kamu mendapat pertolongan yang kamu butuhkan."Baru saja mengatakan demikian, Amelia merasakan kelemahan yang begitu besar hingga akhirnya kakinya tidak lagi mampu menopang berat badannya. Tanpa sempat Bob bereaksi, tubuhnya langsung terkulai lemah ke lantai, pingsan tanpa kesadaran.Bob terkejut dan segera menangkapnya sebelum tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. "Amelia!
Beberapa saat kemudian, pintu gerbang terbuka perlahan, memberi Kakek Rafael, Joanne, dan Lucas akses untuk masuk.Ketiga orang itu tersenyum penuh kemenangan.Mereka menatap bangunan megah di hadapan mereka dengan penuh kekhawatiran dan harapan.Dengan langkah mantap, Kakek Rafael memimpin langkah menuju pintu masuk mansion, diikuti oleh Joanne dan Lucas yang berjalan dengan perasaan campur aduk.Mereka tidak sabar untuk bertemu dengan Achmed Al-Futtaim yang merupakan Kakek Kandung mereka dan Maya Al-Futtaim sebagai Nenek kandung merekaKedua anak itu tentu sangat berharap bisa menjembatani kesenjangan yang tercipta di antara mereka.Tiba-tiba tangan petugas keamanan itu mencegat langkah mereka."Tunggu, kalian tunggu di sini!"Kakek Rafael dan kedua cucunya saling bertatapan."Kenapa?" tanya Joanne kecil dengan heran."Kita menunggu jemputan, tidak mungkin berjalan kaki sampai ke pintu utama. Mansion itu letakny
"Intinya, sekarang ... aku membawa kedua cucu ini ke hadapanmu! Mereka adalah cucu kandungmu!"Achmed menoleh dan melihat kedua anak kecil yang duduk rapi dan sopan di sofa. Kedua anak kecil itu bahkan tidak berani memanggil Kakeknya apalagi mendekat dan memberi salam.Semua masih terasa sangat membingungkan bagi kedua anak kecil itu.Achmed memegang dadanya yang terasa sesak lalu mengepalkan tangannya, berusaha untuk mengatur napas sendiri.Sesaat kemudian dia berdiri dan melangkah mendekati kedua cucu kandungnya, menatap mereka dalam-dalam. Menyadari kemiripan wajah yang sama dengan Afgan kecil."Bagaimana bila kalian berdua menjumpai Nenek kalian terlebih dahulu? Kakek Achmed mempunyai banyak hal untuk didiskusikan kepada Kakek kalian."Kedua anak kecil itu saling bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan setelah mereka sepakat dalam kekompakkan mereka.Achmed mengangguk lalu melangkah kembali menuju ke meja kerjanya untuk menghub
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek