Ketika mobil berhenti di depan mansion Afgan, Adelia merasa detak jantungnya semakin cepat. Sebuah penghunian yang penuh dengan kenangan manis sekaligus pahit.
Adelia menghela napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan. Edward yang mengetahui pergolakkan pikiran wanita cantik itu segera menggenggam tangannya dengan erat.
"Kamu lapar?" tanya Edward dengan lembut pada saat berada di dalam mobil.
Adelia menggelengkan kepalanya pelan sembari memegang perutnya. Walaupun merasa lapar, Adelia merasa tidak ingin menghabiskan waktu lebih banyak. Dia ingin sekali mengetahui kondisi Afgan pada saat ini juga.
Mobil yang ditumpangi mereka sampai di mansion satu jam kemudian. Edward segera keluar dari mobil dan menuntun Adelia keluar.
Dengan langkah mantap, Adelia menghampiri sekuriti yang berjaga di depan pintu pagar besi yang kokoh dan tinggi mansion tersebut. Tak lama kemudian, petugas sekuriti keluar, dan dia disambut oleh s
"Di mana dia sekarang? Bawa kami untuk melihat dan menanyakannya secara langsung."Melinda menatap Adelia dengan ekspresi yang dingin. "Kamu bisa percaya apa pun yang kamu inginkan," ucapnya dengan suara rendah. "Tetapi fakta tetap fakta.""Saat ini, dia sedang tidak berdaya," lanjut Melinda."Maksudmu?" Adelia menatap ke arah Edward. Edward, yang duduk di sebelah Adelia, merasa semakin tertekan oleh ketegangan di ruangan itu. Dia bisa merasakan energi tegang yang tercipta antara kedua wanita itu, seolah-olah udara di sekitarnya menjadi lebih berat.Edward menggenggam sebelah tangan Adelia dengan kuat seolah-olah sedang memberikan dukungan."Dia terkena stroke ringan yang membuat dirinya mengalami kehilangan kesadaran dan juga daya gerak," kata Melinda sambil sesekali menyeka ingusnya yang mengalir akibat menelan cabai rawit sebelum menghadapi Adelia. Wanita itu ingin membuat suasana duka dengan wajah memerah dan bermain seolah-olah dirinya adalah
Adelia menatap amplop itu dengan penuh perasaan campur aduk. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, karena dia menyadari bahwa apa pun yang ada di dalamnya bisa mengubah segalanya."Dengan izin Anda," pengacara itu, "saya ingin Anda membuka amplop ini dan mengevaluasi bukti yang ada di dalamnya."Adelia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Dengan gemetar, dia membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi bukti yang cukup kuat untuk merubah segalanya."Saya telah memeriksa bukti ini dengan seksama," ucap pengacara itu. "Dan saya yakin bahwa ini akan membuktikan apa yang sebenarnya terjadi dengan Afgan."Dalam keheningan yang hening, Adelia, Melinda, dan Edward membaca bukti yang disajikan oleh pengacara itu dengan mata yang penuh perhatian. Setelah beberapa saat, wajah mereka mencerminkan kejutan, penyesalan, dan kemarahan."Pernyataan ini ditanda tangani oleh seorang perawat bernama Nancy. Dia memang sempat mengambil b
Edward, yang diam selama ini, akhirnya menyuarakan pikirannya. "Kami akan kooperatif dalam proses ini dan mencari kebenaran, kami akan melakukan apa yang kami bisa dan menyerahkan semua informasi yang kami tahu," katanya dengan mantap."Saat ini, di manakah Afgan? Kami ingin mengunjunginya," lanjut Adelia dengan penuh harap."Dia masih berada di Rumah Sakit ... " Pengacara itu menundukkan kepalanya dan memedam rasa simpati dalam hatinya sebelum melanjutkan kalimat, "Dia ... masih dalam kondisi hilang kesadaran."Suasana ruangan tetap tegang setelah pengungkapan tersebut, dan pertemuan pun berakhir dengan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi.Adelia dan Edward bergegas menuju ke Rumah Sakit untuk melihat kondisi Afgan saat ini.Adelia merasa sangat gelisah sementara Edward tetap fokus membawa mobilnya dengan laju kecepatan yang stabil.Sementara Melinda memilih diam di rumah dan menatap kosong keluar kaca jendela, memikirkan tindakan
"Afgan?" panggil Adelia dengan kedua mata membulat sempurna. Kedua orang itu melangkah masuk mendekati ranjang.Suasana di dalam kamar terasa hening, hanya dipecah oleh desiran suara napas mesin yang membantu pompa jantung dan gemericik jatuhnya air dari rakitan oksigen yang mengalir perlahan.Tubuh Afgan terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit, seperti sedang terbawa dalam tidurnya yang tanpa akhir. Pria itu terlelap dalam keadaan koma, wajahnya pucat dan terangkat oleh helaan napas yang berat.Sekelilingnya dipenuhi oleh alat monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah yang lemah, sementara infus dan selang-selang terhubung dengan tubuhnya, menjadi tautan hidupnya yang rapuh.Adelia menahan napasnya saat melangkah masuk, hatinya berdegup semakin kencang melihat kondisi Afgan yang rapuh di depannya."Afgan ...," panggilnya pelan dengan suara serak.Dia merasakan kepedihan yang mendalam melihat sosok yang pernah menjadi bagian
Edward tetap berdiri di sampingnya tanpa daya, menyaksikan momen yang menyentuh hati ini dengan perasaan campuran antara sedih dan haru. Dia memeluk Adelia lebih erat, mencoba memberikan kehangatan dan ketenangan di tengah badai emosi yang sedang mereka hadapi."Dia mendengarkanmu, sayang," ucap Edward dengan penuh keyakinan. "Kamu memberikan kekuatan padanya dengan kata-katamu yang penuh cinta. Percayalah, kita akan melalui ini bersama-sama."Adelia menoleh ke arah Edward, matanya masih berkaca-kaca oleh air mata.Dengan penuh rasa kasih dalam dirinya, Edward menghapus air mata di pipi Adelia dengan jempolnya. "Terasa hangat dan menghancurkan hatiku," gumam Edward dalam hati.Dia merasakan kehadiran dan dukungan yang tak tergantikan dari pria yang dicintainya itu, dan itu memberinya sedikit kelegaan di tengah kegelapan yang melanda."Terima kasih, Edward," ucap Adelia dengan suara yang lembut, menghargai setiap kata dan sentuhan dari pria itu.
"Tolong, beri kami jarak. Kami harus menolongnya saat ini juga. Mohon pengertiannya!" seru perawat itu dengan tegas."Kami mohon maaf! Dokter perlu bekerja untuk menyelamatkan pasien," lanjutnya sambil membungkukkan tubuhnya sedikit untuk menunjukkan rasa hormat miliknya."B-baik," ucap Adelia dengan suara bergetar.Adelia yang terdorong mundur segera mengangguk dan memberikan jarak. Menatap mereka dari sudut kamar dengan hati was-was dan panik.Edward menaikan bahunya karena dia sendiri tidak mungkin jujur dalam perkataannya kepada Adelia.Dengan cermat, para perawat mulai melakukan langkah-langkah darurat untuk menstabilkan kondisi Afgan. Meskipun pria itu masih dalam keadaan tidak sadar, tubuhnya menunjukkan reaksi yang tidak terduga, mencerminkan emosi yang kuat yang mungkin tengah berkecamuk di dalam pikirannya yang terganggu.Beberapa injeksi diberikan sementara Adelia menatap dengan gelisah, menyaksikan upaya penyelamatan yang sedang
Setelah membahas dengan beberapa dokter senior, Akhirnya Dokter yang menangani Afgan memutuskan untuk melakukan operasi.Ketika Afgan ditarik keluar dari kamar, Adelia merasa dunianya hancur. Tangisannya menjadi semakin histeris, rasanya seperti semua dinding emosional yang dia bangun runtuh seketika. Dia merasa hampa, takut akan apa yang mungkin terjadi pada pria yang dia cintai begitu dalam."Maaf, kami harus segera melakukan operasi. Sepertinya dia mengalami pecahnya pembuluh darah pada otaknya. Maaf, silakan beri jalan," ucap dokter tersebut dengan langkah terburu-buru.Edward segera mendekati Adelia yang terisak semakin kencang, merangkulnya erat-erat dalam usahanya yang putus asa untuk menghibur dan menenangkan Adelia. Dia mencoba menenangkan perasaannya sendiri yang juga kacau-balau, tetapi di saat seperti ini, fokusnya sepenuhnya pada Adelia."Afgan, jangan ... kumohon! Aku sudah datang! Afgan!" teriak Adelia dengan panik dan mulai histeris
Seusai berkata-kata, Edward melangkah pergi untuk mengisi perutnya.Beberapa saat kemudian, Edward kembali dengan beberapa makanan dari kantin rumah sakit. Dia meletakkan tas kantong plastik di meja di sebelah tempat tidur Afgan dan duduk kembali di samping Adelia."Dia mungkin membutuhkan waktu lama untuk bangun, Adelia. Kamu harus makan sesuatu," ujar Edward dengan suara lembut, mencoba meyakinkan Adelia yang terlihat ragu-ragu."Kamu butuh menjadi sehat untuk bisa menjaga orang yang sedang sakit."Adelia menoleh ke arah Edward dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu bahwa Edward benar, dia harus mengisi perutnya agar tetap kuat di saat-saat sulit ini. Dengan berat hati, dia menerima makanan yang ditawarkan Edward."Keluarlah dan makan sebentar di kursi luar ruangan. Aku akan berjaga di sini. Kamu mempercayaiku, bukan?"Adelia menatap kedua mata Edward dalam-dalam, merasakan emosi dalam perasaannya. Tidak mungkin bila dia tidak pe
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek