"A-aku tidak tahu, Dad." Melinda menjawab dengan canggung dan suara bergetar.
Melihat itu, Bayu segera menyela, "tadi dia hadir sebentar lalu pergi karena ada urusan di hotel yang mendesak."
"Mendesak? Apa yang lebih penting daripada keluarganya?" Achmed mulai merasa kemarahan berkumpul di dadanya.
Melinda mencoba tersenyum dan menyambut mereka dengan hangat, meskipun hatinya masih terbebani oleh perasaan kesedihan dan kecewa. "Terima kasih, Mom, Dad. Kami sangat bersyukur atas dukungan dan kehadiran Anda di sini."
Ayah Afgan melangkah mendekati bayi yang tertidur dengan damai. "Cucu kami sudah lahir, ya? Bagaimana kabarnya?"
Melinda merasa haru melihat kebahagiaan di wajah mertuanya. "Iya, Dad. Dia adalah anugerah terindah dalam hidup kami."
Mereka melanjutkan memberikan selamat dan berbicara tentang momen indah yang baru saja mereka alami. Melinda mencoba untuk menikmati kebersamaan ini, tetapi kekosongan di hatinya tetap terasa.
"Y
Melinda masih menunggu perkataan Afgan. Mereka saling menatap tajam cukup lama sampai akhirnya Afgan melanjutkan kalimatnya, "kamu mengatur sehingga dia harus mengambil shift malam. Apa tujuanmu?"Melinda langsung tertawa dalam menanggapi pertayaan tersebut. Tawanya malah membuat Afgan merasa tersudutkan dan kembali melayangkan tatapan tajam."Jelaskan!" seru Afgan menaikkan suaranya sehingga bayi dalam ranjang box di samping mereka menangis seketika."Afgan! Bayi kita terkejut karena suaramu! Kamu gila!"Afgan berdiri dan melangkah ke arah box bayi, ditatapnya bayi yang menangis itu dengan tatapan semu. Pria itu sama sekali tidak merasa memiliki ikatan apa pun terhadap bayi yang sudah lahir tersebut."Dia ... mengapa hatiku terasa kosong," gumam dalam hati. Pria itu hanya mematung melihat bayi yang menangis terus tanpa ada niat untuk menggendongnya.Sampai seorang perawat yang masuk dengan langkah tergesa-gesa karena Melinda memencet tombol panggil."Ada apa? Mengapa bayimu menangis
"Apa yang ingin kamu berikan kepadaku?" Afgan melayangkan tatapan tajam kepada perawat cantik yang sedang berada di hadapannya."Sebuah rekaman video yang sudah pasti akan membuatmu sangat terkejut." Perawat yang bernama Fiona itu tidak hentinya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kerja Afgan yang sangat mewah.Afgan mengerti orang-orang yang biasa memeras dan tergiur dengan kemewahan. Dengan lincah tangannya segera menuliskan sebuah nominal yang fantastis ke selember kertas cek di hadapannya lalu menandatanganinya."Seharusnya sudah cukup. Berikan rekaman itu!" seru Afgan sambil menyodorkan selembar cek tersebut. Suara yang tegas dan lantang membuat Fiona tersentak mundur."A-aku ... punya syarat!""Katakan!" Afgan menurunkan tempo suaranya dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Aku ingin bekerja di kantor. S-sudah merupakan keinginanku dari dulu supaya bisa bekerja di sebuah perusahaan mewah. I-Ibuku yang menginginkanku menjadi s
Afgan mematut dirinya di depan cermin dalam kamar mandi yang ada di ruangan kerjanya yang mewah. Wajah tirus dengan jambang tipis yang tumbuh dan rambut yang tidak tersisir rapi membuat penampilannya terlihat kacau.Afgan berulang kali mencuci wajahnya dengan air dari kran wastafel yang mengir, tetapi tetap tidak mampu menghilangkan rasa lelah dan gundah dalam dirinya."Sepertinya aku harus pulang ke rumah dan berendam dalam yacuzi, mumpun Melinda masih berada di Rumah Sakit."Akhirnya Afgan memutuskan untuk membawa mobilnya kembali ke rumah. Sudah hampir dua bulan, pria itu tidak pulang ke rumahnya. Semua waktu yang ada dihabiskannya di hotel dalam sebuah ruangan tanpa tempat tidur. Terkadang, Afgan tertidur di depan laptop dan terkadang, dia tertidur di sofa.Sampai di dalam kamarnya, Afgan membuka pakaiannya dengan rasa enggan."Ternyata aku juga melupakan diriku untuk sekedar mandi!" seru Afgan sambil mengernyitkan alis saat mencium pakaiannnya sendiri.Dengan langkah santai, Afg
"Tidak! Bik Minah!"Brak!!Afgan merasakan seperti tulang punggung yang patah. Kesakitan atas kayu balok yang menimpa tubuhnya yang kecil.Dia dapat merasakan panas yang membakar dan mendengar suara ledakan kecil. Pemandangan itu menjadi semakin gelap, hingga Afgan merasa seolah-olah dirinya tenggelam dalam lautan api.Samar-samar dia melihat di dalam kobaran api itu, Adelia melambaikan tangan dengan senyum hangat. Di sebelahnya ada Bik Minah dan sisi lainnya adalah Ayah Adelia."Tidak! Jangan tinggalkan aku!" teriak Afgan dengan panik.Afgan terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya diliputi keringat dingin. Matahari pagi bersinar cerah melalui jendela kamar tidurnya yang luas. Dia duduk tegak di tempat tidur, masih terpukul oleh mimpi buruk yang baru saja ia alami.Hatinya berdegup kencang, dan wajahnya pucat. Kemeja tidurnya juga sudah asah dengan keringat. Afgan mencoba mengusir bayang-bayang mimpi itu dari pikirannya, tet
Achmed Al-Futtaim dan Kanya, orangtua Afgan, mendengar kabar yang mengguncang ketenangan hidup mereka. Kabar tentang keadaan besan mereka yang tiba-tiba shock dan sakit membuat mereka merasakan kegelisahan yang mendalam. Wajah mereka tergambar dengan ekspresi khawatir dan takut saat mereka melangkah dengan langkah cepat menuju rumah sakit.Dalam perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Achmed dan Kanya penuh dengan pertanyaan dan kekhawatiran. Mereka saling pandang, dan mata mereka mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. Mereka tidak bisa membayangkan bahwa kehidupan mereka akan berubah dalam sekejap karena situasi yang tak terduga ini."Sungguh, apa yang terjadi?" ucap Achmed dengan suara serak, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus hati istrinya, Kanya. "Semoga ini hanya sebuah kejadian yang sementara dan semuanya akan baik-baik saja.""Benar, saya tidak bisa membayangkan perasaan Adelia seandainya dia masih hidup. Kita sekeluarga berhutang terama
"Aku menyesal atas semua kelakuanku yang tidak adil baginya, Ayah."Suara Afgan parau dan dadanya terasa sesak.Achmed menatap putranya dengan penuh belas kasihan. "Kita tidak dapat mengontrol takdir, Afgan. Hidup terkadang memberikan cobaan yang sulit, tetapi kita harus berjuang melalui itu bersama-sama. Kita akan menemukan jalan keluar, dan kita akan menjadi lebih kuat dari sebelumnya."Afgan mengangguk, pria itu menyeka air mata dengan punggung tangannya meresapi kata-kata Ayahnya. Meskipun masih terdapat banyak pertanyaan dan ketidakpastian di masa depan, dia merasa bahwa keluarganya akan menemukan cara untuk melewati semua rintangan dan membangun kembali hidup mereka.Keduanya duduk bersama di ruang tunggu rumah sakit, saling merangkul dalam keheningan yang sarat dengan emosi. Mereka menyadari bahwa untuk mencapai kebahagiaan di masa depan, mereka harus bersatu dan saling mendukung, meskipun jalan ke depan mungkin masih sulit dan penuh tantangan.
"Apa yang terjadi, apakah dia sudah sadar?" tanya Afgan dengan napas tersenggal-senggal karena berlari dari tempat parkiran rumah sakit menuju ke kamar mertuanya."Tidak, dia belum sadar, tetapi kami mendengar dia mengigau.""Edward dan Adelia?"Kanya menganggukkan kepalanya dengan yakin, demikian juga Achmed."Sepertinya kehilangan Adelia ada kaitannya dengan Edward."Afgan mendengkus dengan kasar lalu berkata, "pria itu sudah pergi sejak sebelum kebakaran itu terjadi. Dia sudah ditunangkan dengan Emily dan mereka sudah kembali ke Dubai.""Bagaimana mungkin dia bisa terlibat?" tanya Afgan kepada dirinya sendiri."Ada baiknya kamu menyelidikinya, Afgan. Semua kemungkinan itu jalani saja, toh kamu sudah mencari selama ini.""Ohya, bagaimana dengan Melinda, apakah kamu sudah memaafkan istrimu itu?" tanya Achmed kepada putranya.Afgan menatap sang ayah dengan penuh arti. Dia tidak sanggup memberitahu rahasia tentang bayi ya
"Kau mau mengunjungi kuburannya? Baik! Pergilah ke Perkuburan Makam Sanjaya di Jakarta Selatan. Carilah nama Adelia di blok 7!" seru dengan marah melalui pengeras suara pada ponsel. Pria itu sama sekali tidak mengizinkan sekuriti untuk membuka pintu.Mendengar jawaban dari Edward, hati Afgan seperti tersambar petir kemudian tersayat oleh beberapa belati yang tajam."Pergilah! Kembalilah ke negaramu. Aku sangat membencimu yang membiarkan tubuh Adelia termakan kobaran api begitu saja!"Edward mematikan panggilan dari ponsel sekuriti tersebut. Dengan langkah lesu, Afgan melangkah masuk kembali ke mobilnya.Kenyataan bahwa Adelia sudah meninggal, membuat hidupnya terasa hancur. Dengan tangan sebelah kirinya, dia menghubungi sang ayah untuk mengecek keberadaan makam Adelia.Mobil dilajukan supir kembali menuju ke bandara. Afgan tidak menunggu lagi, melainkan langsung masuk ke pesawat pribadi yang sudah disiapkan sang ayah."Pulanglah, Afgan," ucap Achmed dengan lesu."Makam Adelia memang b
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek