"Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Semua orang butuh lingkungan yang rapi untuk bekerja."
Aiyana terus bekerja, membantu membersihkan dan merapikan ruangan kerja tersebut. Pria botak itu, semakin lama semakin terkesan dengan transformasi yang terjadi di meja dan kantornya.
Gerakan Aiyana yang lincah walau perutnya cukup besar. Aiyana terlihat bernapas teratur walau dengan perut berisi dua bayi, dia berusaha bekerja dengan baik.
"Siapa namamu?" tanya pria botak itu, dia memilih duduk di kursi kumuh di samping pintu dan memantau pekerjaan Aiyana. Memantau karena takut ada barang yang hilang dicuri oleh wanita asing di hadapannya itu.
"Panggil saya, Aiyana."
"Oh, Aiyana. Kamu bisa memanggilku Rafael."
"Oh, Tuan Rafael, senang berkenalan denganmu."
Aiyana hanya berkata-kata dengan singkat, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Rafael adalah seorang pria paruh baya dengan wajah penuh cacat. Bila orang tidak mengenalnya, p
"Tunggu, aku akan menyuruh pelayanku untuk mengantarkan minuman."Rafael segera mengangkat ponsel dan menghubungi pelayannya.Tidak lama kemudian, beberapa kaleng minuman beralkohol diantar oleh beberapa orang pelayan.Dengan pendekatan tawar-menawar, akhirnya mereka mencapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak.Rafael menarik tangan Aiyana untuk segera berlalu dari sana."Buang mereka ke laut setelah mereka tertidur semuanya!" titah Rafael kepada para pelayannya."Baik, Tuan Rafael!"Mereka berjalan kaki kembali ke cafe."Terima kasih, Tuan Rafael. Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi jika Anda tidak datang.""Mengapa temanmu masih belum tiba?"Aiyana terdiam dan memutuskan untuk tidak menjawab. Dia juga tidak bisa menceritakannya secara detail kepada Rafael mengenai Edward dan Emily.Tiba-tiba suara memalukan keluar dari perutnya.Kruk! Kruk!"Astaga, ini memalukan sekali," u
Truk dari arah berlawanan tersebut yang melaju dengan kecepatan tinggi juga tidak dapat terlepas dari kecelakaan. Truk itu membanting sisi jalan yang lain lalu terbalik.Boom!Ledakan yang dahsyat terjadi, menghasilkan suara keras dan kilatan lampu yang menyilaukan.Mobil sport metalik milik Edward hancur berkeping-keping, dan serpihan-serpihan kaca berserakan di sekitarnya. Truk juga tidak luput dari kerusakan, dengan bagian depannya yang penyok dan mesin yang mengeluarkan asap dengan sedikit api kecil tersisa.Edward merasa sangat sakit di berbagai bagian tubuhnya, tetapi dia masih sadar."Emily ... "Saksi-saksi yang berada di sekitar lokasi kecelakaan segera berhamburan untuk memberikan pertolongan. Mereka memanggil tim penyelamat dan petugas kepolisian. Edward dan Emily terjebak di dalam reruntuhan mobil mereka, mengalami luka-luka serius.Edward melihat kedua kaki milik wanita itu terjepit bagian depan mobil."Emily!" pan
Edward terbangun dengan perlahan di ruang perawatan rumah sakit. Pandangannya buram saat ia mencoba mengenali sekelilingnya. Ranjang putih yang bersih, bau antiseptik yang khas, dan bunyi mesin-mesin medis menjadi latar belakang di pagi yang tenang. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, Edward merasakan rasa sakit yang menghantam tubuhnya. Tubuhnya terasa lemah dan terbungkus oleh perban.Setelah beberapa saat menyesuaikan diri, ingatannya pun kembali. Kecelakaan, Emily yang terjebak di dalam mobil, dan janjinya untuk bertanggung jawab.Dia sudah melupakan tentang Aiyana yang masih berada di Cafe ataupun di mana wanita hamil itu berada saat ini.Edward hanya bisa berharap Aiyana sudah pulang ke rumah dan semua baik-baik saja.Dengan hati yang penuh kekhawatiran, Edward memalingkan pandangan ke arah ranjang sebelahnya. Di sana, Emily terbaring tak bergerak. Wajahnya masih pucat, dan wanita itu tetap tidak sadarkan diri dengan beberapa perala
Sesaat setelah Melinda mengakhiri pembicaraannya dengan bayi dalam rahimnya, tiba-tiba perutnya mulai terasa sakit. Rasa sakit yang semakin intens menandakan bahwa saat kelahiran sudah dekat. Dengan napas terengah-engah, Melinda segera mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Afgan. "Aahh, sakit ...," rintih Melinda sambil memegang perutnya dengan gelisah. Sebelah tangannya masih berusaha untuk menghubungi nomor Afgan. Namun, ketika nada dering terdengar, Afgan hanya melirik malas panggilan dari istrinya. Dia tampak tidak terlalu tertarik untuk menjawab. Melinda merasa cemas dan kecewa. Meski dalam keadaan sakit, dia mencoba sekali lagi. "Panggilan dari Melinda," bunyi pemberitahuan di ponsel Afgan, tetapi kali ini pun, pria itu hanya menghela nafas dan mengabaikannya. Melinda merasakan kekecewaan dan ketidakpastian di tengah-tengah rasa sakit yang semakin meningkat. "Afgan, tolong ... aku sakit!" Melinda merintih dengan wajah yang mulai pucat dan
"A-aku tidak tahu, Dad." Melinda menjawab dengan canggung dan suara bergetar.Melihat itu, Bayu segera menyela, "tadi dia hadir sebentar lalu pergi karena ada urusan di hotel yang mendesak.""Mendesak? Apa yang lebih penting daripada keluarganya?" Achmed mulai merasa kemarahan berkumpul di dadanya.Melinda mencoba tersenyum dan menyambut mereka dengan hangat, meskipun hatinya masih terbebani oleh perasaan kesedihan dan kecewa. "Terima kasih, Mom, Dad. Kami sangat bersyukur atas dukungan dan kehadiran Anda di sini."Ayah Afgan melangkah mendekati bayi yang tertidur dengan damai. "Cucu kami sudah lahir, ya? Bagaimana kabarnya?"Melinda merasa haru melihat kebahagiaan di wajah mertuanya. "Iya, Dad. Dia adalah anugerah terindah dalam hidup kami."Mereka melanjutkan memberikan selamat dan berbicara tentang momen indah yang baru saja mereka alami. Melinda mencoba untuk menikmati kebersamaan ini, tetapi kekosongan di hatinya tetap terasa."Y
Melinda masih menunggu perkataan Afgan. Mereka saling menatap tajam cukup lama sampai akhirnya Afgan melanjutkan kalimatnya, "kamu mengatur sehingga dia harus mengambil shift malam. Apa tujuanmu?"Melinda langsung tertawa dalam menanggapi pertayaan tersebut. Tawanya malah membuat Afgan merasa tersudutkan dan kembali melayangkan tatapan tajam."Jelaskan!" seru Afgan menaikkan suaranya sehingga bayi dalam ranjang box di samping mereka menangis seketika."Afgan! Bayi kita terkejut karena suaramu! Kamu gila!"Afgan berdiri dan melangkah ke arah box bayi, ditatapnya bayi yang menangis itu dengan tatapan semu. Pria itu sama sekali tidak merasa memiliki ikatan apa pun terhadap bayi yang sudah lahir tersebut."Dia ... mengapa hatiku terasa kosong," gumam dalam hati. Pria itu hanya mematung melihat bayi yang menangis terus tanpa ada niat untuk menggendongnya.Sampai seorang perawat yang masuk dengan langkah tergesa-gesa karena Melinda memencet tombol panggil."Ada apa? Mengapa bayimu menangis
"Apa yang ingin kamu berikan kepadaku?" Afgan melayangkan tatapan tajam kepada perawat cantik yang sedang berada di hadapannya."Sebuah rekaman video yang sudah pasti akan membuatmu sangat terkejut." Perawat yang bernama Fiona itu tidak hentinya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang kerja Afgan yang sangat mewah.Afgan mengerti orang-orang yang biasa memeras dan tergiur dengan kemewahan. Dengan lincah tangannya segera menuliskan sebuah nominal yang fantastis ke selember kertas cek di hadapannya lalu menandatanganinya."Seharusnya sudah cukup. Berikan rekaman itu!" seru Afgan sambil menyodorkan selembar cek tersebut. Suara yang tegas dan lantang membuat Fiona tersentak mundur."A-aku ... punya syarat!""Katakan!" Afgan menurunkan tempo suaranya dan mengepalkan kedua tangan dengan erat."Aku ingin bekerja di kantor. S-sudah merupakan keinginanku dari dulu supaya bisa bekerja di sebuah perusahaan mewah. I-Ibuku yang menginginkanku menjadi s
Afgan mematut dirinya di depan cermin dalam kamar mandi yang ada di ruangan kerjanya yang mewah. Wajah tirus dengan jambang tipis yang tumbuh dan rambut yang tidak tersisir rapi membuat penampilannya terlihat kacau.Afgan berulang kali mencuci wajahnya dengan air dari kran wastafel yang mengir, tetapi tetap tidak mampu menghilangkan rasa lelah dan gundah dalam dirinya."Sepertinya aku harus pulang ke rumah dan berendam dalam yacuzi, mumpun Melinda masih berada di Rumah Sakit."Akhirnya Afgan memutuskan untuk membawa mobilnya kembali ke rumah. Sudah hampir dua bulan, pria itu tidak pulang ke rumahnya. Semua waktu yang ada dihabiskannya di hotel dalam sebuah ruangan tanpa tempat tidur. Terkadang, Afgan tertidur di depan laptop dan terkadang, dia tertidur di sofa.Sampai di dalam kamarnya, Afgan membuka pakaiannya dengan rasa enggan."Ternyata aku juga melupakan diriku untuk sekedar mandi!" seru Afgan sambil mengernyitkan alis saat mencium pakaiannnya sendiri.Dengan langkah santai, Afg
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek