Alarm berbunyi pukul lima pagi. Ayrin sudah bangun dan bersiap untuk lari pagi, gerakannya begitu cekatan sejak turun dari ranjang.
Hari-harinya menjadi semakin padat setelah keputusannya untuk membantu Reygan. Tugas-tugasnya kini bertambah kompleks, dan ia membutuhkan ketajaman pikiran sejak awal pagi. Ayrin yakin, hanya dengan kesiapannya fisik dan mental, ia bisa menjalani hari-harinya yang melelahkan ini.
Saat keluar, dia berpapasan dengan Beni yang juga sedang berolahraga. “Selamat pagi, Ben,” sapanya dengan sopan.
“Pagi,” jawab Beni singkat.
“Bagaimana keadaannya semalam?” tanya Ayrin, memastikan kondisi Reygan.
“Dia tidur dengan nyenyak. Sampai sekarang, dia masih b
Ayrin melangkah menuju dapur. Sejak memutuskan untuk tinggal di rumah itu, dia sama sekali belum sempat berkeliling. Dia menyipitkan mata ketika dilihatnya Bi Tin yang baru saja masuk lewat pintu belakang sedang menatapnya dengan penuh keterkejutan. “Mbak Ayrin!” serunya dengan tak percaya, matanya memperbesar cakupan pandangan, mencoba memastikan bahwa wanita di depannya adalah mantan majikannya yang telah lama tak terlihat. “Apa kabar, Bi?” sapanya sopan, senyumannya tetap terpatri di wajahnya. “B-baik, Mbak,” jawab Bi Tin, jelas terlihat gugup. “Saya masih benar-benar nggak nyangka lihat Mbak Ayrin di sini. Mbak makin cantik dan bikin pangling.” Senyum tipis terukir di wajah Ayrin mendengar pujian itu. “Terima kasih ya, Bi.”
Prang!!Suara piring yang pecah menjadi serpihan kecil kembali memecah keheningan pagi itu. Reygan menatap tajam ke arah Ayrin, wajahnya merona merah karena kegeraman yang memuncak."Sudah cukup! Saya tidak mau memakan sampah ini!" bentak Reygan, amarahnya meledak seperti gunung berapi yang lama terpendam. Tanpa ampun, piring berisi roti dan beberapa butir telur terlempar ke lantai dengan keras, menghantam ubin dengan suara keras. Gelas susu pun menyusul, isinya tumpah berserakan.Ayrin masih tetap tenang, seolah-olah sudah mengantisipasi reaksi Reygan yang begitu impulsif. Tatapan matanya penuh keberanian, tanpa tergoyahkan oleh kemarahan pria di hadapannya. Dia memaklumi sikap mantan suaminya itu.“Bawakan yang baru, Bi,” perintah Ayrin pada Bi Tin ya
“Bawalah dia ke kamarnya, Ben,” pinta Ayrin dengan suara yang tenang namun penuh otoritas. Matanya terus mengawasi setiap gerak Reygan yang terlihat begitu kesal.Reygan menggertakkan giginya, menolak untuk diurus oleh orang lain. “Jangan perlakukan saya seperti anak kecil! Saya bisa kembali sendiri!” desisnya, memberikan respons yang penuh dengan amarah pada Beni yang mulai mendekatinya.“Berhentilah bersikap seperti anak kecil kalau begitu!” tegur Ayrin tanpa ragu. Dia beranjak dari sofa dengan langkah mantap, mendekati Reygan dengan tatapan yang menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan pria itu menentang keputusannya. Dengan santai, Ayrin mendorong kursi roda Reygan, tanpa memedulikan protes pria itu.“Saya akan mengurusnya, Ben. Lebih baik kamu istirahat sekarang,&rdq
Hari masih terasa lebih gelap daripada kemarin ketika Ayrin terbangun. Cahaya redup di kamar itu membuatnya tersentak, dan ketika menyadari bahwa dirinya berada di kamar Reygan, detak jantungnya berdegup tak teratur.Dengan gerakan refleks, dia memeriksa gaun tidurnya, dan helaan napas lega pun terlontar, menyusul kelegaan karena semuanya masih utuh.Namun, kelegaaan itu hanya bertahan sesaat karena pandangan Reygan yang menusuknya dengan tatapan yang tak terbaca."Kamu pikir saya bisa menyentuhmu dalam keadaan seperti ini, huh?" suara Reygan terdengar sinis.Ayrin mencoba menahan denyut jantungnya yang semakin cepat. Dia berusaha menunjukkan ketenangan, "Siapa yang tahu? Bahkan orang sepertimu juga masih punya nafsu, kan?"
Keesokan malamnya, Ayrin kembali ke rumah pukul sebelas malam setelah prakteknya selesai. Dia langsung masuk ke kamar untuk menyegarkan diri.ketika melangkah masuk ke dalam kamar Reygan, Ayrin terkejut melihat bahwa tempat tidur mantan suaminya itu kosong. Tatapan cemas melintas di matanya saat dia melihat pintu balkon terbuka lebar. Tanpa ragu, Ayrin menghampiri pintu balkon dan di sana, dia menemukan pria itu.Reygan duduk di kursi rodanya sambil memandang ke langit dengan tatapan hampa. Ditangannya Reygan memegang sebotol whisky yang entah darimana bisa dia dapatkan."Berhenti merusak diri sendiri!" tegur Ayrin sambil meraih botol dari tangan Reygan.Reygan memandang Ayrin dengan tatapan yang menyala, matanya merah padam karena kemarahan. "Kembalikan itu!
Di dalam rumah, Ayrin duduk sendirian di ruang tamu, terdiam dalam ketenangan yang hanya ditemani oleh suara gemercik hujan di luar. Sejak malam itu, dia sengaja menciptakan jarak antara dirinya dan Reygan.Baginya, menjaga jarak adalah langkah yang tepat, seolah-olah menyadari betapa berbahayanya terlalu dekat dengan pria itu. Namun, jarak itu tiba-tiba lenyap dalam sekejap ketika malam itu tiba.Saat langit di luar jendela bergemuruh dengan petir, Ayrin mendengar suara pecahan kaca dari kamar Reygan. Dia menoleh ke arah pintu kamar dengan kegelisahan yang tak terbendung. Apa yang terjadi? Apakah Reygan baik-baik saja? Tanpa ragu, dia bergegas pergi, hatinya berdebar keras di dadanya.Sesampainya di sana, Ayrin mendapati pintu kamar Reygan terbuka lebar, memperlihatkan cahaya samar dari dalam. Dengan langkah cepat,
“Tidak… tidak…!” gumam Reygan sambil menggelengkan kepalanya. Sementara keringat dingin mengucur deras di dahinya, menciptakan jejak-jejak kegelisahan yang nyata. Dia berusaha menangkis mimpi buruk yang membelenggunya, tapi bagaikan ombak yang terus menghantam pantai, mimpi itu terus menghantui pikirannya.Tak jauh dari tempat tidurnya, Ayrin terbangun oleh gumaman Reygan. Dalam kegelapan, dia melihat bayangan tubuhnya yang terkatung-katung, diselimuti oleh mimpi-mimpi mengerikan. Tanpa ragu, Ayrin melangkah mendekati Reygan, menyadari bahwa pria itu tengah berjuang melawan mimpi buruknya.Hujan turun dengan derasnya, disertai kilatan petir yang menggetarkan udara. Pria itu seolah sedang berada di tepi jurang, berusaha menahan diri agar tidak jatuh ke dalam kegelapan yang mengerikan.
Semakin hari, hubungan antara Reygan dan Ayrin menjadi semakin dekat. Begitu juga perhatian Beni kepada pada wanita itu yang dirasa semakin meningkat. Menimbulkan kecemburuan di hati Reygan.“Saya mau kamu memecatnya, Rin,” gerutu Reygan ketika Ayrin tengah masuk ke kamarnya untuk memeriksa kondisinya.“Jangan mulai lagi, Mas. Semuanya sudah mulai membaik,” sahut Ayrin dengan tenang.“Lihatlah berat badanmu sudah bertambah. Kondisimu juga sudah lebih baik,” sambungnya dengan nada puas yang kentara.“Tapi saya masih belum bisa berjalan,” balasnya dengan sinis.“Semua perlu proses, Mas,” jawab Ayrin dengan sabar. “Sudahlah, jangan banyak p
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men