Ayrin sengaja datang ke kantor suaminya tanpa pemberitahuan. Dia telah menyiapkan makan siang untuknya, berharap Reygan menjadi lebih bersemangat dan melupakan sejenak apapun masalah yang membelitnya.
“Bapak ada di dalam, Lia?” tanya Ayrin pada sekretaris suaminya, yang baru saja menyambutnya.
"Maaf, Bu, tapi Bapak tidak ada di kantor sejak pagi. Beliau hanya mengirim pesan untuk menjadwalkan ulang pertemuannya hari ini," jawab Lia dengan hati-hati, mencoba menjelaskan situasi yang ada.
“Ada urusan apa katanya?” tuntut Ayrin dengan nada setenang mungkin.
“Saya tidak tahu, Bu. Bapak tidak memberitahukan pada saya.” Lia menghela napas. “Padahal beliau sudah ada janji pertemuan dengan Pak Akmal. Dan itu penting sekali. Tapi sekarang saya tidak bisa menghubunginya.
Ayrin termenung di sepanjang perjalanan sambil memandang foto pernikahan di ponselnya. Air mata kembali mengalir, menetes pelan di pipinya yang pucat. Dia merenungi segala yang telah terjadi, merasa hampir tidak sanggup lagi bertahan setelah mengetahui pengkhianatan suaminya dengan kakaknya sendiri.Namun, Ayrin masih belum mau menerima kekalahannya. Reygan adalah suaminya yang sah. Dan dia sangat mengenal bagaimana Daisha. Dia tidak akan membiarkan suaminya jatuh ke tangan wanita itu begitu saja. Terlebih setelah tahu apa yang dilakukannya.“Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah mau melakukannya. Tapi saya terpaksa… saya tidak punya pilihan lain karena Ibu saya harus segera di operasi. Jadi, saya menerima tawarannya tanpa pikir panjang,” jelas Sari ketika Ayrin menemuinya di rumahnya setelah pergi dari kantor suaminya.
Reygan dan Ayrin duduk di meja makan, menyantap sarapan dalam keheningan. Setelah pembicaraan mereka tadi di kamar, keduanya terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing.Setelah sarapan selesai, Ayrin bangkit dari kursinya, memberikan pandangan singkat kepada suaminya sebelum pergi menuju dapur.Tiba-tiba, tangan hangat Reygan melingkar di pinggangnya, dan kepalanya diletakkan di ceruk lehernya. Ayrin terkejut dengan sentuhan itu, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Maafkan saya, Rin," gumam Reygan dengan suara yang lembut.Ayrin menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. "Mau sampai kapan Mas Rey minta maaf terus begini?"Reygan mendesah pelan di lehernya, membuat tubuh Ayrin bergetar. "Mungkin seumur hidup," jawabnya dengan suara p
“Kita pergi malam ini, ya?” kata Ayrin dengan suara lembut, sambil meletakkan kepalanya di dada suaminya, mencari kehangatan dan keamanan dalam pelukannya.Reygan menatap istrinya dengan sedikit keterkejutan. "Kamu serius dengan kata-katamu kemarin? Benar kamu sudah memesan tiket?"“Aku belum pernah seserius ini, Mas. Aku mau kita pergi dari sini secepatnya,” jawab Ayrin, suaranya penuh dengan ketegasan dan keinginan untuk pergi jauh dari segala masalah yang ada.Reygan menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai memenuhi dadanya. “Saya juga maunya begitu. Tapi urusan saya di kantor masih belum selesai, Rin.”Ayrin menatap suaminya dengan tatapan penuh harapan, mencari kepastian di matanya. “Nggak bi
Reygan tidak pernah menduga bahwa semuanya akan menjadi sedemikian rumit. Ketika dia meninggalkan Daisha malam itu, dia berharap bahwa itu akan menjadi akhir dari segala masalah. Tetapi ternyata, itu hanyalah awal dari kehancurannya yang sesungguhnya.Setelah menjalani pemeriksaan yang melelahkan di kantor polisi, Reygan kembali ke rumah dengan hati yang berat. Ayrin sudah menunggunya di ruang tamu, wajahnya penuh kecemasan dan penantian yang tak berujung.“Kamu nggak melakukannya kan, Mas?” tanya Ayrin dengan suara lirih begitu Reygan memasuki ruangan. Matanya penuh dengan keraguan dan ketakutan akan jawaban yang akan dia terima. “Aku yakin dia pasti menjebakmu.”‘Saya memang tidak melakukan semua yang dituduhkan! Tapi bagaimana saya bisa menyangkalnya? Semua bukti itu memberatkan saya
Ayrin tepekur seorang diri di dalam kamarnya yang gelap, suara tangisnya hampir tidak terdengar. Dia sudah kehilangan segalanya. Buah hati dan juga suaminya. Sudah tidak ada lagi harapan bagi pernikahannya.Sudah berkali-kali Reygan mengecewakannya, mengkhianatinya, dan membohonginya. Janji-janjinya untuk mempertahankan hubungan mereka ternyata tak lebih dari sekadar kata-kata kosong yang terbang di angkasa, tak berdaya menghalau badai yang menghantam rumah tangganya.“Saya sudah tidak sanggup lagi, Rin. Semua yang saya lakukan pada akhirnya malah menyakitimu,” ujar Reygan dengan putus asa, ketika dia sedang duduk berdua dengan istrinya di kamar, setelah menemui Daisha di rumah sakit.Perasaan Ayrin berkecamuk di dalam hatinya ketika dia melihat kekosongan di mata Reygan. Sudah tidak ada lagi seman
"Aku nggak akan melepaskan kamu, Rey. Sampai kapan pun kamu milikku. Aku yang lebih dulu memiliki perasaan sama kamu," geram Daisha sengit setelah puas melampiaskan amarahnya di tubuh Reygan. Reygan mencoba menegaskan posisinya dengan tegas. "Tapi ini salah. Saya sudah menikah dengan adikmu. Dan kamu tidak punya tempat apa pun di hati saya," ucapnya dengan suara yang mantap, meski di dalam dadanya terdapat kegelisahan yang berkecamuk. "Aku nggak peduli untuk siapa hatimu. Asal kita bisa terus seperti ini aku nggak peduli," seru Daisha dengan nada yang histeris, membuat hati Reygan semakin tercekik oleh beban berat yang menghimpitnya. Dengan gesit, Daisha kembali meluncur ke pangkuan Reygan, mencium bibirnya dengan ganas, mengisapnya dengan penuh nafsu. Reygan merasa dirinya hampir luluh di bawah kekuatan godaan y
“Mau sampai kapan kau di sini?” tanya Ayrin dengan suara lelah, matanya terasa berat setelah seharian sibuk mengikuti seminar dan beberapa kegiatan lain.Pria itu hanya tersenyum penuh keyakinan, sepasang mata biru cerahnya menatap Ayrin dengan penuh kehangatan. “Rasanya aku malah tidak ingin pulang!”Ayrin memutar bola matanya dengan malas, sudah terbiasa dengan kelakuan keras kepala pemuda itu. Hampir empat tahun mereka saling mengenal, dan setiap kali, Raymond selalu menemukan cara untuk membuat hidup Ayrin menjadi lebih rumit.Ayrin menggeleng, kesabaran dan kelelahannya sudah mencapai batas. “Raymond, please.”“Biarkan aku tinggal lebih lama di sini. Aku ingin menemanimu,” Raymond tetap bersikeras, mengabaikan pe
Setelah bercerai dengan Reygan, Ayrin memutuskan untuk pindah ke London dan melanjutkan studinya di bidang spesialis bedah jantung. Dan tidak memikirkan untuk kembali ke Indonesia.‘Untuk apa kembali kalau yang diingatnya hanya luka?’ pikir Ayrin. Pengkhianatan suaminya masih sangat membekas. Sudah tidak ada lagi kehangatan yang mampu dia rasakan. Hatinya mulai membeku. Sampai suatu hari datang seorang pemuda tampan yang tak pernah menyerah untuk mencairkan kebekuan hatinya.“Hai cantik! Siapa namamu?” sapa Raymond ketika Ayrin baru saja keluar dari ruang dosennya.Ayrin menoleh, menemukan seorang pemuda tampan dengan senyuman merekah di wajahnya. Dia mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberaniannya. Namun, segera dia melanjutkan langkahnya, tidak tertarik untuk terlibat dal
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men