“Jangan sentuh saya dengan tangan kotormu itu!” seru Reygan sambil menahan rasa sakit di wajahnya.
Reygan bisa melihat kesakitan di mata istrinya. Rasanya dia juga tak tahan, ingin memeluknya, mengusap air matanya. Tetapi membayangkan tubuh Ayrin dalam pelukan kakaknya, selalu membangkitkan rasa jijik di hatinya. Apalagi saat mata mereka saling memandang tadi. Dia merasa muak.
Padahal apa yang dilakukannya pun tidak jauh berbeda. Kalau istrinya tahu dia berselingkuh dengan Veranda, mungkin gadis itu akan lebih muak padanya. Namun, mengenyahkan bayangan kotor tentang istrinya tidak semudah itu.
“Tolonglah, Mas. Izinkan aku mengobati lukamu,” pinta Ayrin dengan air mata berlinang.
“Temui saja mantan kekasihmu itu!” sahut Reygan ketus. Dia berusaha bangkit d
Kalau ada rasa bahagia, inilah bahagia yang paling indah yang pernah dirasakan Ayrin. Buah cintanya sudah tumbuh dalam rahimnya dan Reygan telah kembali. Semuanya terasa lengkap sekarang.Rasanya Ayrin sudah tidak sabar, ingin membagikan berita bahagia itu kepada suaminya.“Ada yang mau aku bicarakan, Mas.”“Ada sesuatu yang harus kamu tahu, Rin.”Mereka mengucapkan kata-kata itu hampir bersamaan. Ayrin melonggarkan pelukannya, lalu mendongak ke arah suaminya.“Mas tadi bilang apa?”“Kamu duluan saja yang bicara,” sergah Reygan dengan cepat yang tiba-tiba merasa gugup.Ayrin m
“Sayang, kamu lihat jam tangan yang kemarin ada di atas nakas nggak?” tanya Reygan sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang membaca buku.“Sebentar, aku ambil dulu, Mas,” balas Ayrin sambil meletakkan bukunya.“Eh, nggak usah gerak. Kamu kasih tahu saja jam tangannya ada dimana.”“Ada di rak nomor empat, di samping lemari,” sahut Ayrin dengan sabar.Selama beberapa saat menunggu, Reygan masih belum juga muncul.“Gimana? Ketemu nggak?” tanya Ayrin dengan lembut.Dengan polosnya Reygan menggeleng. Ayrin menatapnya dengan gemas. Dia menghampiri suaminya dan dalam sekejap jam tangan itu sudah berada di ta
Reygan mengusap lembut punggung Ayrin, menghirup wangi tubuh istrinya. “Saya pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa—”“Iya, Mas. Aku akan hubungi kamu setiap menit kalau perlu,” potong Ayrin dengan jemu karena Reygan terus mengatakan hal yang sama sejak tadi.Reygan sudah benar-benar berubah setelah mengetahui Ayrin hamil, terus memanjakan istrinya dengan penuh perhatian. Hampir semuanya dilarang. Apa-apa tidak boleh dikerjakan sendiri. Tetapi gadis itu berusaha untuk tidak memprotesnya. Dia menerima saja semua perlakuan suaminya, meskipun kadang ada kalanya dia merasa perlakuannya terlalu berlebihan.“Mulai sekarang sudah ada Bi Tin, Mbok Jum, dan Sari, yang akan membantu kamu mengerjakan semuanya. Jadi, kamu nggak boleh capek. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bis
Dingin dan hening. Itulah yang menggantikan suasana hangat dan tenang di kamar Ayrin ketika Rayden, kakak ipar Ayrin, tiba-tiba muncul dengan ekspresi cemas yang begitu mencolok. “Mas Ray…!” seru Ayrin dengan mata membelalak, mencoba memahami kehadiran Rayden di situ.“Ada apa, Mas? Kenapa masuk lewat sini?”Rayden tidak menjawab. Sebaliknya, dia menarik tubuh Ayrin dan mendekapnya dengan erat. “Kamu baik-baik saja, Rin?” tanyanya dengan cemas yang terasa menyentuh hati.Ayrin, semakin bingung, mencoba memahami reaksi Rayden. "Mas Ray, kenapa sih? Memangnya apa yang terjadi?" desaknya, kebingungannya semakin bertambah. Ia belum pernah melihat Rayden sedemikian paniknya.“Saya
Ketika Reygan meninggalkan rumahnya, hatinya hancur berkeping-keping. Bayangan istrinya yang terperangkap dalam pelukan kakaknya masih menghantuinya. Setiap kali memejamkan mata, gambar itu hadir begitu jelas, menyisakan rasa sakit yang memilukan di hatinya.Masih terngiang-ngiang juga kata-kata Sari, pembantunya yang ditugaskan untuk mengawasi Ayrin. Tiba-tiba saja pembantunya itu menelponnya. Membuat jantungnya berdegup kencang karena mengira sesuatu telah terjadi pada istrinya. Namun, apa yang disampaikan Sari lebih dari cukup membuatnya terkejut.“Sejak malam Bapak Pergi, saya mendengar ada suara laki-laki di kamar Ibu,” jelas Sari dengan suara yang terdengar sangat meyakinkan. “Saya tidak ingin mengganggu, Pak, tapi saya pikir Bapak perlu tahu.”Amarah Reygan meledak. Siapa pria ya
Seperti orang kerasukan, Reygan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali dia hampir menabrak pengendara lainnya. Bunyi klakson dan sumpah serapah terdengar menghiasi jalanan.Reygan tidak peduli, dia hanya ingin sampai di rumah dengan cepat. Menemui Ayrin dan meminta maaf padanya. Kalau perlu berlutut dan mencium kakinya."Dimana istri saya?" desaknya tak sabar saat ia tiba di rumah, menatap Bi Tin dengan mata yang memancarkan ketegangan.“Bapak belum tahu? Kalau ibu masuk rumah sakit,” balas Tina dengan heran.Tubuh Reygan langsung lemas. Ayrin masuk rumah sakit dan semua itu terjadi karena dia."Di rumah sakit mana?" tanyanya, suaranya penuh dengan kecemasan.
“Darimana saja kamu, Rey?” tuntut Vina yang baru saja keluar dari ruang perawatan menantunya.“Bagaimana keadaannya, Ma? tanya Reygan lesu.“Tidak ada orangtua yang baik-baik saja setelah kehilangan buah hatinya, Rey. Dia butuh dukunganmu.”“Keguguran… Ayrin keguguran, Ma?” desahnya gemetar. Wajah Reygan semakin bertambah pucat.“Temui istrimu, Rey. Dia tidak mau menemui siapa pun kecuali kamu. Dia pasti sedih sekali. Kamu harus menghiburnya. Menabahkan hatinya.” Vina menepuk pundak anaknya lembut, lalu pergi. Sementara Reygan mendekat ke kamar istrinya.Ayrin masih terbaring rapat di tempat tidurnya di ruang pemulihan, tubuhnya terbungkus oleh selembar
Ketika pintu ruangan terbuka, Ayrin menoleh dengan cepat, merasakan denyut jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan sigap, dia menghapus air matanya yang belum sempat kering. Suaranya gemetar saat menyebut nama suaminya."Mas Rey...!" serunya, namun suaranya terputus saat Reygan tiba-tiba memeluknya erat. Tubuh Ayrin terkejut, merasakan kehangatan yang dirindukannya."Maafkan saya, Rin. Saya benar-benar minta maaf. Saya tahu saya bajingan berengsek yang tidak pantas lagi dimaafkan. Saya…." Reygan terisak, suaranya penuh dengan penyesalan yang mendalam. Air matanya membanjiri pipinya yang pucat."Mas…" Ayrin menarik diri, menatap wajah suaminya yang tampak begitu pucat dan rapuh. Kecemasan menyelinap perlahan ke dalam hatinya."Tenanglah, Mas." Ayrin membia
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men