Reygan membawa Ayrin untuk menikmati bulan madunya di santorini. Terletak di tengah Laut Aegea, pulau ini menawarkan pemandangan yang menakjubkan dengan bangunan putih bersih yang berjejer di tebing-tebing vulkanis, laut biru yang mengagumkan, dan matahari terbenam yang memukau. Mereka memilih menginap di sebuah vila kecil yang terletak di tepi tebing, memberikan mereka pemandangan yang spektakuler. Dari balkon, keduanya bisa melihat langit malam yang bersih, dipenuhi bintang-bintang yang gemerlapan. “Gimana? Kamu suka tempatnya?” tanya Reygan sambil mencium leher istrinya dari belakang. Ayrin mengangguk, lalu tersenyum. “Rasanya nggak mau pulang.” “Bagaimana kalau kita pindah saja ke sini?” “Nggak mau. Nanti nggak bisa makan bakso dan gado-gado.” Reygan terus mencium leher Ayrin sampai istrinya itu menggeliat. “Kita bawa saja tukang masaknya ke sini.” “Tapi kalau pindah ke sini kamu harus memulai semuanya dari nol. Memangnya sanggup?” “Rasanya nggak terlalu sulit asal ada kam
Ayrin dan Reygan duduk bersama di tepi pantai, menikmati sentuhan lembut ombak yang berpadu dengan aroma angin laut.“Aku harap kita bisa kembali ke sini lagi, Mas.”Reygan tersenyum manis, menatap mata istrinya dengan penuh cinta. Sementara tangannya mengelus perut Ayrin. “Semoga benih saya segera hadir. Dan tahun depan kita bisa kembali bertiga.”“Tapi aku takut, Mas.”“Takut apa?”Paras Ayrin berubah murung. “Bagaimana kalau aku belum hamil juga setelah bulan madu ini selesai?”“Kita coba terus sampai berhasil. Kalau perlu kita memperpanjang bulan madunya. Banyak tempat kan yang masih belum dikunjungi.&rdqu
Pasangan muda itu segera menempati rumah barunya setelah bulan madu yang indah. Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Ayrin merasakan perubahan sikap suaminya. Wajahnya yang dulu penuh canda dan keceriaan kini kerap dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap.Kadang-kala, Ayrin menemukan suaminya duduk di tepi jendela, pandangannya terfokus ke arah yang tak terlihat. Wajah pria itu pun sering terlihat murung. Sudah berulang-ulang dia menanyakan masalahnya. Tetapi Reygan tetap diam seribu bahasa."Ada apa sebenarnya, Mas?" desak Ayrin, mencoba memahami apa yang mungkin mengganggu pikiran Reygan. "Ceritalah kalau memang masalah itu terlalu berat untuk kamu tanggung sendiri!"Reygan hanya mendesah pendek, "Nggak ada apa-apa. Lebih baik kita tidur."Reygan memadamkan lampu tidur di sebelahnya sehingga Ayrin tidak bisa melihat ekspresinya. Tetapi tanpa melihat pun, Ayrin bisa merasakan kegelisahan suaminya. Dia hanya tidak berani lagi menanyakannya. Mungkin memang benar pria itu mem
Sebenarnya Ayrin merasa heran dengan kedatangan Veranda yang tiba-tiba. Namun, dia tidak berani menanyakan alasan kedatangannya. Dilayani saja kakak iparnya itu dengan sebaik mungkin.“Hari ini kamu ada acara, Rin?” tanya Veranda dengan senyum misterius di bibirnya.Ayrin yang sedang menyusun kue di piring kecil, mengangkat wajahnya, menatap kakak iparnya. "Nggak ada, Mbak. Beberapa hari ini masih sibuk bersih-bersih rumah.""Belum ada pembantu?" tanya Veranda lagi, matanya melayang ke sekeliling rumah yang rapi."Belum, Mbak," jawab Ayrin singkat.Veranda menganggukkan kepala, dan tatapannya kembali melintas ruangan. "Bagaimana bulan madu kalian?""Hmm… m
Ayrin tercengang ketika melihat Rayden yang tengah mencengkeram baju depan suaminya. Raut wajah keduanya penuh ketegangan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Rayden terlihat sangat emosi.Ketika akhirnya pandangan mereka bertemu sekilas, Rayden melepaskan cengkeramannya sampai tubuh Reygan terhuyung ke belakang. Tanpa memperdulikan adiknya, Pria itu menghampiri dan menarik tangan istrinya “Ke mana saja kamu? Saya telepon nggak dijawab, saya kirim pesan nggak dibalas,” kata Rayden dengan kesal sambil menarik tangan istrinya keluar dari mobil. “Hp aku ketinggalan di dalam,” sahut Veranda dengan tenang. “Mas sudah lama menunggu di sini?” “Cukup lama, sampai saya berpikir untuk memanggil polisi agar mereka mencarimu!” balas Rayden dengan nada menyindir. “Terus Mas bisa tahu aku di sini dari mana?” tanya Veranda sambil melirik sekilas ke arah Reygan yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun.“Itu nggak penting,” sergah Rayden dengan tegas. “Lebih baik sekarang kita pulang.”Ayri
Ayrin berusaha melayani suaminya dengan sebaik mungkin, biarpun sikap pria itu masih dingin padanya dan terkesan seperti menjaga jarak.Dia mencoba melupakan pertengkarannya dengan Reygan malam itu. Dia tidak ingin lagi mengingat kata-kata suaminya yang sangat menyakitkan, yang membuat perasaannya hancur berantakan.“Mungkin memang sebaiknya kita berpisah, Rin. Maafkan saya karena saya tidak bisa menjadi suami yang baik untuk kamu,” kata Reygan setelah mereka terkulai lemas di tempat tidur.Ayrin pikir dirinya sudah mendapatkan suaminya kembali ketika melihat sorot penuh cinta di matanya. Rasa haru dan bahagia membuncah di dalam hatinya. Dia tidak menolak ketika suaminya mengoyak gaun tidurnya dengan kasar. Dengan ganas dan liar.Melod
Reygan tidak tahu apa yang tiba-tiba menyebabkan istrinya kembali bersikap hangat. Setelah ucapannya yang menyakitkan malam itu, dia pikir Ayrin akan langsung meninggalkannya. Rasa bersalahnya semakin bertambah. Apa yang dia lakukan sudah sangat keterlaluan. Seharusnya Ayrin pergi selagi dia bisa melarikan diri. “Maafkan aku, Mas. Maaf atas tuduhanku malam itu. Seharusnya aku lebih mempercayai kamu,” kata Ayrin sambil memeluk tubuh suaminya dari belakang setelah Reygan pulang larut malam. Itulah kata-kata pertama yang Reygan dengar dari bibir istrinya setelah beberapa hari Ayrin mendiamkannya. Ucapan yang malah menusuk relung hatinya. “Sebaiknya kamu tidur.” Hanya itu kata-kata yang mampu Reygan ucapkan. Dia harus bertahan dan tidak boleh luluh.
Setelah pengakuan Ayrin malam itu, Reygan merasa seluruh dunianya hancur. Dia ingin mempercayai kata-kata istrinya. Tetapi rasanya begitu sulit. Setiap kali membuka mata, dia membayangkan istrinya sedang bercumbu dengan Rayden.“Permisi, Pak.”Reygan memijat pelipisnya, lalu menatap ke arah Lia- sekretarisnya, yang sedang berdiri tegang di ambang pintu. “Ada apa lagi, Lia? Bukannya saya bilang saya tidak mau diganggu untuk sementara waktu,” sahut Reygan kesal.“Maaf, Pak. Tapi ada seseorang yang memaksa ingin menemui Bapak. Katanya dia mau membicarakan sesuatu yang penting.”“Suruh dia pergi. Saya sedang tidak mau bertemu dengan siapa pun.” Reygan menekankan seluruh kata-katanya.
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men