Liburan ke Jepang itu benar-benar menjadi momen berharga bagi keluarga kecil mereka. Ketika akhirnya sampai di Disneyland Tokyo, senyum lebar Rania yang cerah menghapus segala lelah yang dirasakan Reygan dan Ayrin. Mereka sudah melalui perjalanan panjang, tetapi melihat kebahagiaan di wajah anak-anak mereka adalah semua yang mereka butuhkan.
"Pokoknya liburan selanjutnya kita harus pergi ke Paris ya, Ma, Pa," pinta Rania dengan antusias ketika mereka sedang beristirahat di salah satu kafe di dalam Disneyland.
"Mau lihat Menara Eiffel?" tanya Reygan sambil tersenyum melihat semangat putrinya.
Rania menggeleng. "Ke Disneyland lah, Pa," balasnya dengan semangat membara.
"Sekarang kan kita sudah di Disneyland, Nia," timpal Rian sambil menatap adiknya dengan sedikit bingung.
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu liburan di Jepang, Reygan langsung membawa istri dan anak-anaknya pergi ke Swiss.Selain untuk menyenangkan anak-anaknya, Reygan juga ingin menghabiskan waktu bersama dengan istri tercintanya di sana.Pemandangan pegunungan yang megah dan udara segar yang mereka hirup memberikan suasana baru yang menenangkan bagi keluarga mereka."Kenapa Swiss? Kenapa nggak ke Paris biar lebih romantis?" tanya Ayrin saat mereka sampai di salah satu hotel di Swiss, dengan pemandangan Alpen yang memukau dari jendela kamar mereka."Dan kita akan menghabiskan waktu di Disneyland lagi?" sahut Reygan sambil tersenyum.Senyum merekah di wajah Ayrin saat dia mendengar kata-kata Reygan, mengingat betapa antusiasnya Rania tentang tempat liburan favoritnya itu."Memang kenapa? Ini kan waktu liburan untuk anak-anak. Bukan orang tua seperti kita," ujar Ayrin kemudian.Reygan mendekatkan dirinya pada Ayrin, tanga
“Jagalah keluarga ini, Tuhan! Jangan biarkan pengkhianatan itu terulang lagi!” Ayrin berdoa dalam hatinya dengan sungguh-sungguh.Perasaan yang berkecamuk dalam hatinya terasa seperti badai yang tak terkendali, menghantam setiap sudut hatinya. Sebagai seorang istri yang pernah merasakan pahitnya dikhianati suaminya, setiap kecurigaan mengguncang fondasi kepercayaan yang telah Ayrin bangun selama ini.Begitu Reygan mulai lebih sering melakukan perjalanan bisnis setelah liburan mereka, Ayrin merasakan sebuah kekosongan tumbuh di hatinya. Meskipun dia berusaha mempercayai suaminya sepenuhnya, namun kecurigaan itu semakin mengintai. Terutama ketika perjalanan bisnis Reygan menjadi semakin sering, meninggalkan Ayrin dalam kegelapan pikiran yang tak tertebakAyrin akhirnya memutuskan untuk menghubungi kantor suaminya. Dengan suara gemetar, dia menanyakan keberadaan Reygan kepada Rani, sekretaris suaminya. Jawaban yang didapatnya mengejutkan sekaligus menam
Reygan memeluk tubuh Ayrin yang sudah terlelap di sisinya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Dia kembali memikirkan pertemuannya dengan Veranda di kantornya beberapa waktu lalu.Saat itu, Reygan sedang duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan berkas yang menumpuk di depannya. Matanya lelah setelah hari yang panjang, namun tiba-tiba, suara yang sangat dikenalnya memecah keheningan ruangan."Vera...!" seru Reygan, matanya melebar saat melihat sosok wanita itu berdiri di ambang pintu. Nama itu terlontar dari bibirnya tanpa sadar, disertai dengan rasa tak percaya yang menyelimuti pikirannya.Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Veranda yang dulu selalu tampil percaya diri dan menantang itu terlihat sangat berbeda dengan yang ada dalam ingatannya.Kini wanita itu tegak dengan kepala tertunduk di hadapannya, wajahnya pucat dan sendu. Kecantikannya yang dulu masih terlihat, namun wajah itu tampak terkikis oleh waktu d
"Riska butuh sumsum tulangmu, Rey. Dia menderita Leukimia."Reygan tersentak mendengar kata-kata Veranda, tubuhnya tiba-tiba terasa dingin dan kaku. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. "Leukimia?" gumamnya dengan suara bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya.Veranda mengangguk lemah, matanya memancarkan campuran kesedihan, keputusasaan, dan harapan. "Aku tidak mau kehilangan dia, Rey... Aku tidak mau...." Air mata mengalir deras di pipinya, menggambarkan betapa berat beban yang ditanggungnya.Reygan menggeleng-gelengkan kepalanya, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aku... Aku...." bisiknya dengan gemetar, terdiam dalam kebingungannya yang tak terkira.Veranda memotong ucapan Reygan dengan cep
"Aku tidak bisa pergi ke sana untuk sementara waktu, Ra," kata Reygan melalui sambungan telepon, suaranya terdengar lelah dan tertekan."Ada apa, Rey?" tuntut Veranda dengan suara gemetar, kegelisahan terpancar jelas dari intonasi suaranya.Reygan menghela napas berat. "Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan, Ra" jawabnya dengan lelah."Pekerjaan apa yang lebih penting dari menyelamatkan nyawa anakmu sendiri, Rey?" desah Veranda dengan penuh emosi, suaranya menggema dalam telinga Reygan, mengiris hatinya."Aku akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, Ra. Tolong beri aku waktu sebentar lagi!" pinta Reygan dengan lirih, berusaha meredam amarah Veranda."Tidak cukupkah waktu yang aku berikan selama ini, Re
“Hubungan kalian baik-baik saja, kan?”Pertanyaan Rayden menghantam Ayrin seperti sebuah pukulan tak terduga. Keresahan yang terpendam seolah meletup-letup dalam dadanya, memenuhi ruangan dengan keheningan yang tegang. Matanya menatap tajam ke arah kakak iparnya, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya yang tenang.Rayden melanjutkan ucapannya saat melihat betapa tegangnya tubuh Ayrin. "Ah, saya tidak bermaksud apa-apa, Rin," katanya dengan tenang, mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajah wanita ituAyrin mencoba menenangkan dirinya. "Iya, Mas. Hubungan kami sudah lebih baik sekarang," balasnya sambil menyembunyikan getar dalam suaranya. Matanya menghindar, mencari-cari sesuatu di sekeliling ruangan untuk menenangkan hatinya.Rayden terdiam cukup lama, se
Ayrin menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai merasuk. "Nggak. Mas Rey nggak mungkin melakukannya," katanya pada dirinya sendiri dengan getir. Dia meletakkan foto itu kembali ke tempatnya, mencoba menenangkan diri.Saat Ayrin hendak keluar dari ruang kerja, betapa terkejutnya dia ketika melihat Reygan tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. "Hai, Sayang," sapa Reygan sambil memeluk tubuh Ayrin dengan erat dan mencium lehernya dengan mesra.Ayrin tersentak, tubuhnya tegang seketika. "Mas bikin kaget, deh," keluhnya sambil berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang."Sorry," bisiknya dengan lembut. "Habisnya saya panggil-panggil kamu nggak jawab, sih."Ayrin hanya terdiam sa
Ayrin berdiri di depan cermin, menatap gaun tidur yang diberikan Reygan yang kini melekat di tubuhnya. Gaun itu begitu indah, terbuat dari bahan yang lembut dan halus, mengalir memeluk tubuhnya dengan lembut.Belahan dadanya sangat rendah, dan tali yang menggantungkan gaun itu di bahu pun amat sangat mudah dilepas. Dia yakin sekali, hanya dengan satu sentuhan saja, gaun yang merangsang itu akan luruh ke lantai.Sebenarnya Ayrin merasa tidak terlalu percaya diri dengan penampilannya. Tetapi kalau dengan begini Reygan tidak akan berpaling. Dia rela menjelma menjadi apa saja. Bahkan sebagai wanita penghibur sekali pun. Asal hanya untuk suaminya.Setelah menyemprotkan parfum favorit Reygan di tubuhnya, Ayrin segera keluar dari kamar mandi. Aroma yang familiar dan membangkitkan gairah itu menyelimuti ruangan,
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men